Proyek Pedestrian Pemprov Sulsel di CPI Bodong, KPK Diminta Telusuri

Inspektorat Sulsel temukan proyek siluman dengan nilai Rp 11 Miliar

Muhammad Yunus
Selasa, 20 April 2021 | 11:53 WIB
Proyek Pedestrian Pemprov Sulsel di CPI Bodong, KPK Diminta Telusuri
Dokumentasi pekerja menghubungkan kanal CPI dengan perairan di sekitar Pantai Losari Kota Makasar, Senin 11 Januari 2021 / [Foto Humas Pemprov Sulsel]

SuaraSulsel.id - Dinas Pekerjaan Umum Dan Tata Ruang Sulsel disebut berani. Mengerjakan proyek di luar Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA).

Empat paket proyek siluman itu kini bermasalah. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sudah menghentikan pengerjaannya.

Kini diketahui salah satu proyek ilegal yang dikerjakan Dinas PUTR adalah pedestrian di Center Poin of Indonesia (CPI). Sebelumnya juga ada pembangunan jalan ke Pucak, Kabupaten Maros.

Proyek itu diketahui ditandatangani oleh Sekretaris Dinas PU dan Tata Ruang, Edy Rahmat. Edy saat ini ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap.

Baca Juga:Andi Sudirman Sulaiman Fokus Bangun Infrastruktur Jalan di Sulawesi Selatan

Pada lama LPSE, proyek pedestrian ini dikerjakan oleh PT Sumber Resky Abadi. Kontrak kerja dimulai akhir Desember 2020 lalu. Panjangnya 750 meter dengan lebar 3 meter. Anggarannya mencapai Rp 1,4 miliar.

Kepala Dinas PUTR Rudy Djamaluddin sendiri hingga kini masih bungkam. Rudy sudah enggan melayani wawancara sejak Sekretarisnya terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Februari lalu bersama Nurdin Abdullah, Gubernur Sulsel non aktif.

Pelaksana Tugas Inspektorat (Plt) Pemprov Sulsel Sulkaf Latief juga mengakui soal temuan proyek baru ini.

Sebelumnya, ia mengatakan nilai paket proyek ini cukup besar. Ada sekitar Rp 11 miliar yang tak masuk dalam DPA.

Ia juga mengaku heran, ada proyek yang dikerjakan tayang di LPSE namun tidak termuat dalam DPA.

Baca Juga:Jadwal Buka Puasa Makassar Minggu 18 April 2021 dan Masjid Tertua di Sulsel

"Wallahualam, saya belum lihat di LPSE," jelas Sulkaf.

Namun, ia mengaku proyek ini jadi temuan BPK. Pihaknya sudah menjelaskan masalah tersebut. KPK juga bisa saja menelusuri, namun sejauh ini Korsupgah sendiri belum mengkonfirmasi.

"KPK belum menanyakan kepada pihak inspektorat terkait temuan proyek ilegal tersebut. Tapi itu kan sudah jelas, BPK sudah tanya kenapa ada seperti ini," tegasnya.

Sulkaf mengaku tetap tidak akan bertanggungjawab. Mereka sudah meminta sejak awal agar proyek ini jangan dikerja.

"Saya bilang lagi saya tidak mau tahu. Kan sudah dikasih pencerahan aturannya, kalau tidak ada dalam DPA tidak boleh dilakukan. Berarti kalau tidak boleh, berarti bukan institusi," bebernya.

"Jelas sekali saya bilang bahwa pada Januari sebelum saya masuk, sudah ada permintaan telaah dari PUTR ke Inspektorat. Inspektorat sudah mejawab bahwa kegiatan yang tidak ada dalam DPA, jangan dilakukan," tandasnya.

Berpotensi Jadi Kasus Korupsi Gelombang Kedua

Kasus proyek ilegal di lingkup Pemprov Sulsel disebut bisa jadi tahap korupsi gelombang kedua. Aparat hukum diminta untuk bisa turun tangan.

Desakan datang dari Direktur Anti Corruption Committee Direktur (ACC) Sulsel, Kadir Wokanubun. Ia mengaku kasus ini jadi gambaran nyata, begitu kuatnya mafia proyek bermain di Pemprov Sulsel.

"Bagaimana bisa ada proyek yang lolos dikerjakan, tapi tidak ada dalam DPA. Kasus ini harusnya segera direspon oleh aparat penegak hukum," ujar Kadir.

Menurutnya, ada upaya pemufakatan korupsi berjamaah pada kasus ini. Mulai dari inspektorat, pengadaan barang dan jasa (PBJ), dan dinas PU sendiri.

"Ini sangat aneh sekali. Pada konteks ini sangat jelas ada permufakatan jahat, yang sudah tentu ada dugaan tindak pidana korupsi. Ada paket tidak ada dalam DPA tapi bisa tayang di LPSE," tegasnya.

Ia mengaku proyek bisa tayang di LPSE jika sudah melalui review oleh inspektorat. Kontrak juga bisa jalan jika sudah melalui proses tender di pengadaan barang dan jasa.

ACC mendesak agar Kejaksaan dan Kepolisian bisa bertindak. Untuk memulainya, pihak aparat penegak hukum bisa memeriksa pihak PUTR yang bertandatangan dalam kontrak.

"Ini kan bisa dikata pekerjaan bodong. Parahnya lagi kalau sudah ada pembayaran memakai uang negara," tegasnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini