Walhi Sebut Perusahaan Staf Khusus Nurdin Abdullah Untung Miliaran Rupiah

Perusahaan tersebut memperoleh keuntungan yang berlimpah dari penambangan pasir di sekitar Pulau Kodingareng

Muhammad Yunus
Selasa, 09 Maret 2021 | 14:26 WIB
Walhi Sebut Perusahaan Staf Khusus Nurdin Abdullah Untung Miliaran Rupiah
Proyek Makassar New Port PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) / [SuaraSulsel.id / Pelindo IV]

SuaraSulsel.id - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel mencatat keuntungan yang didapatkan oleh dua perusahaan milik Staf Khusus Gubernur Sulsel non aktif Nurdin Abdullah miliaran rupiah.

Dua perusahaan tersebut memperoleh keuntungan yang berlimpah dari penambangan pasir di sekitar Pulau Kodingareng.

Pasir dikeruk untuk menyuplai kebutuhan reklamasi proyek Makassar New Port atau MNP di pesisir Kota Makassar.

Walhi Sulsel menghitung keuntungan yang diperoleh sekitar Rp 258 miliar. Masa kerjanya dari bulan Februari hingga Oktober 2020.

Baca Juga:KPK Cecar Nurdin Abdullah Dengan Pertanyaan Ini Dalam Pemeriksaan Perdana

"Dari izin konsesi (IUP) dua perusahaan itu yakni PT Alefu Makmur dan Banteng Laut Indonesia. Perusahaan milik staf khusus Nurdin Abdullah," kata Direktur Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin, Selasa, 9 Maret 2021.

Walhi Sulsel bersama sejumlah pihak mengaku sudah menginvestigasi hal ini. Kasusnya juga pernah dilaporkan ke KPK.

Al Amin merinci, dalam sehari perusahaan yang berafiliasi dengan PT Boskalis itu bisa mengangkut 3x3.000 meter kubik pasir. Jika 1 meter kubik setara dengan satu dolar, maka keuntungan yang bisa diambil dalam sehari mencapai Rp 1.305.000.000.

Bandingkan dengan penghasilan nelayan di pulau tersebut. Sebelum ada penambangan, nelayan bisa menghasilkan Rp 500 ribu per hari. Itu pendapatan bersih.

Nelayan juga mampu mendapatkan ikan tenggiri tiga hingga enam ekor dalam sehari. Mereka tak pernah khawatir akan hasil tangkapannya.

Baca Juga:Kepala Daerah Nurdin Abdullah Korupsi, Pukat UGM Soroti Biaya Politik Mahal

Namun kondisi berbeda ketika Pemprov Sulsel tiba-tiba mengeluarkan izin penambangan kedua perusahaan tersebut. Nelayan langsung mengeluh.

"Setelah ada tambang, nelayan hanya kembali modal. Mereka merugi Rp 200 ribu hingga Rp 2 juta per hari," jelasnya Al Amin.

Walhi Sulsel mencatat kerugian yang dialami nelayan selama 9 bulan itu mencapai Rp 80 miliar. Baik itu untuk nelayan pancing, nelayan panah, nelayan bagang dan nelayan jaring.

Puncak kekecewaan nelayan memuncak ketika mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sulsel. Tapi Nurdin Abdullah tidak pernah menemui mereka.

Mereka, kata Al Amin, bahkan tidur di trotoar demi bertemu Nurdin Abdullah. Satu harapan mereka, Pemprov Sulsel bisa menghentikan penambangan tersebut.

"Namun, tidak ada. Pak Nurdin tidak menemui mereka," jelasnya.

Walhi Sulsel pun mengaku mendukung KPK untuk mengusut kasus yang menjerat Nurdin Abdullah. Bahkan kalau perlu menyasar soal penambangan pasir ini.

Diketahui, Pulau Kodingareng dikeruk oleh perusahaan milik mantan Tim Sukses Nurdin Abdullah yang juga jadi staf khususnya sekarang.

Dari hasil penelusuran, tahun lalu ada enam perusahaan yang melakukan pengajuan penambangan. Yakni, PT Cipta Konsolindo dengan luas permohonan belum diketahui, PT Danadipa Agra Balawan dengan luas permohonan 999,29 Ha, lalu PT Waragonda Indogernet Pratama yang rencananya akan menggarap 980,33 Ha.

Adapula PT Alefu Makmur yang mengusulkan permohonan seluas 658,54 Ha, lalu PT Banteng Laut Indonesia dengan luas garapan 619,58 Ha. Terakhir PT Berkah Bumi Utama dengan luas permohonan 760,86 Ha.

Dari enam perusahaan yang mengajukan izin tersebut, dua perusahaan disebut resmi mendapat izin dari Pemprov Sulsel yakni PT Banteng Laut Indonesia dan PT Alefu Makmur. Namun, izin terbitnya lebih cepat.

Mereka adalah Akbar Nugraha dan Abil Iksan. Akbar diketahui menjabat sebagai Direktur Utama PT Banteng Laut Indonesia serta Abil Iksan menjabat Direktur Alefu Timur. Keduanya juga teman akrab dari Putra Bungsu Gubernur, Fauzi Nurdin.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini