SuaraSulsel.id - Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia atau BP2MI, Benny Rhamdani mengatakan, dalam lima tahun terakhir, Sulawesi Selatan (Sulsel) termasuk ke dalam 15 besar provinsi penyumbang Pekerja Migran Indonesia (PMI) terbanyak.
Rata-rata penempatan per tahun dari Sulawesi Selatan adalah 907 orang. Itu terdata secara resmi. Namun, lebih banyak yang ilegal, kata Benny. Bahkan ribuan per tahunnya dikirim oleh calo.
"Jadi kalau kita punya data per tahun 907 orang, maka dua kali lipatnya itu ilegal. Bahkan bisa tiga kali lipatnya. Sekitar 1.800 orang yang ilegal saat ini," kata Benny di kantor Gubernur Sulsel, Senin, 14 Juni 2021.
Karena banyak yang ilegal, pihaknya menerima aduan oleh pekerja tiap tahun. Ada terkait kasus penyelundupan orang, meninggal, gaji tidak dibayar, ingin dipulangkan, dan tidak punya ongkos pulang.
Baca Juga:Diperlakukan Tidak Manusiawi saat Pelatihan, Penyebab 5 CPMI di Malang Kabur
"Data pengaduan itu lumayan banyak. Tahun 2016 ada 35 kasus, 2017 ada 34, 82 kasus di tahun 2018, 73 kasus di tahun 2019 dan 34 kasus di tahun 2020," bebernya.
Ia merinci, secara total ada 4.535 orang Sulsel yang menjadi PMI secara legal atau resmi. Pada tahun 2016 pihaknya mencatat ada 982 PMI asal Sulsel. Kemudian tahun 2017 sebanyak 1.113 orang, tahun 2018 sebanyak 1.083, 2019 sebanyak 1.074 dan tahun 2020 merosot menjadi 283 orang.
"Rata-rata warga Sulsel ini ke Malaysia, Arab Saudi, Papua Nugini, Hongkong, dan Taiwan," ujarnya.
Para PMI tersebut berasal dari Gowa, Bantaeng, Jeneponto, Pinrang dan Bulukumba. Mereka mengadu nasib menjadi plantation worker, agricultural labour, housemaid, worker, dan operator.
Benny mengakui jalur konvensional atau ilegal masih menjadi pilihan para pekerja migran yang ingin keluar negeri. Hal ini dikarenakan mereka tak memiliki dokumen kelengkapan serta tak memenuhi syarat seperti dari segi kesehatan.
Baca Juga:Luka Bakar 100 Persen, Polisi Kesulitan Ungkap Identitas Mayat di Maros
"Mereka merasa yang penting dapat kerjaan. Apalagi tidak memenuhi syarat seperti kesehatan dan dokumen. Mereka tidak pikir soal asuransi saat terjadi musibah atau ancaman deportasi," tambahnya.
Kata Benny, angka pekerja ilegal terus meningkat karena para calo. Mereka merekrut warga yang tinggal di daerah pedesaan dengan tingkat ekonomi, pendidikan, dan sumber daya manusia (SDM) yang rendah.
Pengiriman pekerja migran ilegal tersebut bahkan menjadi modus tindak pidana perdagangan orang atau human traficking yang marak terjadi belakangan ini. Itu sebabnya, tutur Benny, pemerintah daerah perlu memiliki program strategis untuk menanganinya.
"Makanya kami terus sosialisasikan soal UU 18 tahun 2017. Setidaknya pemerintah di Provinsi bisa bikin Perda untuk perlindungan tenaga kerja kita. Saat ini baru Jawa Timur yang punya," ujar Benny.
Anggota Komisi IX DPR RI Ashabul Kahfi menambahkan, masalah pekerja migran saat ini seolah dibebankan hanya ke BP2MI saja. Belum lagi tidak adanya dukungan anggaran oleh pemerintah.
"Pemerintah pusat harus memberi perhatian yang lebih ke BP2MI. Bayangkan, masa pagu indikatifnya tahun ini hanya Rp 320 miliar. Itu mau bikin apa? Sementara pekerja migran ini ada di seluruh dunia. Kita sudah usulkan di komisi IX agar naik dua kali lipat," tukas Ashabul.
- 1
- 2