SuaraSulsel.id - Usianya sudah 75 tahun. Tubuhnya masih sehat dan terlihat cantik. Ingatannya pun masih kuat saat menceritakan kisah Pong Tiku, kakek buyutnya. Dialah Ruth Matasak.
Ruth adalah cucu dari Soma Pong Rante, putra tunggal pahlawan nasional asal Toraja, Pong Tiku. Ia belum tahu banyak bagaimana kakek buyutnya berjuang melawan Belanda di tahun 1906.
Namun, Ruth beruntung. Dia mengenal orang yang tahu detail cerita detik-detik terakhir Pong Tiku, hingga akhirnya diceritakan dalam sebuah buku berjudul, "Pong Tiku Pahlawan Tana Toraja".
"Kakek saya cerita, usianya baru 9 tahun saat itu. Ia melihat langsung ayahnya, Pong Tiku ditembak di pinggir sungai Saddang," ujar Ruth di rumah jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, Kamis, 15 Agustus 2024.
Baca Juga:Usia 24 Tahun, Monginsidi Dihujani Delapan Peluru di Makassar
Pada 1846, Pong Tiku lahir di Pangala', desa kecil yang ada di dataran tinggi, sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Ia merupakan anak bungsu dari enam bersaudara pasangan Siambo Karaeng dan Leb'ok.
Tiku dikenal sebagai pemuda yang punya hubungan baik dengan para pedagang kopi. Desa tempat tinggalnya memang merupakan daerah penghasil kopi terbaik di dunia.
Pada 1880, terjadi "perang saudara" antara Pangala dan Baruppu karena kopi. Pong Tiku lalu diperintahkan ayahnya untuk memimpin Laskar Pangala, hingga Baruppu pun takluk dan menjadi wilayah kekuasaannya.
Sejak saat itu, Pong Tiku diakui oleh para pemangku adat lain di Toraja dan kerajaan sekitarnya. Sebagai pemimpin, ia bertugas untuk memperkuat ekonomi untuk meningkatkan perdagangan kopi dengan orang Bugis.
Kecakapan itu yang membuat bangsawan lain menghormati, tapi sekaligus iri pada Pong Tiku.
Baca Juga:Dari Toraja hingga Kendari, 13 Tim Adu Robot Canggih di UHO
Kerajaan-kerajaan di sekitar Toraja juga mulai tergiur dengan kopi dari Pangala'. Antar kerajaan Islam --Bone dan Luwu-- bahkan menyerang pemukiman dari Sidenreng dan Sawitto demi berebut kopi Toraja tahun 1889.
Pasukan Pong Tiku sempat terdesak pada penyerangan itu karena berpihak pada Sidenreng dan Sawitto. Namun, pada akhirnya mereka berhasil memukul mundur laskar Luwu dan Bone pada tahun 1890.
Pong Tiku kemudian mengirim mata-mata ke Sidenreng dan Sawitto. Namun, tanpa disadari, Belanda sudah lebih dulu mempelajari cara tempur mereka.
Tersiar berita Belanda menyiapkan pasukan lebih banyak untuk merebut Toraja. Menyadari ancaman itu, Pong Tiku memerintahkan pasukannya untuk bersiap dan mulai mengumpulkan cadangan makanan.
Sekitar 1905, Pong Tiku mendengar kerajaan Luwu sudah jatuh ke tangan Belanda. Selanjutnya, kerajaan-kerajaan lain semuanya ikut runtuh.
Untuk mengejar Raja Gowa, pemerintah kolonial bahkan mengerahkan pasukan marsose dari Aceh yang dipimpin Hans Christoffell. Pong Tiku terpaksa bergerilya ke daerah lain.
Pong Tiku bersembunyi di bentengnya, di Buntu Batu. Ia kembali mengirim pasukan untuk memata-matai Belanda di Rantepao.
Pada 22 Juni di tahun yang sama, pasukannya melaporkan bahwa pada malam sebelumnya, sebuah batalyon Belanda, sekitar 250 ribu pria dan 500 pengangkut berangkat ke desa tersebut. Tiku kemudian memerintahkan agar jalanan segera disabotase.
Pada tahun-tahun tersebut, Belanda tidak hanya bermusuhan lagi dengan Toraja saja, tapi juga dengan kerajaan Islam di Sulawesi seperti Bone, Gowa, dan Sawito.
Pong Tiku lalu mengadakan gencatan senjata dengan Belanda. Ia kemudian bergerak ke Benteng, di wilayah selatan.
Dari sana dia kemudian ke Alla (Enrekang) dan bertempur bersama orang-orang Duri melawan Belanda. Sayangnya, wilayah itu pada akhirnya jatuh ke tangan Belanda.
Pong Tiku lalu memutuskan untuk bersembunyi di hutan. Namun, pada 30 Juni 1907, Tiku dan dua anak buahnya ditangkap oleh pasukan Belanda.
Pada 10 Juli 1907, Tiku dieksekusi oleh tentara Belanda di dekat Sungai Sa'dan. Ia ditembak mati saat sedang mandi.
Setelah terbunuh dan pengikut Pong Tiku diberantas, Belanda akhirnya bisa menguasai kopi Toraja.
Ruth mengatakan Pong Tiku sebenarnya punya nama asli Matasak. Nama itu adalah pemberian ayahnya.
Namun, oleh pasukannya dipanggil Pong Tiku. Artinya bapak pengayom dan pemberani. Itu juga yang jadi kebangaan Ruth, kata Matasak di belakang namanya untuk mengenang kakeknya.
Sejak kematiannya, Pong Tiku menjadi simbol perlawanan Toraja. Untuk menghargai jasanya, ia resmi dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2002.
Pong Tiku juga jadi nama Bandara di Toraja. Selain itu, pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, di Sulawesi Selatan terdapat nama Batalyon Pong Tiku yang pro Republik, berisikan pemuda Toraja yang dipimpin oleh bekas serdadu KNIL bernama Samuel Tambing.
Kata Ruth, selain cerita heroik, keluarga masih mengenang Pong Tiku lewat sebuah keris pusaka yang dulu digunakan untuk melawan Belanda. Keris itu kini tersimpan rapi di Bandung, Jawa Barat.
"Kami masih menyimpan dengan baik keris miliknya yang dikasih nama Pasang Timbo. Ada di rumah saudara saya di Bandung, itu disimpan di septi box karena dianggap sakral," tuturnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing