Menhan soal Relawan China Ikut Cari Korban Bencana Aceh: Bukan Bantuan Asing

Sjafrie menegaskan kedatangan mereka tidak dapat dikategorikan sebagai bantuan asing.

Suhardiman
Selasa, 09 Desember 2025 | 13:08 WIB
Menhan soal Relawan China Ikut Cari Korban Bencana Aceh: Bukan Bantuan Asing
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. [Suara.com/Bagaskara]
Baca 10 detik
  • Menhan Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan lima relawan China datang personal, bukan bantuan resmi negara asing.
  • Penanganan besar bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar diklaim mandiri oleh pemerintah Indonesia dengan kemampuan nasional.
  • Lima relawan China membawa perangkat khusus untuk membantu pencarian jenazah korban yang tertimbun lumpur.

SuaraSulsel.id - Gubernur Aceh Muzakir Manaf mendatangkan lima relawan asal China untuk melakukan proses pencarian korban banjir. Kehadiran tim kecil tersebut langsung memantik perhatian publik.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin pun buka suara terkait hal tersebut. Sjafrie menegaskan kedatangan mereka tidak dapat dikategorikan sebagai bantuan asing.

Menurutnya,relawan itu datang bukan atas nama negara maupun lembaga asing, melainkan secara personal untuk membantu pencarian jenazah yang diduga masih tertimbun lumpur di sejumlah wilayah terdampak.

"Sebetulnya yang dimaksud itu adalah personal dari China yang datang untuk menemukan korban. Itu bukan bantuan asing. Itu bantuan personal kepada Mualem (Muzakir) yang ingin mencari jasad-jasad para korban bencana," katanya di Universitas Hasanuddin Makassar, Selasa, 9 Desember 2025.

Meski ada relawan dari luar negeri, Sjafrie menegaskan, penanganan bencana besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tetap dilakukan secara mandiri oleh pemerintah Indonesia.

Menurutnya, pemerintah telah melakukan evaluasi menyeluruh, dan Presiden Prabowo Subianto memastikan penanganan dapat ditangani dengan kemampuan nasional.

"Bencana ini adalah bencana yang bisa kita atasi sendiri. Kita punya kemampuan peralatan, angkut darat, laut, maupun udara. Kita punya logistik yang cukup, obat-obatan yang cukup, dan tenaga medis yang sangat siap membantu," kata Sjafrie.

Ia juga menyinggung peran berbagai universitas, termasuk Universitas Hasanuddin, dalam mengirim tenaga medis untuk membantu penanganan korban. Seluruh elemen itu, ujarnya, digerakkan dalam satu sistem terpadu penanggulangan bencana.

Situasi ini berbeda jauh dengan kondisi saat tsunami Aceh 2004, ketika Indonesia harus membuka pintu bantuan internasional secara luas. Ketika itu, keterbatasan alat, logistik, dan kapasitas nasional menjadi tantangan besar.

"Sekarang kita mandiri untuk mengatasi bencana di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat," katanya.

Sebelumnya, Mualem telah mengonfirmasi bahwa lima relawan tersebut membawa perangkat khusus untuk mendeteksi keberadaan mayat yang tertimbun lumpur.

Dalam situasi di mana medan pencarian semakin sulit dan waktu semakin kritis, teknologi ini dinilai sangat membantu.

Menurut Mualem, kondisi lapangan terutama di Aceh Timur, Aceh Utara, dan Aceh Tamiang masih menyisakan dugaan banyak jenazah yang belum ditemukan.

"Lumpurnya sampai pinggang. Mereka punya alat untuk membantu kita," ucapnya.

Ia juga menggambarkan betapa berat kondisi di sejumlah titik bencana. Di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, hingga sebagian Bireuen, terdapat kampung-kampung yang hilang terseret banjir bandang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini