Kata Benny, angka pekerja ilegal terus meningkat karena para calo. Mereka merekrut warga yang tinggal di daerah pedesaan dengan tingkat ekonomi, pendidikan, dan sumber daya manusia (SDM) yang rendah.
Pengiriman pekerja migran ilegal tersebut bahkan menjadi modus tindak pidana perdagangan orang atau human traficking yang marak terjadi belakangan ini. Itu sebabnya, tutur Benny, pemerintah daerah perlu memiliki program strategis untuk menanganinya.
"Makanya kami terus sosialisasikan soal UU 18 tahun 2017. Setidaknya pemerintah di Provinsi bisa bikin Perda untuk perlindungan tenaga kerja kita. Saat ini baru Jawa Timur yang punya," ujar Benny.
Anggota Komisi IX DPR RI Ashabul Kahfi menambahkan, masalah pekerja migran saat ini seolah dibebankan hanya ke BP2MI saja. Belum lagi tidak adanya dukungan anggaran oleh pemerintah.
Baca Juga:Diperlakukan Tidak Manusiawi saat Pelatihan, Penyebab 5 CPMI di Malang Kabur
"Pemerintah pusat harus memberi perhatian yang lebih ke BP2MI. Bayangkan, masa pagu indikatifnya tahun ini hanya Rp 320 miliar. Itu mau bikin apa? Sementara pekerja migran ini ada di seluruh dunia. Kita sudah usulkan di komisi IX agar naik dua kali lipat," tukas Ashabul.
Sumbang Rp 26 Miliar per Tahun
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia atau BP2MI mengatakan pekerja migran menyumbang devisa yang sangat tinggi ke pemerintah.
Jika dibandingkan dengan APBD Sulsel tahun 2020 saja misalnya, mereka menyumbang 0,24 persen pendapatan ke pemerintah. Satu orang sekitar Rp2,4 juta.
"Estimasi remitansi per orang per bulan itu Rp6 juta dikali 40 persen dikirimkan maka ada Rp2,4 juta. Atau sekitar Rp 26,1 miliar per tahun untuk 907 orang itu atau setara dengan 0,24 persen dari APBD Sulsel," jelasnya.
Baca Juga:Luka Bakar 100 Persen, Polisi Kesulitan Ungkap Identitas Mayat di Maros
Ini berdasarkan estimasi data yang tercatat di BP2MI. Sedangkan yang tidak tercatat atau non prosedural, kemungkinan jumlahnya tidak sedikit sehingga nilai remitansi bisa melebihi angka di atas.