SuaraSulsel.id - Sebelas kontraktor di Sulawesi Selatan harus mengeluarkan uang. Untuk menutupi hasil temuan di Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK. Ada yang menyetor hingga Rp500 juta.
Hal tersebut terungkap pada sidang lanjutan kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Pemprov Sulsel, Rabu, 3 November 2021. Terdakwa Edy Rahmat membeberkannya.
Edy Rahmat mengaku mengumpulkan uang dari sebelas kontraktor sebesar Rp3,2 miliar. Uang itu diberikan ke auditor BPK Perwakilan Sulsel untuk menghilangkan hasil temuan. Pada laporan keuangan Pemprov Sulsel tahun 2020.
Mereka adalah Jhon Theodore Rp525 juta, Petrus Yalim Rp445 juta, Haji Momo Rp250 juta, Andi Kemal Rp479 juta, Yusuf Rombe Rp525 juta.
Baca Juga:Kuasa Hukum: Belum Ada Dakwaan Jaksa KPK Bisa Jerat Nurdin Abdullah
Kemudian Robert Wijoyo Rp58 juta, Hendrik Rp395 juta, Lukito Rp64 juta, Tiong Rp150 juta, Rudi Moha Rp200 juta, dan Karaeng Kodeng Rp150 juta.
Jumlah yang terkumpul, kata Edy Rp3,241 miliar. Uang itu kemudian diserahkan ke pegawai BPK atas nama Gilang.
Edy yang dimintai keterangan sebagai saksi secara virtual kemudian melanjutkan ceritanya. Ia mengaku, awalnya Gilang menghubunginya pada Desember 2021. Mereka bertemu di Hotel Teras Kita, Jalan AP Pettarani, Makassar.
Gilang mengatakan BPK akan melakukan pemeriksaan pada Januari 2021. Jika ada pengusaha yang ingin berpartisipasi, bisa menyetor satu persen dari nilai paket proyek yang dikerjakan.
Nantinya, BPK akan menghilangkan hasil temuan pekerjaan tersebut. Imbalannya, Edy mendapat 10 persen dari pungutan itu.
Baca Juga:Hakim Perintahkan KPK Kejar Uang Suap Rp2,8 Miliar, Disebut Terdakwa Untuk BPK Sulsel
Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Edy. Ia menghubungi sebelas kontraktor tersebut bahkan melaporkan hal ini ke Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah.
"Saya pernah sampaikan ke pak Nurdin bahwa ada permintaan BPK untuk pengerjaan. Dia minta satu persen. Dia cuma bilang silahkan kalau ada yang mau," kata Edy di ruang Harifin Tumpa, Pengadilan Negeri Makassar.
Edy mengaku uang yang disetor oleh kontraktor atas hitungan mereka sendiri. Edy tinggal menerima selama Januari hingga Februari 2021.
"Hitungannya nilai kontrak dikurangi dari nilai PPN/PPH. Mereka kontraktor yang hitung sendiri," ujarnya.
Dari uang Rp3,2 miliar itu, Edy mendapat Rp320 juta lebih. Sisanya Rp2,8 miliar diserahkan ke Gilang.
"Saya jemput Gilang di Kantor BPK baru antar masuk ke asramanya. Disitu saya serahkan," tutur Edy.
Majelis hakim kemudian mempertegas, kenapa uang itu harus diserahkan ke Gilang? bukan ke instansi BPK?.
Edy menjelaskan, bahwa Gilang yang menghubunginya dari awal. Ia juga mengira Gilang adalah auditor utama. Belakangan diketahui ternyata bukan dia yang memeriksa.
"Saat pemeriksaan, ternyata bukan dia yang masuk. Ada dua Gilang itu auditor, tapi Gilang yang terima itu yang dihadirkan di persidangan," beber Edy.
Terdakwa Nurdin Abdullah mengaku lupa soal laporan uang untuk BPK tersebut. Namun ia mengaku tidak akan setuju jika mengetahui itu.
"Saya mohon maaf, apakah saya lupa. Tapi kalaupun saya diberitahu, pasti saya tidak setuju. Karena ini akan merugikan kas daerah. Kalau ada denda pengerjaan kan, kontraktor harus setor ke kas daerah," kata Nurdin Abdullah.
Raih WDP
Sekadar diingat kembali, pengelolaan keuangan daerah Pemprov Sulsel tahun anggaran 2020 dinilai cukup buruk. Pemprov Sulsel harus puas diganjar hanya dengan predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Padahal, predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sudah dicetak Pemprov Sulsel 10 kali berturut-turut sebelumnya. Tahun ini terpaksa turun peringkat.
Kepala badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sulsel yang dijabat Wahyu Priyono kala itu mengatakan ada tiga masalah besar yang terjadi di Pemprov Sulsel. Bahkan mengakibatkan kerugian negara hingga miliaran rupiah.
Pertama, bantuan keuangan daerah ke kabupaten/kota. Ada penambahan ratusan miliar tanpa persetujuan legislator.
Ia menjelaskan, bantuan keuangan sebesar Rp303 miliar lebih itu disalurkan tanpa sepengetahuan dan persetujuan oleh DPRD. Pemprov Sulsel pernah mengubah Pergub di anggaran perubahan untuk menyalurkan bantuan tersebut.
"Sebelumnya sudah ada bantuan ke daerah, sudah disetujui oleh DPRD, tapi ternyata ada penambahan lagi tanpa melalui persetujuan DPRD. Itu besarannya Rp303 miliar lebih," ujar Wahyu, 28 Mei 2021 lalu.
Bantuan itu melampaui anggaran yang disajikan di laporan keuangan. Hal tersebut, kata Wahyu, jelas dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Pelampauan anggaran Rp303 miliar itu jumlahnya cukup besar. Itu kenapa kami di BPK tidak dapat berikan WTP," tegasnya.
Masalah kedua yaitu terjadinya kekurangan kas atau kas tekor di tiga Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Kondisi kas daerah per 1 Desember disebut kosong.
"Artinya tidak menunjukkan keuangan yang ada. Sebenarnya masih ada saldo kas, tapi uangnya sudah tidak ada. Tidak tahu dimana, sudah digunakan kemana," ujar Wahyu.
Masalah itu terjadi Badan Penghubung dan Dinas PU dan Tata Ruang. Totalnya kata Wahyu ada Rp1,9 miliar.
Kemudian faktor lainnya yakni ada penerimaan pajak yang sudah dipungut oleh bendahara. Akan tetapi ternyata tidak disetor ke kas daerah. Mereka menggunakannya untuk kegiatan lain. Nilainya Rp519 juta.
"Yang semestinya disetor ke kas daerah tapi tidak disetor. Digunakan malah ke kegiatan lain," kata Wahyu.
Wahyu Priyono mengaku pihaknya sebenarnya sudah memberi kesempatan ke Pemprov termasuk untuk OPD itu memperbaiki laporan keuangannya. Mereka diminta mengembalikan uang yang dimaksud ke kas daerah.
Namun, hingga rekomendasi mau disetor, OPD tersebut tak kunjung melakukan perbaikan. Ia kemudian meminta Majelis Tuntutan Ganti Rugi (MTGR) di Pemprov Sulsel agar mengusut ini.
"Kami sudah kasih waktu satu bulan kurang lebih untuk tindaklanjuti. Termasuk kas tekor agar dikembalikan ke kas daerah dan pajak dikembalikan ke kas negara sampai LHP terbit, tapi ternyata belum. Sehingga itu menjadi pengecualian," jelas Wahyu.
Wahyu bilang kasus kekurangan kas daerah ini menyebabkan kerugian negara. Jangan sampai dibiarkan berlarut-larut.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing