- Fakultas Ekonomi Unhas didirikan pada 23 Juli 1947 sebagai cabang Fakultas Ekonomi UI, menjadi embrio pendidikan tinggi Indonesia Timur
- Fakultas ini sempat terhenti karena situasi keamanan memburuk pada awal 1950-an, sebelum dibuka kembali pada 7 Oktober 1953
- Jusuf Kalla mengingatkan Indonesia berisiko terjebak pendapatan menengah jika gagal meningkatkan kualitas pertumbuhan dan inovasi ekonomi
SuaraSulsel.id - Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin menyimpan sejarah yang melampaui usia kampus induknya sendiri.
Fakta itu diungkap Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla yang juga alumni Fakultas Ekonomi Unhas.
Dalam Sarasehan Ekonomi yang digelar di Arsjad Rasjid Lecturer Theatre, JK, sapaan akrabnya menarik kembali ingatan ke masa ketika Makassar belum mengenal Universitas Hasanuddin, namun telah lebih dulu menjadi rumah bagi pendidikan ekonomi.
Menurut JK, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia hanya memiliki satu universitas, yakni Universiteit van Indonesië yang kemudian menjadi Universitas Indonesia (UI).
Baca Juga:Rektor Unhas Dituduh Terafiliasi Partai Politik? Prof JJ Siapkan Langkah Hukum
Kondisi itu berlanjut hingga awal kemerdekaan karena kedaulatan Indonesia belum sepenuhnya diserahkan dan sistem pendidikan tinggi masih berada di bawah kendali Belanda.
Dalam sistem tersebut, tiap kota besar diberi mandat mengembangkan satu fakultas unggulan.
Jakarta mendapat Fakultas Hukum dan Kedokteran, Surabaya Kedokteran Gigi, Bandung teknik yang kelak menjadi ITB, Bogor pertanian, dan Makassar kebagian Fakultas Ekonomi.
Penunjukan Makassar bukan tanpa alasan, kata JK.
"Karena dianggap orang Bugis, orang Makassar, orang Sulawesi Selatan dianggap punya semangat pedagang," kata JK, Senin, 15 Desember 2025. Dari sanalah cikal bakal Fakultas Ekonomi lahir.
Baca Juga:JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
Pada 23 Juli 1947, Fakultas Ekonomi didirikan sebagai cabang Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia berdasarkan keputusan Letnan Jenderal Gubernur Pemerintah Hindia Belanda Nomor 127.
Saat itu, fakultas ini dikenal sebagai Faculteit Economie van Indonesië dan menjadi embrio pendidikan tinggi di kawasan Indonesia Timur.
Namun, perjalanan awalnya tidak mulus. Hampir seluruh profesornya merupakan warga Belanda.
Situasi keamanan Makassar yang memburuk akibat pemberontakan Darul Islam (DI) pada awal 1950-an membuat aktivitas akademik terganggu.
Kampus yang kala itu berada di kawasan Baraya, masih pinggiran kota dan relatif sepi kerap jadi lokasi pemberontakan.
"Suka dimasuki tembakan. Semua profesor meninggalkan Makassar. Maka tutuplah Fakultas Ekonomi," tutur JK mengenang.
Fakultas ini praktis berhenti beroperasi selama beberapa tahun.
Meski secara administratif masih ada, proses belajar mengajar lumpuh dan sebagian kegiatan bahkan dipindahkan ke Jakarta.
Fakultas Ekonomi baru dibuka kembali pada 7 Oktober 1953 di bawah pimpinan Prof. Drs. G.H.M. Riekerk.
Momentum inilah yang menandai kebangkitan kembali pendidikan ekonomi di Makassar.
Sejak itu, Fakultas Ekonomi menjadi pusat gerak yang melahirkan fakultas-fakultas lain dan akhirnya melahirkan Universitas Hasanuddin.
Pada 1 September 1956, Fakultas Ekonomi benar-benar hidup sebagai cikal bakal Unhas ketika dipimpin oleh acting ketua Prof. Drs. G.J. Wolhoff dan sekretaris Drs. Muhammad Baga.
Hanya berselang beberapa hari, tepatnya 10 September 1956, Universitas Hasanuddin resmi berdiri sebagai universitas negeri.
Jusuf Kalla sendiri masuk Fakultas Ekonomi pada 1960. Namun ia baru lulus tujuh tahun kemudian, pada 1967.
Bukan karena kesulitan akademik semata, melainkan situasi zaman yang penuh dinamika.
Ia juga menyebut alumni pertama Fakultas Ekonomi berasal dari Tana Toraja dan kemudian menjadi dosen.
Hal itu menandai peran fakultas ini dalam mencetak intelektual kawasan timur Indonesia.
"Alumni pertama Fakultas Ekonomi itu Drs Toban, orang Toraja. Dia pernah jadi dosen," sebutnya.
Di masa mahasiswa, JK aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa, Ketua HMI, sekaligus bekerja membantu usaha ayahnya.
Lalu, di tengah stagnasi Fakultas Ekonomi pada akhir 1950-an, sejumlah tokoh seperti Nuruddin Sahadat, Prof. Drs. G.J. Wolhoff, hingga Mr. Tjia Kok Tjiang tak tinggal diam.
Mereka memelopori pendirian Fakultas Hukum swasta melalui Balai Perguruan Tinggi Sawerigading.
Upaya ini kemudian berkembang menjadi gerakan besar yang melahirkan Fakultas Hukum cabang UI pada 1952, dan akhirnya memperkuat fondasi berdirinya Unhas.
* Indonesia Terancam Jebakan Pendapatan Menengah
Dalam pemaparannya, Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla mengingatkan bahwa Indonesia saat ini berada di fase krusial pembangunan ekonomi.
Status sebagai negara berpendapatan menengah, menurutnya, bukan hanya capaian, tetapi juga peringatan akan risiko stagnasi jika tidak dikelola dengan strategi yang tepat.
Jusuf Kalla menjelaskan, banyak negara gagal naik kelas karena terjebak dalam middle income trap, yakni kondisi ketika pertumbuhan ekonomi melambat, produktivitas stagnan, dan kesejahteraan masyarakat tidak meningkat signifikan meski pendapatan per kapita terlihat membaik.
"Banyak negara berhenti di level ini karena tidak mampu meningkatkan nilai tambah ekonominya. Mereka bergantung pada sumber daya alam atau sektor berupah rendah, sementara inovasi dan produktivitas tidak tumbuh," kata JK.
Menurutnya, Indonesia masih menghadapi persoalan struktural yang serius, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam yang belum memberikan nilai tambah optimal bagi perekonomian nasional.
Kekayaan alam yang melimpah, jika hanya diekspor dalam bentuk mentah, justru membuat keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal dan pasar global, bukan oleh masyarakat luas.
JK menekankan, untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah, Indonesia harus berani mengubah orientasi pembangunan dari sekadar pertumbuhan menuju kualitas pertumbuhan.
Fokus utama harus diarahkan pada peningkatan produktivitas tenaga kerja, penguatan industri berbasis inovasi, serta pengembangan sumber daya manusia yang unggul dan adaptif.
Dalam konteks inilah, peran perguruan tinggi menjadi sangat strategis. Kampus tidak hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan, tetapi juga sebagai laboratorium gagasan dan inovasi kebijakan publik.
Perguruan tinggi diharapkan mampu melahirkan pemikiran ekonomi baru yang relevan dengan tantangan global, sekaligus kontekstual dengan kebutuhan daerah.
"Kalau kampus hanya mencetak sarjana tanpa kemampuan menciptakan nilai tambah, maka kita akan sulit keluar dari jebakan ini," ujarnya.
JK juga menyinggung pentingnya keseimbangan antara kebijakan ekonomi nasionalistik dan keterbukaan ekonomi.
Menurutnya, negara harus hadir melindungi kepentingan nasional, namun tetap memastikan iklim usaha dan investasi berjalan sehat agar pertumbuhan tidak terhambat.
Ia menilai, forum-forum diskusi seperti Sarasehan Ekonomi FEB Unhas menjadi ruang penting untuk merumuskan strategi jangka panjang pembangunan ekonomi nasional.
Melalui dialog antara akademisi, alumni, dan praktisi, kampus dapat memberikan kontribusi nyata dalam menyusun peta jalan keluar dari middle income trap.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing