- Orang-orang panik berlarian di jalanan, berteriak histeris: "Tsunami...! Tsunami...!"
- Gempa sesar geser yang memicu longsoran bawah laut. Menghasilkan tsunami setinggi 10,73 meter
- Pendidikan kebencanaan harus jadi bagian kurikulum sekolah dan budaya keluarga
SuaraSulsel.id - Jumat sore, 28 September 2018. Langit Palu mulai memerah, azan Magrib baru saja merampungkan gema syahdunya.
Umat muslim bersiap salat, mencari ketenangan setelah seharian beraktivitas. Namun, ketenangan itu seketika direnggut. Bumi tiba-tiba mengamuk.
Di Hotel Gajah Mada, Jimmi Nugraha, seorang mahasiswa yang sedang berburu data untuk tesisnya. Merasakan guncangan dahsyat.
Tiang-tiang hotel berderak horor, lemari dan kursi menari tak beraturan lalu ambruk, debu pekat langsung memenuhi kamar.
Baca Juga:Kementerian PU Janji Bangunan Baru DPRD Makassar Anti Gempa dan Kebakaran
"Ini gempa!" batin Jimmi, dikutip Suara, Jumat 19 September 2025.
Otaknya otomatis memerintahkan tubuhnya mencari 'segitiga kehidupan' di sisi tempat tidur. Tapi guncangan itu terlalu kuat, bahkan sempat membuatnya terlempar.
Saat guncangan mereda, Jimmi bergegas keluar, menuruni tangga melewati pecahan kaca dan tegel yang mencuat tajam.
Kengerian yang lebih besar menanti di luar. Orang-orang panik berlarian di jalanan, berteriak histeris: "Tsunami...! Tsunami...!"
Situasi kacau balau. Listrik padam, sinyal komunikasi putus satu per satu.
Baca Juga:BMKG: Makassar Belum Masuk Musim Hujan, Masyarakat Diminta Waspada Cuaca Ekstrem
![Likuifaksi yang dipicu gempa 7,4 skala Richter di Palu mengakibatkan rumah roboh dan tenggelam di Kelurahan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (6/10). [Antara/Mohamad Hamzah]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2018/10/09/41908-likuifaksi-palu.jpg)
Jalanan gelap gulita, hanya diterangi cahaya ponsel yang berkelebat panik.
Di tengah kerumunan, Jimmi melihat seorang perempuan berlumuran lumpur, menggendong bayi mungil sambil menggandeng balita lainnya.
Wajahnya sembab, air mata berlinang, suaranya bergetar mengungkapkan: "Rumah saya hilang ditelan bumi."
Ibu dan anak-anaknya selamat setelah merangkak di atas atap rumah-rumah yang amblas.
Malam itu, tangisan, jeritan, dan teriakan keputusasaan menjadi melodi paling menyayat hati.
Luka di Palu, Sigi, Donggala begitu dalam.