SuaraSulsel.id - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai langkah Presiden RI Joko Widodo yang mengusulkan Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI mengandung tiga permasalahan serius.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri atas KontraS, Imparsial, LBH Jakarta, HRWG, Setara Institute, Public Virtue Research Institute, Amnesty International Indonesia, Inisiatif Untuk Demokrasi dan Keamanan (IDeKa), Indonesia Corruption Watch (ICW), ELSAM, PBHI Nasional, LBHM, LBH Pers, ICJR.
Pertama, Presiden RI telah mengesampingkan pola rotasi matra yang berlaku di era Reformasi dalam regenerasi Panglima TNI sebagaimana norma yang berlaku pada Pasal 13 ayat (4) dalam Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.
Kedua, Presiden RI telah mengajukan nama yang rekam jejaknya masih perlu pengujian oleh lembaga negara yang independen di bidang hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, Komnas HAM dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca Juga:27 Pengungsi Luar Negeri Meninggalkan Makassar
Ketiga, perkembangan ancaman keamanan kawasan yang maritim sentris dewasa ini membutuhkan perhatian yang lebih besar di sektor kelautan.
Lebih jauh, Koalisi menjelaskan catatan penting sebagai berikut:
Pertama, usulan nama KSAD Andika Perkasa sebagai Panglima TNI merupakan pilihan yang keliru. Karena mengabaikan pola kebijakan berbasis pendekatan rotasi.
Jika merujuk pada Pasal 13 ayat (4) UU TNI, maka jabatan Panglima TNI dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
Penerapan pola rotasi akan menumbuhkan rasa kesetaraan antar-matra, kesimbangan orientasi pembangunan postur TNI, serta kesempatan yang sama bagi perwira tinggi TNI, tanpa membedakan asal matra.
Baca Juga:Mantan Kepala Kantor LPEI Wilayah Makassar Jadi Tersangka
Hal ini juga dapat membawa dampak positif berupa penguatan soliditas internal TNI. Selain itu, pola rotasi penting dilakukan guna meredam kecemburuan yang sangat mungkin terjadi di antara prajurit. Akibat adanya kesan bahwa Presiden RI menganak-emaskan satu matra dalam tubuh TNI. Seperti masa Orde Baru.