Miris! Guru Pedalaman Tana Toraja Utang Ojek Rp10 Juta Demi Mengajar

Lusiana sudah 22 tahun mengabdikan hidupnya untuk anak-anak di pedalaman

Muhammad Yunus
Jum'at, 19 September 2025 | 16:20 WIB
Miris! Guru Pedalaman Tana Toraja Utang Ojek Rp10 Juta Demi Mengajar
Lusiana Lembang, guru di SDN 3 Mappak, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan [Suara.com/Istimewa]
Baca 10 detik
  • Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan ojek. Biayanya Rp600 ribu. 
  • Dorong motor sambil pikul beras untuk bekal di sekolah selama sebulan
  • Kisah Lusiana menegaskan jurang ketimpangan yang nyata

SuaraSulsel.id - Namanya Lusiana Lembang. Seorang guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di SDN 3 Mappak, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Lusiana sudah 22 tahun mengabdikan hidupnya untuk anak-anak di pedalaman, jauh dari hiruk pikuk kota.

Tetapi di balik dedikasinya, ada kenyataan pahit yang harus ditanggung: ia berutang hingga Rp10 juta hanya untuk ongkos ojek ke sekolah.

Sekolah tempat Lusiana mengajar berada di Lembang Dewata, Kecamatan Mappak.

Baca Juga:Viral Siswa Aniaya Guru Disaksikan Polisi, Publik Geram!

Wilayah ini dikenal sebagai salah satu daerah paling terpencil dan tertinggal di Tana Toraja.

Dari rumahnya di Lembang Tanete menuju sekolah, Lusiana harus menempuh perjalanan 70 kilometer melewati 12 lembang (setingkat desa) dan menyeberang ke Provinsi Sulawesi Barat. Lewat Kabupaten Mamasa.

Perjalanan itu hanya bisa ditempuh dengan ojek. Biayanya Rp600 ribu.

Ongkos itu belum termasuk bensin maupun risiko motor rusak akibat medan yang ekstrem.

"Kadang tukang ojek menolak antar. Katanya lebih baik mereka cari penumpang ke kota daripada ke sekolah saya karena medannya," cerita Lusiana dikutip dari Podcastnya bersama Tribun Toraja, Kamis, 18 September 2025.

Baca Juga:100 Ribu Guru di Sulsel Bakal Nikmati Makan Bergizi Gratis

Ia juga menceritakan pengalamannya saat berangkat ke sekolah kadang ada di antara hidup dan mati.

"Ya, kadang jatuh dari motor, pernah hampir masuk jurang. Kadang dorong motor sambil pikul beras untuk bekal di sekolah selama sebulan," ungkapnya.

Selama enam bulan terakhir, tunjangan khusus bagi guru di daerah terpencil sebesar Rp19 juta itu yang seharusnya menjadi penopang hidupnya tidak cair.

Alhasil, untuk bisa tetap hadir di sekolah, ia harus berutang kepada tukang ojek langganannya.

Ironisnya, di tengah kisah pilu ini, pemerintah pusat mengumumkan kenaikan gaji untuk pejabat negara, ASN, TNI-Polri, hingga guru melalui Perpres Nomor 79 Tahun 2025.

Salah satu yang diubah Presiden adalah rencana kenaikan gaji aparatur negara. Prabowo menambahkan poin kenaikan pejabat negara dalam program kerja terbaru.

Berdasarkan lampiran beleid tersebut, pada poin keenam 8 Program Hasil Terbaik Cepat, tertulis kenaikan gaji bakal diberlakukan untuk ASN, TNI/Polri, dan pejabat negara.

Sementara dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2024 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025 yang sebelumnya, tidak tertulis ada kenaikan pejabat negara.

Pada poin keenam tertulis gaji ASN guru dan dosen termasuk yang dinaikkan.

Presiden Prabowo Subianto menegaskan kenaikan gaji itu sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan aparatur negara.

Namun, bagi Lusiana dan tiga rekannya di Mappak, kenaikan gaji hanyalah kabar jauh. Hak dasar mereka berupa tunjangan khusus yang dijanjikan negara justru tidak sampai.

Lusiana sudah dipanggil dalam rapat dengar pendapat bersama komisi I DPRD Tana Toraja. Mereka dijanji tunjangan tersebut akan segera cair.

Namun, kisah Lusiana menegaskan jurang ketimpangan yang nyata. Pemerintah pusat bisa cepat mengurus kenaikan gaji pejabat, tetapi lamban menjamin hak guru yang menjadi ujung tombak pendidikan di pelosok negeri.

Hidup di Tengah Keterbatasan

Sehari-hari, Lusiana tinggal di rumah dinas sederhana yang dibangun secara gotong royong oleh warga setempat.

Kayu-kayu dipikul dari hutan tanpa bayaran, hanya demi memastikan para guru punya tempat berteduh.

"Nanti pulang ke rumah di akhir bulan. Jadi kita ke rumah untuk ambil kebutuhan pokok," sebutnya.

Sudah tiga tahun lebih ia hidup dengan fasilitas seadanya. Kelas jauh itu memiliki enam ruang, tiga di antaranya harus dipakai untuk mengajar dua kelas sekaligus.

Jumlah siswanya hanya 21 orang. Lusiana mengajar kelas rangkap. Kelas 1 digabung dengan 2, 3 dengan 4, dan 5 dengan 6.

Di tengah keterbatasan jaringan internet, ia dan murid-muridnya harus naik bukit sejauh 1,5 kilometer hanya untuk mendapat sinyal telepon. Listrik pun mengandalkan turbin kecil yang mati bila debit air menurun.

Meski penuh kesulitan, semangat anak-anak di Mappak tak pernah surut.

Pada peringatan HUT RI 17 Agustus lalu, Lusiana dan tiga guru lainnya rela patungan Rp250 ribu per orang agar siswa mereka bisa ikut kegiatan pramuka di kecamatan.

"Kita upayakan mereka keluar dari kampung agar bisa lihat daerah luar dan bergaul. Jadi kami pakai uang pribadi," ucapnya.

Sayangnya, hanya enam siswa yang bisa ikut karena lima lainnya tak mampu membeli baju pramuka. Para guru tidak sanggup lagi menanggung seluruh biaya seragam.

Bertahan Karena Ingin Mencerdaskan Anak Bangsa

Motivasi Lusiana tetap sama sejak ia pertama kali mengajar di tahun 2004. Ingin mencerdaskan anak-anak bangsa.

Ia rela meninggalkan suami dan anak demi tugas.

"Kadang saya tidak tahu kalau anak sakit di rumah. Tapi ini amanah undang-undang. Saya harus jalankan," katanya lirih.

Warga sekitar pun memberikan apa yang mereka mampu. Orang tua murid kerap datang membawa kopi atau sayur sebagai tanda terima kasih.

"Mereka bilang tidak bisa kasih beras, hanya kopi karena di sana beras mahal, tidak ada sawah. Tapi itu jadi penguat saya untuk bertahan," ungkapnya.

Kini, Lusiana hanya berharap pemerintah pusat dan daerah tidak menutup mata. Ia berharap pemerintah bisa memfasilitasi mereka setidaknya menyediakan laptop.

"Kami butuh laptop sebagai media pendidikan, bangunan sekolah yang layak dan akses pendidikan yang lebih baik," pintanya.

Kisah Lusiana adalah potret nyata wajah pendidikan di pedalaman. Di saat gaji pejabat dan ASN dinaikkan, masih ada guru-guru yang harus berutang demi sampai ke sekolah.

Presiden Prabowo diharapkan tidak hanya memikirkan kesejahteraan aparatur di perkotaan, tetapi juga memastikan hak-hak guru di wilayah terpencil benar-benar terpenuhi.

Pendidikan di daerah tertinggal tak boleh lagi jadi anak tiri pembangunan.

Jika negara ingin melahirkan generasi emas di tahun 2045, maka langkah pertama adalah memastikan guru seperti Lusiana tidak lagi harus berutang hanya untuk bisa mengajar.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini