Tarif Impor AS Bikin Industri Terpuruk, Pengusaha: Kami Jadi Korban Eksperimen

Gejolak tarif perdagangan Amerika Serikat terhadap Indonesia mulai terasa tajam di jantung industri nasional

Muhammad Yunus
Rabu, 21 Mei 2025 | 08:29 WIB
Tarif Impor AS Bikin Industri Terpuruk, Pengusaha: Kami Jadi Korban Eksperimen
Diskusi publik bertajuk "Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk?" yang digelar Suara.com dan CORE Indonesia di El Hotel Bandung, Selasa (20/5) [Suara.com]

SuaraSulsel.id - Gejolak tarif perdagangan Amerika Serikat terhadap Indonesia mulai terasa tajam di jantung industri nasional, terutama di Jawa Barat.

Sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki menjadi korban utama. Sejumlah pabrik tutup, perusahaan merugi, dan gelombang PHK tak bisa dihindari.

Dalam diskusi publik bertajuk "Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk?" yang digelar Suara.com dan CORE Indonesia di El Hotel Bandung, Selasa (20/5).

Berbagai pemangku kepentingan mengungkap fakta lapangan yang mencemaskan, namun juga membuka peluang strategis bagi ekonomi daerah.

Baca Juga:Karyawan Kena PHK, Dunkin' Donuts Bangkrut?

Prof. Rina Indiastuti dari Universitas Padjadjaran memaparkan bahwa tekanan akibat kebijakan tarif AS telah berdampak signifikan terhadap sektor padat karya di Jawa Barat.

“Banyak pelaku industri tekstil dan alas kaki yang mengalami kerugian besar, bahkan terpaksa menghentikan operasional dan merumahkan karyawan,” ujarnya.

Berdasarkan data BPS, ekspor nonmigas Jawa Barat ke Amerika Serikat pada Januari 2025 mencapai USD 499,53 juta atau 16,62% dari total ekspor nonmigas provinsi.

Namun tekanan semakin berat, terlebih Bandung sebagai sentra TPT mengalami lonjakan PHK seiring merosotnya permintaan ekspor dan membanjirnya produk impor.

Ketua APINDO Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, menegaskan bahwa pelaku usaha tengah berjibaku dengan berbagai tekanan.

Baca Juga:Gurita Bantaeng Mendunia: Ekspor Perdana Rp2,3 Miliar ke Amerika Latin

“Kami bukan cuma menghadapi efek perang dagang AS–China, tapi juga tumpang tindih regulasi, pungutan liar, dan ketidakpastian hukum. Izin usaha yang dijanjikan dua minggu bisa molor berbulan-bulan,” katanya.

Menurut Ning, situasi makin pelik karena biaya logistik membengkak akibat adanya pungli di berbagai titik distribusi.

“Kami butuh aturan main yang jelas. Dunia usaha jangan terus jadi kelinci percobaan kebijakan,” tegasnya.

Peluang dari Relokasi Pabrik dan Kekuatan Manufaktur Jawa Barat**

Meski tekanan meningkat, Prof. Rina juga menyebut adanya peluang dari pergeseran rantai pasok global.

Relokasi industri otomotif ke Jawa Barat menjadi angin segar bagi daerah yang punya basis manufaktur kuat, mulai dari otomotif, elektronik, tekstil, hingga farmasi.

“Infrastruktur dan pusat riset yang dimiliki Jawa Barat dapat menjadi fondasi pengembangan inovasi industri ke depan,” tambahnya.

Strategi Batasi Impor, Dorong Komponen Lokal

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D., mengusulkan dua langkah strategis untuk menyelamatkan industri nasional:

1. Pengendalian Impor — Bukan semata proteksionisme, tapi menjaga kedaulatan pasar.

“Produk impor harus sesuai standar nasional. Sektor baja, semen, hingga kosmetik sudah mulai menunjukkan hasil positif dengan mekanisme verifikasi,” kata Faisal.

2. Peningkatan Komponen Lokal (TKDN) — Keberhasilan peningkatan produksi dalam negeri sudah terbukti, misalnya di sektor elektronik. Produksi HP, komputer, dan tablet meningkat drastis, sementara impor anjlok hingga 90% dalam enam tahun terakhir.

Faisal menekankan agar pemerintah tidak mencabut skema TKDN yang terbukti efektif menarik investasi dan memperkuat ekonomi nasional.

“Di tengah ketidakpastian global, penguatan ekonomi domestik bukan lagi pilihan. Ini keharusan,” ujar Faisal.

Diskusi ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera menghadirkan kebijakan yang adil, konsisten, dan berpihak pada industri lokal.

Dari Jawa Barat, seruan perubahan menggema—agar ekonomi Indonesia tak terus terseret arus global tanpa arah.

Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, menyebutkan bahwa tekanan krisis sudah terasa sejak awal tahun.

“Kita menghadapi perlambatan ekonomi yang nyata. Bandung dipilih karena menjadi salah satu sentra ekspor nasional—dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur—yang kini sedang tertekan. Ini momentum penting untuk mencari solusi dari daerah sebagai rujukan kebijakan nasional,” ujarnya dalam sambutan.

Ia menambahkan, berdasarkan data BPS, pada Januari 2025 ekspor nonmigas Jawa Barat ke Amerika Serikat mencapai USD 499,53 juta atau 16,62% dari total ekspor nonmigas provinsi.

Sementara dari Bandung, ekspor ke AS pada Maret 2025 mencapai USD 7,7 juta.

Namun, Bandung juga menghadapi gelombang PHK massal, terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT), akibat penurunan pesanan dan meningkatnya persaingan dengan produk impor.

Kebijakan tarif baru dari AS dikhawatirkan akan menekan permintaan ekspor lebih lanjut, sementara arus masuk produk impor semakin meningkat, sehingga industri dalam negeri berpotensi terpukul dua kali lipat.

Dalam sesi diskusi, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, Ph.D., mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi risiko serius akibat perang dagang AS-Tiongkok.

Dengan data menunjukkan penurunan ekspor China ke AS hingga 10,5% pada 2025, sementara ekspor ke ASEAN meningkat hingga 19,1%.

Menurut perhitungan CORE, potensi impor ilegal dari Tiongkok mencapai 4,1 miliar USD dengan kerugian negara sekitar Rp 65,4 triliun.

Situasi yang diperburuk oleh perlambatan ekonomi global dan tekanan pada nilai tukar Rupiah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini