- Apang Paranggi, kue manis Bugis-Makassar, namanya secara harfiah berarti "Kue Orang Portugis".
- Panada yang gurih pedas merupakan hasil adaptasi dari kudapan empanada khas Semenanjung Iberia.
- Kedua kue ini menjadi arsip kuliner hidup dari jejak interaksi budaya Portugis di Sulawesi.
SuaraSulsel.id - Di sudut pasar tradisional Makassar atau di kedai kopi sederhana, aroma manis gula aren dari kue Apang Paranggi yang lembut kerap menguar, berpadu dengan gurihnya Panada berisi ikan cakalang pedas. Keduanya adalah primadona jajanan Sulawesi yang akrab di lidah.
Namun, siapa sangka di balik setiap gigitannya tersimpan arsip sejarah panjang?
Sebuah kilas balik perjumpaan budaya antara pelaut Eropa dan kerajaan-kerajaan di tanah Sulawesi berabad-abad silam. Inilah jejak manis dan gurih yang ditinggalkan bangsa Portugis.
Arsip Manis Bernama Apang Paranggi
Baca Juga:Rumah Dibakar, Emas Raib: Warga Makassar Korban Bentrokan Minta Jaminan Keamanan Ekstra!
Kisah ini dimulai dari nama. Apang Paranggi, kue manis yang menjadi teman setia kopi hitam masyarakat Bugis-Makassar, menyimpan petunjuk jelas dalam namanya.
Apang berarti bolu atau kue, sementara "Paranggi" adalah sebutan lokal yang disematkan untuk orang Portugis.
Sejarawan Zainuddin Tika dalam bukunya berjudul Makassar Tempo Doeloe (Pustaka Taman Ilmu, 2019) mencatat, penyebutan itu muncul sebagai penanda perjumpaan dua budaya.
"Dengan kata lain, setiap kali seseorang menyebut Apang Paranggi, sesungguhnya ia tengah menyebut Portugis."
Kue ini bukanlah sajian mewah untuk bangsawan. Dibuat dari campuran tepung beras, gula aren, dan ragi, Apang Paranggi justru berkembang di tengah masyarakat biasa.
Baca Juga:Livin' Music Fest Makassar Segera Hadir, Armada dan Danilla Siap Meriahkan Panggung
Teksturnya yang lembut dan aromanya yang khas menjadikannya kudapan rakyat yang dicintai hingga kini.
Jejak Portugis di Sulawesi sendiri bermula pada abad ke-16. Tujuan utama mereka adalah memburu jalur rempah-rempah dari Maluku.
Dalam perjalanannya, mereka membangun hubungan dagang dan politik dengan kerajaan lokal, seperti Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, yang dimulai sekitar tahun 1525. Dari interaksi inilah, pertukaran budaya, termasuk kuliner, tak terhindarkan.
Jejak Empanada di Tanah Minahasa
Jika Apang Paranggi adalah warisan manis, maka Panada adalah jejak gurihnya. Kudapan ini memiliki garis keturunan langsung dengan empanada, sejenis roti isi yang populer di Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal).
Nama empanada sendiri berasal dari kata empanar, yang berarti membungkus atau melapisi dengan adonan.
Ketika resep ini dibawa melintasi lautan oleh para pelaut Portugis, ia beradaptasi dengan selera dan bahan baku lokal.
Di tanah Minahasa, Sulawesi Utara, isian daging khas Eropa digantikan oleh hasil laut melimpah: ikan cakalang suwir yang dibumbui pedas dengan bumbu rica-rica.
Identitas baru ini menjelma menjadi Panada yang kita kenal sekarang. Dari Minahasa, popularitasnya menyebar ke seluruh Sulawesi, termasuk Makassar, di mana ia menjadi salah satu jajanan yang paling mudah ditemukan di kota Anging Mammiri.
Apang Paranggi yang manis lebih lekat dengan kebiasaan ngopi masyarakat perkotaan, sementara Panada yang gurih pedas sering dikaitkan dengan budaya masyarakat pesisir.
Keduanya membuktikan bahwa jejak kolonialisme tidak selamanya meninggalkan warisan pahit.
Mungkin generasi sekarang tak lagi mengingat detail perjanjian dagang antara Kerajaan Gowa dan Portugis, namun mereka masih bisa merasakan jejak perjumpaan itu lewat legitnya Apang Paranggi dan sensasi pedas Panada.
Kini, berabad-abad setelah layar kapal Portugis lenyap dari perairan Sulawesi, kedua kudapan itu masih lestari, menjadi arsip kuliner hidup yang terus dinikmati.
Apang Paranggi masih dijajakan di pasar-pasar tradisional, sementara Panada menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kuliner Sulawesi.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing