Kasus Polisi Todong Senjata Api ke Anak di Kabupaten Bone, LBH Makassar Minta Pelaku Dihukum Maksimal

Kejaksaan Negeri Bone juga diminta mengevaluasi penuntutan atas terdakwa

Muhammad Yunus
Rabu, 17 Agustus 2022 | 18:06 WIB
Kasus Polisi Todong Senjata Api ke Anak di Kabupaten Bone, LBH Makassar Minta Pelaku Dihukum Maksimal
Ilustrasi senjata api (Shutterstock).

SuaraSulsel.id - YLBHI - LBH Makassar mendesak agar polisi yang todong anak dengan senjata api di Kabupaten Bone dihukum berat.

Tidak boleh dituntut ringan. Karena akan mengbaikan keadilan anak dan langgengnya kultur kekerasan oleh anggota polisi.

Dalam rilis yang dikeluarkan LBH Makassar, Rabu 17 Agustus 2022, polisi todong anak 13 tahun di Kabupaten Bone dengan senjata api terjadi pada 18 November 2021.

Oknum polisi tersebut dituntut 6 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum. Di tengah sorotan publik terhadap kultur kekerasan di institusi Polri.

Baca Juga:7 Skill Terbaik yang Patut untuk Diajarkan pada Anak, Orang Tua Wajib Tahu!

Menurut LBH Makassar, penuntut umum tidak mempertimbangkan status terdakwa yang merupakan anggota Polri. Sebagai alasan yang memberatkan.

Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan berlangsung pada 16 Agustus 2022 di Pengadilan Negeri Watampone. Perkara tindak pidana kekerasan terhadap anak yang dilakukan terdakwa Ilham Usfar Bin Usman disidangkan sejak 14 Juli 2022.

LBH Makassar menilai tuntutan penuntut umum mengesampingkan asas perlindungan dan keadilan bagi anak. Serta kontribusi lemahnya penegakan hukum bagi polisi pelaku kekerasan. Pada langgengnya kultur kekerasan di institusi Polri.

Ridwan salah satu Anggota LBH Makassar dalam rilis memberikan catatan LBH Makassar. Atas proses persidangan di Pengadilan Negeri Watampone.

Menurut LBH Makassar, perbuatan terdakwa dilakukan dengan senjata api yang diperoleh karena statusnya sebagai anggota Polri. Dapat memenuhi ketentuan pemberatan Pasal 52 KUHPidana. Dimana hukumannya ditambahkan sepertiga.

Baca Juga:Momen Anak Rimba di Jambi Kibarkan Bendera Merah Putih di Hari Kemerdekaan

Namun dalam tuntutannya penuntut umum tidak menyertakan ketentuan tersebut. Tuntutan 6 bulan penjara penuntut umum bahkan jauh dari ancaman pidana maksimal tindak pidana yang didakwakan.

Pasal 80 ayat (1) Jo. 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memberikan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan bagi pelaku kekerasan terhadap anak.

Tuntutan 6 bulan penjara bagi terdakwa juga menunjukkan penuntut umum tidak melihat kekerasan terhadap anak sebagai persoalan serius. Sehingga perlu dijatuhi sanksi tegas.

Sebelumnya dalam sidang tanggal 19 Juli 2022 dengan agenda pemeriksaan saksi anak. Hakim dan penuntut umum masih menggunakan atribut lengkap.

Sementara Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak menentukan bahwa “Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan”.
Penyimpangan atas ketentuan ini pun menjadi dasar pengajuan pemantauan sidang oleh Komisi Yudisial.

Demikian jaminan perlindungan terhadap anak tertuang dalam Pasal 28B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Untuk itu LBH Makassar meminta agar hakim dalam perkara ini dapat mempertimbangkan, untuk menjatuhi terdakwa hukuman maksimal dan pemberatan berupa hukuman penjara beserta denda.

"Kejaksaan Negeri Bone mengevaluasi penuntutan atas terdakwa dan melakukan pemeriksaan terhadap penuntut umum," kata Ridwan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini