SuaraSulsel.id - Pelaksana Tugas Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman meradang. Ia menemukan sejumlah paket proyek siluman di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR).
Salah satu proyek siluman itu adalah pembangunan jalan menuju kawasan Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Proyek tersebut tidak masuk dalam daftar pelaksanaan anggaran (DPA) tahun anggaran 2020.
Sudirman terpaksa menghentikan. Padahal, pengerjaannya belum selesai. Anggarannya Rp 38 miliar untuk pembangunan jalan sepanjang 5 Km lebih.
Proyek ini disebut tidak masuk dalam APBD 2020. Sumber SuaraSulsel.id di Dinas PUTR Sulsel mengaku, harus mengerjakan proyek tersebut karena perintah Gubernur Sulsel non aktif Nurdin Abdullah.
Baca Juga:Dalami Kasus Gubernur Sulsel, KPK Endus Transaksi Perbankan Nurdin Abdullah
Baru-baru ini, Nurdin Abdullah diketahui membeli lahan di area Pucak. Ia sempat meninjau proyek tersebut sebelum dicokok KPK.
Rencananya untuk pembangunan vila. Nurdin Abdullah juga ingin kawasan Pucak jadi pusat pengembangan ternak nantinya.
Selain perbaikan jalan, ada tiga lagi proyek infrastruktur lainnya yang tak masuk dalam DPA, namun dikerjakan. Masalah ini bahkan sudah jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan Daerah (BPK).
"Betul, sedang dalam pemeriksaan. Namun kami tidak mungkin membeberkan hasil pemeriksaan," kata Kepala BPK Perwakilan Sulsel Wahyu Priyono, Sabtu, 17 April 2021.
Andi Sudirman mengaku terpaksa menghentikan pengerjaan proyek tersebut. Jika dilanjutkan tentu bermasalah.
Baca Juga:Telisik Kasus Suap Nurdin Abdullah, KPK Geledah Rumah Agung Sucipto
Ia juga meminta agar tak ada pembayaran ke rekanan. Selain itu kontrak mereka harus diputus. Alasannya karena tak sesuai regulasi.
Bastian Lubis, Pengamat Tata Kelola Keuangan Negara melihat ini tindakan pidana. Hal tersebut melanggar Undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.
"Jelas menyalahi aturan. Ini pidana, tidak ada anggarannya tapi dikerjakan," kata Bastian.
Bastian mengatakan rekanan boleh saja menuntut, tapi tidak boleh ke Pemprov. Mereka harus mendesak Kepala Dinas terkait sebagai kuasa pengguna anggaran ataupun pejabat pembuat komitmen yang bertandatangan.
Pembayarannya pun tak boleh pakai APBD. Biar sepeser rupiah. Kepala OPD terkait yang harus bertanggung jawab untuk membayarkan ganti rugi kepada rekanan.
"Melalui apa dibayar, ya dipotong gajinya atau yang lain. Tapi tidak boleh bayar rekanan pakai APBD. Rekanan boleh tuntut yang tandatangani berita acara, yang membuat kontrak. Atas nama jabatannya, nanti yang bayar, yang buat kontrak," tegasnya.
Ia menjelaskan sesuai prinsip keuangan, setiap kegiatan yang akan dilaksanakan harus disetujui anggarannya di APBD. Di luar dari itu tidak boleh.
Bisa saja melalui parsial, tapi konteksnya harus mendesak dan darurat. Namun yang terjadi Dinas PUTR berbeda.
Tentu dilatarbelakangi kepentingan pribadi. Ia melihat, pola kepemimpinan Nurdin Abdullah selama dua tahun acap kali main tunjuk soal paket proyek.
Begitu juga dengan bantuan keuangan daerah yang disebut setiap kali melakukan kunjungan kerja ke kabupaten/kota. Padahal sangat bertentangan dengan aturan dari Permendagri.
Ia meminta Plt Gubernur Sulsel untuk mengubah gaya Pemprov tersebut. Bantuan keuangan daerah tidak boleh asal digelontorkan.
Menurutnya, disinilah peran BPK sangat dibutuhkan. Karena inspektorat kapasitasnya hanya mengingatkan, BPK diharapkan untuk terus mendampingi agar rekomendasi yang diberikan bisa tuntas.
"Jangan nanti rekomendasinya mandek. Diharapkan tahun depan tidak dilaksanakan lagi, gubernur diminta menegur kadis atau kepala OPD. Kan yang menentukan kebijakan gubernur, jadi saya lihat banyak temuan-temuan dan rekomendasi BPK yang lepas," jelasnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing