- Singkong rebus dibungkus rapat menggunakan plastik putih jadi bekal
- Rangga tinggal bersama kakeknya di rumah panggung yang mulai lapuk
- Pihak sekolah berharap suatu hari dapur bergizi juga berdiri di pelosok desa
SuaraSulsel.id - Di tengah riuhnya program makan bergizi gratis yang dibagikan pemerintah. Rangga tetap berangkat sekolah dengan bekal dua potong singkong bakar di tangannya.
Kisah bocah SD Inpres Borongbulo, Kecamatan Bontolempangan, Kabupaten Gowa itu viral di media sosial.
Dalam video yang direkam gurunya, ia duduk di depan sekolah sambil membuka bekalnya dengan hati-hati.
Wajahnya polos, tapi matanya berbinar saat memperlihatkan bekalnya. Ada dua singkong rebus yang dibungkus rapat menggunakan plastik putih.
Baca Juga:Cinta Segitiga Anti Mainstream: Pria Ini Nikahi Cinta Pertama & Pilihan Keluarga dalam Waktu 48 Jam
Sekolah tempat Rangga belajar berdiri di daerah wilayah pelosok. Untuk sampai ke sana, jalan yang ditempuh bukanlah aspal mulus, melainkan tanah merah yang berubah jadi lumpur saat hujan datang.
Tak jarang kendaraan roda dua bahkan tak bisa lewat. Kondisi ini kadang memaksa anak-anak berjalan kaki beberapa kilometer setiap pagi.
Rangga tinggal bersama kakeknya di rumah panggung yang mulai lapuk. Sang kakek bekerja serabutan. Kadang ke kebun, kadang menjual nanas atau singkong.
"Kalau nanasnya laku, baru bisa kasih uang dua ribu buat Rangga. Kalau tidak, dia cuma bawa ubi bakar saja," ucap Daeng Tompo, salah seorang relawan yang menemui Rangga, Senin 6 Oktober 2025.
Sejak ibunya meninggal saat masih bayi, Rangga tak lagi mengenal kasih sayang seorang ibu. Ayahnya merantau dan jarang pulang.
Baca Juga:Siswi SD di Makassar Mengaku Diperkosa Guru Berulang Kali
![Rangga, Pelajar di SD Inpres Borongbulo, Kecamatan Bontolempangan, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan berdiri depan rumah panggung bersama kakeknya. Kisah Rangga viral di media sosial [Suara.com/Istimewa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/10/07/44961-makan-singkong-di-sekolah.jpg)
"Dari cerita kakeknya kadang ayahnya hanya kirim lima puluh ribu untuk anaknya tapi tidak rutin," ucapnya.
Dalam kesehariannya yang sederhana, Rangga belajar untuk tidak mengeluh. Baginya, ubi bakar dari tangan kakeknya sudah cukup.
Setidaknya perutnya tak kosong saat belajar membaca dan berhitung di sekolah.
Guru-gurunya di SD Inpres Borongbulo sering kali menahan haru melihat ketekunan Rangga.
Salah seorang guru, Rusniati mengatakan, Rangga anak yang rajin. Dia juga cukup pintar untuk anak seusianya.
Para guru tahu di balik senyum anak itu tersimpan perjuangan kecil yang besar artinya.
Di kota-kota, program makan bergizi gratis mulai ramai diperbincangkan. Foto anak-anak berseragam menikmati nasi dan lauk bergizi menghiasi laman berita.
Namun di pedalaman seperti Borongbulo, program itu masih sebatas wacana yang ditunggu.
Pihak sekolah hanya bisa berharap suatu hari dapur bergizi juga berdiri di pelosok. Rangga mungkin tak tahu apa itu program makan bergizi gratis. Di rumahnya tidak ada televisi. Ia juga tidak punya gadget.
Tapi, setiap pagi ia tetap datang ke sekolah. Dengan berpakaian lusuh, ia membawa bekal sederhana dari tangan kakeknya.
Kisah Rangga hanyalah satu dari ratusan ribu potret anak miskin ekstrem di Indonesia yang masih berjuang menempuh pendidikan di tengah keterbatasan.
Data terbaru yang dirilis Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, pada September 2025 mencatat ada 422.619 anak dari keluarga miskin ekstrem (desil 1) yang tidak bersekolah.
Sementara itu, dari total 5,36 juta anak usia sekolah di kelompok masyarakat termiskin, sebanyak 4,93 juta di antaranya masih bersekolah. Termasuk Rangga yang tetap setia datang ke sekolah meski hanya berbekal ubi bakar di tangan.
Angka itu menunjukkan dua sisi wajah kemiskinan anak di Indonesia. Masih banyak yang tertinggal, sementara ada pula yang tetap berjuang bertahan dalam sistem pendidikan yang belum sepenuhnya ramah bagi yang miskin.
Di Sulawesi Selatan sendiri jumlah penduduk miskin mencapai 711.770 jiwa. Dengan sekitar 140 ribu anak tercatat putus atau tidak melanjutkan sekolah.
Angka ini menjadi peringatan bahwa akses pendidikan gratis dan merata masih jauh dari tuntas, terutama di daerah-daerah terpencil seperti Borongbulo, tempat Rangga tinggal.
Pemerintah tengah menyiapkan Program Sekolah Rakyat sebagai salah satu upaya memperluas akses pendidikan bagi anak-anak kurang mampu.
Program ini diharapkan bisa menjadi jembatan bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem untuk tetap bersekolah tanpa terbebani biaya.
Namun, bagi mereka yang hidup di pelosok, kebijakan di atas kertas sering kali tak semudah itu.
Di tengah ambisi besar pemerintah untuk menghapus kemiskinan ekstrem, kisah kecil seperti Rangga menjadi cermin bahwa persoalan tak hanya soal angka, tapi juga soal jarak, akses, dan kepedulian.
Program makan bergizi gratis yang ramai diperbincangkan, misalnya, belum sepenuhnya menjangkau sekolah-sekolah terpencil yang justru paling membutuhkan.
Semangat anak-anak seperti Rangga seharusnya menjadi alasan paling kuat bagi negara untuk memastikan tidak ada satu pun anak yang kehilangan haknya atas pendidikan dan makanan bergizi.
Karena bagi mereka yang hidup dalam garis kemiskinan ekstrem, sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi satu-satunya harapan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Jangan sampai semangat itu padam hanya karena jarak yang jauh, perut yang kelaparan, atau program yang tak merata.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing