- Yusril Ihza Mahendra Tanggapi Desakan Pembebasan Aktivis
- Pemerintah Tegaskan Proses Hukum Jalan Terus, tapi Buka Ruang Restoratif Justice
- Yusril Nilai Pembentukan Tim Pencari Fakta Independen Belum Mendesak
SuaraSulsel.id - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra angkat suara.
Soal desakan masyarakat sipil agar aktivis yang ditahan pasca demo pada 29 Agustus 2025 dibebaskan. Termasuk Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen.
Menurut Yusril, wajar jika muncul tuntutan semacam itu. Ia menyebut pemerintah juga tetap menghormati langkah hukum yang ditempuh bagi mereka yang merasa tidak bersalah.
"Kalau merasa tidak bersalah, silakan melakukan perlawanan hukum. Itu hak yang dijamin negara," ujarnya di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, Rabu, 10 September 2025.
Baca Juga:Kekerasan Seksual di Kabupaten Gowa, Aktivis Minta Polisi Profesional
Yusril mengaku telah menemui langsung para aktivis yang kini mendekam di tahanan.
Ia menegaskan, proses hukum harus tetap berjalan, tetapi pemerintah membuka ruang untuk meninjau lebih jauh kasus per kasus.
Yusril mencontohkan penanganan di Jakarta, di mana dari 1.400 orang yang sempat ditangkap, 500 orang dibebaskan dalam dua hari.
Terkini, tersisa 68 orang yang masih dalam penyidikan.
"Semua tergantung perkembangan penyidikan. Kalau alat buktinya kuat, akan dilanjutkan ke pengadilan. Kalau tidak, bisa dipertimbangkan langkah restoratif justice," kata Yusril.
Meski demikian, Yusril sempat turun tangan langsung untuk meminta pembebasan seorang pelajar SMA yang ditahan bersama para demonstran.
Alasannya, sang pelajar dalam waktu dekat akan menghadapi ujian sekolah.
"Saya sudah minta ke Kapolda untuk mempercepat prosesnya. Jadi tinggal 67 orang lagi yang kita tunggu perkembangan penyidikannya," jelasnya.
Ia juga menambahkan, bila nantinya ada yang resmi ditetapkan sebagai tersangka, opsi penangguhan penahanan masih terbuka.
Namun ia menekankan, semua proses tetap harus berjalan sesuai koridor hukum.
Pernyataan Yusril muncul di tengah menguatnya gelombang protes dari masyarakat sipil, aktivis, hingga kelompok pro-demokrasi.
Mereka mendesak pembebasan segera dengan alasan penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang dan berpotensi membungkam suara kritis di ruang publik.
Tim Pencari Fakta Tidak Mendesak
Sebelumnya, sejumlah pihak mendesak Presiden untuk segera membentuk tim pencari fakta independen guna mengusut tuntas peristiwa kerusuhan yang terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Kota Makassar.
Menurutnya, langkah itu penting agar peristiwa tragis yang telah menelan korban jiwa tidak hanya ditangani oleh kepolisian semata.
Melainkan diungkap secara transparan dan dapat dipercaya publik.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah menilai langkah itu belum mendesak.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, TPF biasanya dibentuk ketika negara tidak mengambil langkah hukum yang jelas.
"Biasanya dibentuk kalau pemerintah tidak ada tindakan nyata," ujarnya.
Yusril menegaskan, pemerintah justru sudah menempuh jalur hukum sejak awal.
Presiden, kata dia, telah memutuskan melalui rapat kabinet bahwa penyelesaian kerusuhan Makassar dilakukan dengan penegakan hukum.
"Faktanya sudah ada, bukti sudah terkumpul, pelaku juga ditahan. Jadi langkahnya lebih konkret dibanding sekadar membentuk tim," tegasnya.
Menurutnya, investigasi lapangan sejauh ini sudah cukup mengungkap fakta-fakta penting.
Karena itu, pembentukan TPF dinilai tidak lebih efektif daripada penindakan hukum yang saat ini berjalan.
Sebelumnya, pengamat Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Aminuddin Ilmar mengatakan Presiden Prabowo sebaiknya membentuk tim pencari fakta independen.
Guna mengusut tuntas peristiwa kerusuhan yang terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Kota Makassar.
Menurutnya, langkah itu penting agar peristiwa tragis yang telah menelan korban jiwa tidak hanya ditangani oleh kepolisian semata.
Melainkan diungkap secara transparan dan dapat dipercaya publik.
"Presiden sebagai kepala negara harus memastikan kebenaran peristiwa ini terungkap secara terang. Kalau hanya dibiarkan ditangani seadanya, ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi penanganan demonstrasi di masa depan," tegas Imanuddin, Senin, 8 September 2025.
Di Makassar, salah satu korban jiwa adalah Rusdamdiansyah atau Dandi, pengemudi ojek online yang dikeroyok massa karena diduga intel saat tengah merekam jalannya demonstrasi. Hingga kini, kasus yang menewaskan Dandi belum menunjukkan titik terang.
"Ini menyangkut nyawa manusia. Penanganan kasus Dandi sampai sekarang belum jelas arahnya. Masyarakat tentu butuh kepastian hukum," katanya.
Selain itu, pembakaran Gedung DPRD Sulsel juga meninggalkan tanda tanya besar.
Polisi memang telah menangkap puluhan pelaku perusakan dan pembakaran. Namun mereka sebagian besar hanyalah perusuh di lapangan.
Sementara, siapa aktor di balik tragedi ini, kata Ilmar, belum diungkap oleh polisi.
"Yang ditangkap baru eksekutor, bukan pihak yang menggerakkan. Inilah kenapa tim pencari fakta independen dibutuhkan," ujarnya.
Imanuddin menegaskan, tim pencari fakta harus benar-benar independen dan tidak sekadar formalitas. Tim bisa melibatkan lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM serta organisasi masyarakat sipil yang kredibel.
Menurutnya, keterlibatan lembaga independen juga bisa menjadi penyeimbang agar hasil investigasi tidak hanya berdasarkan kacamata aparat penegak hukum.
"Kalau ada tim yang dibentuk, maka tim itu harus bekerja objektif," ungkapnya.
Aminuddin mengingatkan, kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan maupun pemerintah bisa tergerus terus jika penanganan kasus kerusuhan dilakukan secara setengah hati. Apalagi di situasi rawan sosial seperti sekarang.
"Transparansi adalah kunci. Kalau Presiden serius membentuk tim pencari fakta itu akan memberi pesan kuat bahwa negara peduli dan adil bagi seluruh rakyatnya," sebut Imanuddin.
Diketahui, kerusuhan di DPRD dipicu oleh amarah massa setelah insiden di Jakarta yang menewaskan Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online saat unjuk rasa menolak tunjangan anggota DPR RI.
Gelombang kemarahan meluas hingga Makassar. Hal ini menyebabkan dua gedung DPRD terbakar.
Puncaknya, pembakaran gedung wakil rakyat itu menewaskan tiga orang meninggal dunia. Mereka adalah Saiful, Sarinawari dan Basri atau Abay. Sementara, tujuh orang diantaranya luka-luka.
Selain itu, ada 67 kendaraan ludes dibakar.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing