Pengacara Sebut Sari Pudjiastuti yang Pantas Dihukum, Bukan Edy Rahmat

Kuasa hukum keberatan dengan tuntutan JPU KPK

Muhammad Yunus
Selasa, 16 November 2021 | 16:52 WIB
Pengacara Sebut Sari Pudjiastuti yang Pantas Dihukum, Bukan Edy Rahmat
Kuasa hukum Edy Rahmat, Yusuf Lessy [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Edy Rahmat, terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Sulawesi Selatan dituntut empat tahun penjara. Edy juga diminta membayar denda Rp250 juta dengan subsider kurungan tiga bulan.

Tuntutan tersebut membuat kuasa hukum Edy, Yusuf Lessy, keberatan. Ia menilai kliennya hanya sebagai korban.

Menurutnya, Edy hanya diperintah oleh Nurdin Abdullah selaku Gubernur untuk meminta uang ke kontraktor. Di dalam aturan yurisprudensi, jika disuruh maka tidak masuk kategori pidana.

Edy sebagai bawahan, kata Yusuf, tentu akan mengikuti perintah atasan. Hal tersebut harus jadi pertimbangan hakim untuk memvonis Edy Rahmat nantinya.

Baca Juga:KPK Tuntut Edy Rahmat Empat Tahun Penjara, JPU: Dia Jujur

"Nanti kami sampaikan di nota pembelaan semuanya. Yang jelas pak Edy ini hanya disuruh," ujar Yusuf, Selasa, 16 November 2021.

Ia mengaku yang layak jadi tersangka sebenarnya adalah Sari Pudjiastuti. Dia terbukti menerima uang secara langsung dari pengusaha.

Walau belakangan diketahui uang itu sudah dikembalikan atas perintah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Edy juga begitu. Semua uang dari pengusaha yang diterimanya disita KPK.

"Sari yang perlu dihukum karena menerima langsung. Pak Edy ini kan hanya perintah dari gubernur," tegasnya.

Seperti diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Edy Rahmat dengan hukuman penjara empat tahun pada Senin, 15 November 2021. Hukuman ini lebih rendah dibanding terdakwa lainnya, Nurdin Abdullah.

Baca Juga:JPU KPK: Nurdin Abdullah Kami Miskinkan, Hak Politik Dicabut

Selain itu, Edy sebagai penerima suap hanya dijatuhi tuntutan denda sebesar Rp250 juta dan subsider 3 bulan kurungan. Sementara Nurdin didenda Rp500 juta dengan subsider 6 bulan.

JPU KPK Zaenal Abidin mengaku tuntutan Edy lebih rendah karena hanya dijerat dengan satu pasal. Ia didakwa melanggar pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Berbeda dengan kasus yang menjerat Nurdin Abdullah, yang disertai gratifikasi. Nurdin didakwa Pasal 12 B, Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

"Berbeda kualifikasi pembuktian antara pak Nurdin dan pak Edy. Pak NA ada gratifikasi," kata Zaenal.

Ia mengatakan Edy hanya berperan sebagai perantara. Tugasnya sebagai Sekretaris PU hanya melaksanakan perintah dari Nurdin Abdullah sebagai Gubernur.

Edy juga tidak dibebani uang pengganti. Semua uang suap yang diterima sudah disita KPK. Berbeda dengan Nurdin yang harus mengembalikan uang Rp3 miliar lebih.

Namun, Edy sebagai penyelenggara negara terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Nurdin Abdullah. Kendati demikian, Edy dinilai lebih kooperatif, jujur dan mengakui semua perbuatannya selama diperiksa dan di persidangan.

"Meringankan karena beliau kooperatif, menjelaskan apa adanya. Pak Edy Rahmat mengakui di persidangan seluruh fakta yang sebenarnya. Itu yang meringankan karena tidak berbelit-belit dan jujur," tukas Zaenal.

KPK sendiri membacakan 559 surat tuntutan terhadap terdakwa Edy Rahmat. Selama persidangan, ada 67 saksi yang diperiksa.

Zaenal menambahkan sidang pekan depan akan memasuki pembacaan pledoi atau pembelaan. JPU yakin kasus suap dan gratifikasi ini akan inkrah sebelum 8 Desember 2021.

"8 Desember sudah harus vonis. Kita berpegang pada masa penahanan terdakwa," tukasnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

REKOMENDASI

News

Terkini