SuaraSulsel.id - Lahan seluas 7,2 hektare di sekitar pekarangan Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf, Jalan Masjid Raya, Kecamatan Bontoala, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan diduga digugat mafia tanah. Lahan milik Pemerintah Provinsi itu kini berproses pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Ketua Umum Yayasan Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf, Prof Basri Hasanuddin mengatakan bahwa lahan yang digugat seluas 7,2 hektare tersebut sejatinya adalah milik Pemprov Sulsel. Untuk sebagian dapat dimanfaatkan membangun masjid dan pendidikan sesuai dengan cita-cita dari Jenderal M Jusuf.
Jumlah seluruh lahan di sekitaran Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf itu, kata Basri, diketahui seluas 30 hektare lebih. Hanya saja karena puluhan hektare lahan tersebut tidak dapat dimiliki secara pribadi, maka lahan itu ditukar guling dengan sejumlah aset milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan namun tetap disetujui untuk dimanfaatkan sesuai keinginan dari Jenderal M Jusuf.
"Seluruh ini, 30 hektare yang dikuasi. Ada suratnya antara menteri keuangan juga bahwa itu diserahkan kepada pemerintah provinsi dan setuju dimanfaatkan untuk proyeknya Jenderal Jusuf," kata Basri saat ditemui di Masjid Al Markas Al Islami Jenderal M Jusuf Makassar, Jumat 15 Oktober 2021.
Baca Juga:Makna Logo Hari Ulang Tahun Sulsel ke 352 Tahun
Basri menjelaskan selama dirinya masih menjabat sebagai Rektor Universitas Hasanuddin, Makassar dahulu, lahan milik Pemerintah Sulsel tersebut tidak ada yang menganggu.
"Tanah dari pemerintah. Saya sudah pakai ini sebagai rektor waktu itu. Kita mau bangun apa saja tidak ada halangan," jelas Basri.
Tetapi, malapetaka kemudian datang setelah ada orang lain yang mengaku bahwa lahan yang berada di sekitar pekarangan Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf adalah miliknya secara pribadi. Belakangan diketahui orang yang mengaku memiliki lahan tersebut bernama Ince Baharuddin dan Ince Rahmawati.
Pengakuan ini rupanya tidak main-main. Sebab mereka bahkan berani mengugat lahan milik pemerintah itu di pengadilan. Tujuannya adalah agar lahan itu dapat dikuasai secara pribadi.
Akibat masalah tersebut, kata dia, sarana pendidikan yang rencananya ingin dibangun di sekitar pekarangan Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf terhambat.
Baca Juga:Polda Sulsel Sebut Penyidik Polres Luwu Timur Sudah Sesuai Prosedur
"Tetap terhambat karena tidak bisa kita pemerintah provinsi yang pemegang tidak bisa berbuat apa-apa pada saat masuk gugatan. Harusnya tahun lalu dibangun, tapi karena banyak gangguan sehingga (terhambat). Dua tiga tahun lalu ya, pokoknya sejak Unhas mengosongkan lahan ini banyak mata yang mengintip lahan ini untuk di ini. Saya juga mantan Rektor Unhas waktu ini terjadi," terang Basri.
Basri mengaku tidak mengetahui pasti alasan dari Ince Baharuddin dan Ince Rahmawati mengugat lahan milik pemerintah Sulsel itu. Tetapi, pada kenyataannya lahan tersebut tetap berhasil dimenangkan Pemprov Sulsel saat diproses kasasi pada September 2021. Namun, penggugat berencana melakukan Peninjauan Kembali (PK).
"Kenapa digugat? Kita tidak tahulah bagaimana mereka itu. Syukur ya, bahwa mereka (Pemprov Sulsel) punya kemenangan pada tingkat itu," kata dia.
"Untuk kasus ini sudah selesai, kalau mereka PK. Tapi saya rasakan alat buktinya sudah pernah dia anu," tambah Basri.
Sedangkan, masalah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulsel, kata dia, juga telah selesai kasusnya. Mereka bahkan telah membuat pleno dan setuju lahan tersebut dihibahkan ke Pemprov Sulsel untuk dapat meneruskan cita-cita dari Jenderal M Jusuf.
Dengan adanya perkara tersebut, kata dia, saat ini pihak Yayasan Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf menunggu upaya-upaya dari Pemprov Sulsel bersama Badan Pertanahan Nasional di Sulsel untuk dapat membasmi para mafia tanah. Apalagi, lahan di sekitar pekarangan Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf tersebut baru bisa dimanfaatkan kembali jika telah ada hibah dari pemerintah.
"Kami sisa menunggu aja karena bukan tanah ini bukan lagi milik yayasan, tapi milik pemerintah provinsi. Jadi kami sisa menunggu dari pemerintah provinsi saja untuk bisa mulai melakukan upaya-upaya," katanya.
Lawan Mafia Tanah
Ustad Das'ad Latif mengemukakan bahwa apa yang terjadi ini agar dapat diambil sebagai pembelajaran kedepannya. Penyebabnya, Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf yang begitu megah saja masih ada yang berani gugat. Karena itu, Das'ad meminta agar kejadian ini tidak terulang lagi.
"Sertifikat ini penting, apalagi kalau itu wakaf. Bapaknya punya wakaf anaknya kemasukan setan. Dia gugat, tidak ada bukti. Ini negara hukum. Bayangkan masjid harga diri umat Islam di Sulawesi Selatan. Al Markas Al Islami, nyata-nyata ini masjid milik umat kepentingan umum ada yang berani," tegas Das'ad.
Das'ad menduga bahwa kejadian terkait gugatan lahan di Masjid Al Markas Al Islami Jenderal M Jusuf tersebut pasti dilakukan oleh mafia tanah yang melibatkan institusi dan pejabat. Karena itu, kejadian ini seharusnya menjadi momentum bagi berharga bagi Dewan Masjid Indonesia (DMI) bekerjasama dengan pihak pertanahan untuk dapat segera membuat sertifikat gratis.
Semua ini harus dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Sebab lahan di sekitar pekarangan Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf saja masih ada yang berani gugat. Padahal, sudah jelas lahan tersebut adalah milik pemerintah.
"Tidak mungkin berani kalau dia bukan mafia, pasti ini mafia yang melibatkan institusi, pejabat. Mereka berani karena pasti ada pejabat yang di dalamnya, bisa jadi. Pokoknya ini mafia bukan bekerja sendiri, jadi pelajaran berharga untuk kita umat islam, masjid-masjid yang berupa yayasan apalagi berupa wakaf itu segera bikin legalitas, sertifikatnya. Sangat penting. Saya kira ini menjadi momentum paling berharga untuk Dewan Masjid Indonesia bekerjasama dengan pertanahan untuk membuat sertifikat gratis. Walaupun berbayar, saya kira masjid semua punya dana. Cuma kalau kita hadapi mafia agak berat juga," pungkas Das'ad.
Diketahui, awalnya sebagian wilayah Kecamatan Bontoala dikuasai oleh Intje Koemala istri dari Major Thong Liong Hoei yang diketahui merupakan seorang duta besar dari negara China yang diutus ke Indonesia pada masa perang untuk menyelamatkan penduduk setempat atas kekejaman Westerling hingga mengakibatkan korban 40.000 jiwa.
Singkatnya, Universitas Hasanuddin Makassar diberikan hak pakai oleh pemerintah untuk menggunakan sejumlah lahan di kawasan Kecamatan Bontoala agar dapat digunakan sebagai tempat lembaga pendidikan.
Penguasa lahan di wilayah itu bernama Intje Koemala istri dari Major Thong Liong Hoei kemudian melahirkan anak yang diberi nama Chandra Taniwijaya dan beberapa anak lainya sebagai ahli waris yang sah.
Sedangkan, nama Ince Kumala lain yang muncul diketahui merupakan anak dari Ince Saleh yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan ekspedisi rempah milik Intje Koemala bernama PT Firman dan Co.
Ince Saleh yang kagum dengan kehidupan Intje Kumala, kemudian menikahi Halijah dan memberikan nama anak pertamanya Ince Kumala. Selain itu, tujuh orang anak lainnya lagi diberi nama depan Ince. Sesuai struktur kewarisan dibuat penasehat hukum keluarganya, Andi Sofyan yang juga merupakan dosen Universitas Hasanuddin kala itu.
Dari situ, Ince Kumala kemudian menikah dengan Abdul Rajab dan melahirkan anak pertama bernama Baharuddin alias penggugat. Sedangkan anak kedua, Rahmawati alias penggugat dan anak ketiga Ratna Farida. Tetapi, belakangan memunculkan nama depan Ince. Padahal data kewarisan yang ada tidak ada nama Ince di depan.
Tak hanya itu, hak kewarisan tidak ada hubungannya dengan Itje Koemala karena berdasarkan garis keturunan kakek mereka adalah Ince Saleh yang hanya bekerja sebagai karyawan di perusahaan Intje selaku penguasa dan pemilik lahan dimasa itu.
Bukan cuma itu, lahan kosong seluas 224.250 meter persegi juga diklaim dan digugat ahli waris Thoeng Boeng Siang. Dengan dasar memiliki hak atas kepemilikan berupa dokumen Eigendom Verponding atau produk hukum pertahankan pada masa Belanda dengan letak titik lokasi 1182, masuk dalam lokasi sengketa yang dimaksud.
Kontributor : Muhammad Aidil