Ditenggelamkan Hidup-Hidup, Siapa Andi Makkasau Berani Lawan Penjajah?

Ditenggelamkan hidup-hidup di laut oleh militer Belanda

Muhammad Yunus
Rabu, 29 Oktober 2025 | 14:58 WIB
Ditenggelamkan Hidup-Hidup, Siapa Andi Makkasau Berani Lawan Penjajah?
Andi Makkasau, Datu Suppa yang diusulkan jadi calon penerima gelar pahlawan nasional 2025 [Suara.com/Istimewa]
Baca 10 detik
  • Akhir hidup seorang Datu Suppa, tokoh karismatik yang namanya kini kembali disebut sebagai calon pahlawan nasional
  • Masyarakat Suppa perlahan berani menentang cengkeraman pemerintah kolonial Hindia Belanda di Parepare dan sekitarnya
  • Tubuh Andi Makkasau kemudian ditemukan warga Marabombang terdampar di pantai. Masih dalam keadaan terikat.

SuaraSulsel.id - Pada suatu pagi yang muram di awal tahun 1947, laut Suppa bergolak. Tiga tubuh terombang-ambing dan hanyut ke tepian Marabombang.

Salah satunya adalah jasad Andi Makkasau, bangsawan yang memilih mati di tangan penjajah ketimbang tunduk pada penindasan.

Ia ditenggelamkan hidup-hidup oleh militer Belanda. Tanpa tembakan, tanpa pengadilan karena darahnya dianggap suci.

"Haram hukumnya darah raja menetes ke tanah," begitu kepercayaan rakyat Bugis kala itu.

Baca Juga:Kapan Soeharto Diumumkan Sebagai Pahlawan Nasional? Ini Jawaban Menteri Sosial

Begitulah akhir hidup seorang Datu Suppa, tokoh karismatik yang namanya kini kembali disebut sebagai calon pahlawan nasional.

Namun, sebelum laut menjadi saksi kematiannya, Andi Makkasau telah lebih dulu mengukir jejak panjang perjuangan di Sulawesi Selatan.

Dalam buku berjudul "Andi Makkasau Menakar Harga 40.000 Jiwa" disebutkan, Makkasau adalah putra kedua Parenrengi Daeng Pabeso Karaengta Tinggimae, bangsawan yang berasal dari garis keturunan dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan: Kerajaan Gowa dan Kerajaan Sidenreng.

Dari sisi ayah, ia juga cucu dari Ishak Manggabarani Karaeng Mangeppe, seorang Arung Matoa Wajo, Datu Pammana, Karaeng Pabbicara Gowa, dan Jenderal Bone.

Deretan gelar ini menunjukkan betapa kental darah kebangsawanan mengalir dalam tubuhnya.

Baca Juga:Kenapa Jenderal M Jusuf Belum Diberi Gelar Pahlawan Nasional?

Sejak kecil ia dididik dalam lingkungan istana Datu Suppa di Pinrang. Di sanalah ia belajar tentang agama, etika, dan nilai-nilai kepemimpinan.

Ia tumbuh bukan hanya sebagai anak bangsawan, tapi juga sebagai pribadi yang memahami bahwa kehormatan sejati seorang raja bukan pada tahtanya, melainkan pada pengabdiannya kepada rakyat.

Tahun 1926, Andi Makkasau dinobatkan sebagai Datu Suppa, dengan gelar Datu Suppa Toa.

Di bawah kepemimpinannya kesadaran akan pentingnya persatuan mulai tumbuh. Makkasau tidak ingin rakyatnya selamanya menjadi budak di tanah sendiri.

Masyarakat Suppa perlahan berani menentang cengkeraman pemerintah kolonial Hindia Belanda di Parepare dan sekitarnya.

Untuk menyalakan semangat kebangsaan itu, Andi Makkasau membentuk berbagai organisasi.

Ia memelopori berdirinya Partai Sarekat Islam di Parepare pada 1927, lalu Sumber Darah Rakyat (SUDARA) pada 1944, dan Penunjang Republik Indonesia (PRI).

Dua minggu setelah proklamasi kemerdekaan, ia mendirikan Pandu Nasional, cikal bakal Pemuda Nasional Indonesia (PNI) sebagai wadah perjuangan generasi muda.

Pada 15 Oktober 1945, ia turut menandatangani Deklarasi Jongayya, bentuk dukungan rakyat Sulawesi terhadap kemerdekaan Indonesia.

Dua bulan kemudian, ketika pasukan Sekutu dan NICA kembali, Andi Makkasau memimpin Konferensi Parepare pada 1 Desember 1945.

Dalam pertemuan itu diputuskan untuk mendukung Sam Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi dan menolak kembalinya Belanda.

Namun sejarah mencatat jalan kemerdekaan selalu berdarah.

Saat Raymond Westerling memimpin operasi pembersihan di Sulawesi Selatan pada akhir 1946, pasukan Andi Makkasau menjadi salah satu yang pertama mengangkat senjata.

Di Asuppo, mereka menghadang pasukan Belanda. Pertempuran itu tak seimbang. Persenjataan mereka terbatas, jumlahnya pun kalah jauh.

Tapi, Andi Makkasau tetap bertahan. Hingga akhirnya tertangkap. Ia disiksa dan dipenjara.

Namun, semangatnya tak padam. Setelah dibebaskan, ia kembali mengorganisir perlawanan.

Kedua kalinya tertangkap, ia dipenjara di Sawitto, Pinrang, bersama 25 pengikutnya.

Pada 26 Februari 1947, ia dan dua tahanan lainnya kemudian diculik oleh militer Belanda dan digiring ke lapangan Afdeling Parepare.

Di sana, tangan mereka diikat dan digantung di tiang gawang. Perlakuan yang dianggap sangat mencederai martabat bangsawan Bugis.

Keesokan harinya, Andi Makkasau bersama dua orang lainnya dibawa ke tengah laut Suppa. Mereka diikat dengan pemberat besi, lalu ditenggelamkan hidup-hidup.

Tak satu pun peluru ditembakkan. Konon, para tentara Belanda pun tunduk pada keyakinan lokal bahwa darah raja tak boleh menodai tanah.

Tubuh Andi Makkasau kemudian ditemukan warga Marabombang terdampar di pantai. Masih dalam keadaan terikat.

Dua tahun sebelumnya, sebulan setelah proklamasi, rakyat Suppa telah mengibarkan merah putih di Lapangan Labukkang.

Tapi, di tahun-tahun berikutnya, mereka harus menundukkan kepala melihat pemimpinnya diperlakukan tanpa belas kasihan.

Kini, hampir delapan dekade berlalu, nama Andi Makkasau kembali disebut.

Kementerian Sosial tengah mengusulkannya sebagai salah satu dari 40 calon pahlawan nasional. Usulan yang sempat tertunda di tahun 2024.

Namun bagi rakyat Sulawesi Selatan, gelar itu hanyalah formalitas. Sebab, Andi Makkasau sudah lama hidup sebagai pahlawan.

Namanya sejak lama diabadikan sebagai nama rumah sakit, jalan, dan lapangan di sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan.

Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul sudah memastikan bahwa nama-nama yang diusulkan menerima gelar pahlawan nasional sudah memenuhi syarat formal dan hasil akhirnya akan diumumkan Presiden Prabowo Subianto pada November mendatang.

"Khusus untuk tahun 2025 ada beberapa nama. Tapi sebagian besar telah diputuskan pada masa-masa sebelumnya. Seperti Presiden Soeharto dan Presiden Gus Dur misalnya, itu sudah diusulkan 5 atau 10 tahun yang lalu," ujar Gus Ipul, Selasa, 28 Oktober 2025.

Kata Gus Ipul, beberapa nama sempat tertunda karena belum memenuhi syarat administratif dan kajian historis yang ditetapkan dalam proses seleksi. Namun kini, seluruh persyaratan tersebut telah dilengkapi.

Sampai saat ini, proses masih berlangsung di Dewan Gelar. Kementerian Sosial juga telah melakukan proses penelitian dan pengkajian mendalam sebelum mengajukan nama-nama tersebut.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini