- Tamparan tersebut menyebabkan wajah korban lebam, mata bengkak, dan telinga berdengung
- Keluarga menyebut tindakan kekerasan ini sudah berulang dialami santri lain
- Video yang beredar memicu kecaman warganet, yang mendesak agar polisi segera menindak Prof SA
SuaraSulsel.id - Dugaan tindak kekerasan di pondok pesantren terjadi lagi. Videonya mendadak viral di media sosial.
Peristiwa ini terjadi pada Jumat malam, 12 September 2025 di Pesantren Putra Datuk Sulaiman, Kota Palopo, Sulawesi Selatan.
Video itu memperlihatkan seorang pria yang disebut-sebut sebagai pembina pesantren berinisial Profesor SA menganiaya seorang anak di bawah umur di hadapan banyak orang.
Korban berinisial MKH bahkan ditampar dua kali di bagian wajahnya.
Baca Juga:Kebakaran Tangki Terminal Pertamina Palopo, 2 Pekerja Terluka
Menurut keterangan keluarga korban, Yuni Arief, kejadian bermula saat keponakannya datang ke pesantren tersebut memenuhi undangan sebagai qori.
Usai berwudu bersama kakak dan adiknya untuk menunaikan salat Isya, MKH hendak menyimpan Alqur'an. Di saat bersamaan, ia melihat Prof SA sedang duduk.
Dengan sopan, ia bermaksud mengulurkan tangan untuk bersalaman. Namun, bukan sambutan yang didapat, melainkan tamparan keras di wajah.
"Ponakan saya itu bukan santri di situ, dia hanya datang karena diundang jadi qori. Tiba-tiba direktur pesantren itu melakukan tindak kekerasan tanpa sebab," kata Yuni, Senin, 15 September 2025.
Tamparan tersebut membuat penglihatan MKH gelap, telinganya berdengung, dan tubuhnya sempat sempoyongan.
Baca Juga:Langgar Jam Malam di Kabupaten Sidrap, Pelajar Dimasukkan ke Pesantren
Melihat kejadian itu, adiknya yang juga berniat bersalaman malah ikut menjadi sasaran.
Akibat tamparan itu, wajah MKH mengalami luka lebam. Bagian bawah matanya membengkak sehingga harus menjalani visum di rumah sakit.
Hasil visum tersebut sudah diserahkan ke polisi sebagai bagian dari laporan resmi pada Sabtu, 13 September 2025.
"Kalau dipukul di badan mungkin tidak masalah, tapi ini di wajah. Matanya sampai bengkak, bawah matanya lebam," ujarnya.
Selain luka fisik, dampak psikologis juga dialami korban. Dikenal sebagai qori muda yang sering tampil di berbagai pengajian, kini MKh menolak untuk kembali mengaji karena ketakutan.
"Ponakan saya sekarang trauma, dia tidak mau lagi pergi mengaji. Padahal biasanya dia sangat bersemangat tampil di depan umum," tutur Yuni.
Keluarga memutuskan membawa kasus ini ke jalur hukum. Menurut Yuni, tindakan kasar yang dilakukan Prof SA bukan kali ini saja terjadi.
Beberapa santri bahkan mengaku kerap mendapat perlakuan serupa ketika sang pembina sedang marah.
"Banyak yang cerita memang sudah sering begitu. Tapi kali ini sudah keterlaluan karena menimpa anak yang datang hanya untuk mengaji," tambahnya.
Kasus ini resmi dilaporkan ke Polres Palopo pada Sabtu, 13 September 2025.
Laporan tersebut disertai dengan bukti visum serta rekaman video yang sempat beredar luas di media sosial.
Hingga kini, pihak kepolisian masih mendalami kasus tersebut. Keluarga korban berharap laporan mereka tidak berhenti di meja penyelidikan.
Keluarga korban meminta proses hukum ditegakkan agar kejadian serupa tidak lagi terulang di pesantren.
"Andai dia bukan orang berpendidikan, keluarga kami bisa terima. Tapi dia tokoh agama dan guru besar," ucapnya.
Kasat Reskrim Polres Palopo, Iptu Syahrir, membenarkan laporan tersebut. Ia menyebut saat ini pihaknya tengah melakukan penyelidikan.
"Dalam lidik," katanya singkat.
Video yang beredar di media sosial tersebut mengundang reaksi warganet. Mereka mendesak kepolisian agar segera bertindak.
"Beliau belum berubah sampai sekarang. Sebaiknya pendidik seperti ini di rumahkan saja. Perlakuan kasar begini bisa berpengaruh buruk untuk perkembangan mental anak didik. Sekali lagi beliau sangat tidak layak berada dalam lingkup dunia pendidikan," tulis warganet.
"Mungkin muncul rasa jengkel terhadap kelakuan santri dan anak ini yang jadi korbannya. Pondok modern seperti itu memang sangat riskan dengan kekerasan dan pembulian. Polisi harus bertindak segera," timpal yang lainnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing