- Langkah hukum ini didampingi oleh Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR) Makassar
- Randi dan Rian dituduh sebagai dalang dalam peristiwa kerusuhan 29 Agustus 2025
- Bentuk perlawanan terhadap tindakan kepolisian yang dianggap tidak sah secara hukum
SuaraSulsel.id - Sidang praperadilan kasus dua bersaudara buruh harian lepas, Randi dan Rian, digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Senin, 3 November 2025.
Namun, Polda Sulawesi Selatan sebagai pihak termohon tidak hadir di persidangan tersebut.
Randi dan Rian yang dituduh sebagai dalang dalam peristiwa kerusuhan 29 Agustus 2025 lalu mengajukan praperadilan untuk menggugat keabsahan penetapan tersangka serta proses penangkapan dan penahanan mereka.
Langkah hukum ini didampingi oleh Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR) Makassar.
Baca Juga:Anggota Polisi Terseret Kasus Penipuan Anggota DPRD Takalar
"Praperadilan ini kami ajukan sebagai upaya memperoleh hak atas keadilan prosedural. Berdasarkan temuan kami, ada banyak penyimpangan dalam proses penetapan tersangka maupun penangkapan terhadap Randi dan Rian," ujar Afriandi, anggota KOBAR Makassar, Selasa (4/11).
Permohonan praperadilan tersebut terdaftar di PN Makassar dengan nomor perkara 40/Pid.Pra/2025/PN Mks sejak 21 Oktober 2025.
Menurut KOBAR, langkah ini merupakan bentuk perlawanan terhadap tindakan kepolisian yang dianggap tidak sah secara hukum.
"Banyak pelanggaran yang kami temukan selama masa pendampingan. Karena itu, kami ingin menguji legalitas penetapan tersangka terhadap dua buruh ini," tambah Siti Nur Alisa, anggota KOBAR lainnya.
Sejak pagi, keluarga Randi dan Rian sudah menunggu di Pengadilan Negeri Makassar. Mereka datang lengkap bersama orang tua dan saudara kandung korban.
Baca Juga:Dua Anggota DPRD Takalar Tipu Warga Ratusan Juta, Begini Modusnya...
Ayah Randi dan Rian bahkan rela tidak masuk kerja sebagai buruh bangunan demi menyaksikan langsung jalannya sidang anaknya.
"Saya izin tidak kerja mau lihat sidangnya anak saya. Biasanya ibunya yang dampingi dari Polres sampai Kejaksaan. Sekarang kami datang semua," tuturnya dengan nada kecewa.
Namun hingga siang hari, tak ada tanda-tanda sidang dimulai. Sekitar pukul 13.00 Wita, salah satu penasihat hukum berinisiatif mencari informasi tentang panitera pengganti perkara tersebut.
Namun, dengan alasan kerahasiaan, kontak panitera tidak diberikan.
"Hari ini saya berharap sidang bisa jalan, biar ada kejelasan. Tapi polisinya tidak datang," kata sang ayah.
Hingga Hakim tiba di ruang sidang pukul 14.00 Wita, pihak Polda Sulsel tetap tidak hadir. Tidak ada alasan resmi yang disampaikan terkait ketidakhadiran mereka.
Akhirnya, hakim memutuskan untuk menunda sidang hingga Senin, 10 November 2025, atau tujuh hari kemudian.
Ini bukan penundaan pertama. Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Makassar, sidang seharusnya digelar pada 29 Oktober 2025. Namun diundur ke 3 November, dan kini kembali ditunda ke 10 November.
Artinya, sejak pendaftaran praperadilan, sudah 13 hari berlalu tanpa kejelasan.
Jika dihitung sejak penangkapan Randi dan Rian pada 2 September 2025, keduanya telah kehilangan kebebasan selama 63 hari dan terus bertambah.
Menurut kuasa hukum Randi dan Rian, Muh Ansar, pola penundaan ini bukan kebetulan.
"Ini siasat Polda Sulsel untuk menggugurkan praperadilan. Mereka tidak siap menghadapi proses hukum karena penangkapan dilakukan secara serampangan, tanpa prosedur yang sah," ujarnya.
Ansar menilai ketidakhadiran Polda Sulsel dan minimnya akses informasi dari pengadilan menunjukkan buruknya penegakan hukum di Indonesia. Terutama bagi masyarakat kecil.
"Penundaan dan ketidakhadiran tanpa alasan jelas ini mencerminkan kelalaian aparat. Sulit sekali bagi rakyat miskin menuntut keadilan di sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka," ujarnya menegaskan.
Ia juga menduga, Polda Sulsel sengaja mengulur waktu agar pokok perkara segera disidangkan, sebab bila itu terjadi. Maka praperadilan otomatis gugur.
"Kami mensinyalir ini strategi mereka. Karena kalau pokok perkara sudah masuk ke pengadilan, praperadilan dianggap tidak relevan lagi," pungkasnya.
Sebelumnya, Randi dan Rian, ditangkap aparat kepolisian setelah aksi unjuk rasa berujung pembakaran di Kantor DPRD Sulawesi Selatan pada 29 Agustus 2025.
Keduanya kini ditahan di Dit Tahti Polda Sulsel dan mengajukan pra peradilan karena merasa tidak terlibat dalam peristiwa tersebut.
Randi dan Rian merupakan buruh bangunan yang tinggal bersama keluarga di Jalan Rappocini, Makassar.
Saat aksi berlangsung, Rian berada di Jalan Faisal bersama sepupunya, Aril, hanya menonton dari jauh, sementara Randi berada di Centre Point of Indonesia bersama pacarnya.
Beberapa hari setelah kejadian, aktivitas keluarga berjalan normal hingga pada 2 September dini hari, polisi mendatangi rumah mereka dan menangkap tiga bersaudara. Randi, Rian, dan Rama. Mereka ditangkap tanpa surat penangkapan.
Selama pemeriksaan, Rian mengaku mendapat kekerasan fisik dan dipaksa mengaku melempar saat aksi berlangsung. Ia menyebut dipukul di bagian perut, wajah, dan kaki menggunakan batu serta dihantam pipa elastis.
Randi juga mengaku mengalami kekerasan serupa hingga akhirnya terpaksa menandatangani pengakuan.
Sementara, Rama dipulangkan pada 3 September dini hari setelah dinyatakan tidak terlibat.
Barulah saat itu, polisi menyerahkan surat penangkapan terhadap dua saudaranya.
Dalam surat tersebut, Randi dan Rian disangka melanggar Pasal 187 ayat (1) ke-3, subsider Pasal 170 ayat (1), subsider Pasal 406 junto Pasal 64 KUHP, berdasarkan laporan polisi tertanggal 1 September 2025.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing