SuaraSulsel.id - Sulawesi Selatan tidak hanya dikenal lewat pesona alamnya, tetapi juga menyimpan warisan budaya dan sejarah yang kaya.
Salah satu cara terbaik untuk mengenal lebih dekat jejak peradaban dan tradisi lokal adalah dengan mengunjungi museum.
Jadi, kalau kamu bosan dengan wisata yang itu-itu saja, coba deh kunjungi museum-museum bersejarah di Sulawesi Selatan.
Nggak cuma bisa foto-foto keren, kamu juga bisa belajar banyak soal sejarah, budaya dan kekayaan lokal yang luar biasa.
Mulai dari jejak kerajaan Gowa sampai tradisi Toraja yang unik, semua bisa kamu temukan di museum-museum ini.
Baca Juga:130 Ribu Warga Miskin Sulawesi Selatan Kehilangan BPJS Gratis?
Artikel ini akan mengulas beberapa museum yang memiliki nilai historis dan budaya tinggi di provinsi tersebut:
1. Museum Batara Guru Luwu
Berlokasi di Kota Palopo, Museum Batara Guru merupakan bekas Istana Raja Luwu yang dibangun pada 1920.
Museum ini diresmikan pada 26 Juli 1971 oleh Bupati Luwu saat itu, Andi Achmad, yang juga merupakan salah satu ahli waris Datu Luwu.
Pendirian museum ini bertujuan untuk melestarikan warisan budaya Kerajaan Luwu yang pernah menjadi salah satu kerajaan tertua di Sulawesi.
Baca Juga:Sekolah Rakyat Makassar: Ketika Anak Orang Kaya Ikut Berebut Pendidikan Gratis
Gedung museum bergaya arsitektur Eropa ini berdiri di atas lahan seluas 968 meter persegi dengan ruang pamer utama seluas 120 meter persegi.
Di dalamnya terdapat 831 koleksi, mulai dari artefak prasejarah, keramik kuno, naskah kerajaan, foto dokumenter, hingga koleksi numismatik.
Museum ini bukan hanya pusat penyimpanan artefak, tetapi juga menjadi simbol kejayaan Luwu sebagai pusat pemerintahan dan peradaban sejak berabad lampau.
2. Museum Ne’ Gandeng Toraja Utara
Museum Ne' Gandeng berada di Desa Malakiri, Kecamatan Balusu, Kabupaten Toraja Utara.
Museum ini didirikan untuk menghormati seorang tokoh adat perempuan bernama Ne' Gandeng.
Sosok pemimpin perempuan Toraja yang sangat dihormati karena kepeduliannya terhadap masyarakat dan pelestarian adat istiadat.
Di kompleks museum berdiri sejumlah rumah adat Tongkonan yang mengelilingi bangunan utama.
Tongkonan sendiri adalah simbol status sosial dalam masyarakat Toraja dan menjadi pusat penyelenggaraan ritus adat.
Museum ini tidak hanya menyajikan benda bersejarah seperti patung Ne' Gandeng, menhir kuno, gong, dan seekor sapi albino yang disakralkan.
Tetapi juga menjadi panggung hidup bagi pelestarian tradisi pemakaman adat yang masih dijalankan oleh masyarakat setempat.
Wisatawan yang berkunjung tidak hanya mendapatkan pengalaman visual, tetapi juga menyaksikan praktik adat Toraja yang autentik dan sarat budaya.
![Salah satu bangunan peninggalan Belanda di Kota Makassar [SuaraSulsel.id/Arsip Nasional RI]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/11/24/72158-museum-kota-makassar.jpg)
3. Museum Kota Makassar
Terletak di jantung Kota Makassar, tepatnya di Jalan Balai Kota No. 11A, Museum Kota Makassar menyimpan narasi panjang perjalanan kota ini dari era kolonial hingga masa modern.
Gedung ini dibangun pada tahun 1906 bersamaan dengan ditetapkannya Makassar sebagai "Gemeente" atau kota besar di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Bangunan selesai pada 1918 dan sejak itu digunakan sebagai kantor Wali Kota hingga masa pendudukan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, gedung ini tetap digunakan sebagai pusat administrasi Kota Makassar hingga 1993.
Saat Wali kotamadya Ujung Pandang dijabat oleh Suwahyo (1988–1993), kantor Wali Kota dipindahkan ke eks Gedung Gubernur Celebes yang kini menjadi Balai Kota.
Kini, Museum Kota Makassar menjadi ruang pengarsipan sejarah kota dan masyarakatnya.
Di dalamnya terdapat koleksi dokumen pemerintahan kolonial, foto-foto pembangunan kota, artefak peninggalan masa penjajahan, serta narasi tentang transisi kota dari masa kolonial ke republik.
![Pembukaan kegiatan "Bersua di Museum" yang digelar Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gowa di Museum Balla Lompoa, Senin (14/12/2020) / [Foto: Humas Pemkab Gowa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/12/14/77624-museum-balla-lompoa.jpg)
4. Museum Balla Lompoa Gowa
Museum Balla Lompoa merupakan bekas kediaman resmi Raja Gowa dan kini menjadi salah satu ikon sejarah penting di Sulawesi Selatan.
Terletak di Sungguminasa, Kabupaten Gowa, museum ini berbentuk rumah panggung tradisional yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-35, I Mangngi-mangngi Daeng Mattutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin, pada tahun 1935–1936.
Setelah masa kekuasaan beliau, istana ini dihuni oleh penerusnya, Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, yang juga merupakan Bupati Gowa pertama.
Seiring waktu, bangunan ini tidak lagi difungsikan sebagai pusat pemerintahan, melainkan diubah menjadi museum yang menyimpan benda-benda pusaka Kerajaan Gowa, senjata tradisional, naskah kuno, mata uang, dan pakaian adat.
Wisatawan juga bisa menyewa baju adat Gowa dan berfoto di dalam istana. Kamu bisa menciptakan pengalaman unik layaknya bangsawan di masa silam.
5. Museum Kupu-kupu Maros
Museum ini terletak di dalam kawasan Taman Wisata Alam Bantimurung, Kabupaten Maros, dan diresmikan pada 1993 oleh Bupati Maros, Alwy Rum.
Lokasinya dipilih karena kawasan ini pernah menjadi tempat penelitian naturalis ternama asal Inggris, Alfred Russel Wallace, pada tahun 1856–1857.
Wallace sendiri menjuluki Bantimurung sebagai “The Kingdom of Butterflies” karena kekayaan spesies kupu-kupunya.
Museum ini menyimpan ratusan spesimen kupu-kupu khas Sulawesi yang diawetkan dan didokumentasikan.
Selain sebagai museum edukasi, tempat ini juga memiliki area penangkaran untuk keperluan penelitian, observasi, dan pelestarian spesies.
Museum ini berada di bawah pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros bersama Balai Taman Nasional Bantimurung–Bulusaraung.
![Villa Yuliana, bangunan peninggalan zaman pemerintahan Hindia Belanda yang kini jadi museum di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id/Dokumentasi Kamajaya Shagir]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/08/13/49287-villa-yuliana.jpg)
6. Museum Villa Yuliana Soppeng
Museum Villa Yuliana berdiri megah di Jalan Pengayoman, Watansoppeng. Dibangun pada tahun 1905 oleh Gubernur Hindia Belanda, C.A. Kroesen, villa ini awalnya dibangun untuk menyambut kedatangan Ratu Yuliana dan menjadi simbol loyalitas pemerintahan kolonial Belanda terhadap kerajaan Belanda.
Dengan arsitektur bergaya Indis atau perpaduan Eropa dan lokal Bugis, Villa Yuliana menyimpan koleksi benda-benda bersejarah.
Mulai dari fosil manusia dan hewan purba, tengkorak babirusa, gigi anoa, hingga uang-uang kuno dari masa Belanda.
Keberadaan museum ini menjadi saksi transformasi kota Soppeng dari era kolonial ke masa modern.
7. Museum Buntu Kalando Tana Toraja
Buntu Kalando dalam bahasa Toraja berarti "bukit batu", mencerminkan pilihan lokasi istana yang berada di dataran tinggi. Museum ini dulunya merupakan Istana Raja Sangalla, salah satu kerajaan adat di Tana Toraja.
Bangunannya berbentuk rumah adat klasik dengan lima lumbung padi atau Alang di bagian depan yang menjadi simbol kekayaan dan status sosial.
Museum ini diresmikan pada 29 Juli 1980 sebagai respons atas usulan tokoh masyarakat agar benda peninggalan budaya Toraja dilestarikan.
Koleksi museum ini terdiri dari 701 artefak yang mencakup geografi, arkeologi, numismatik, keramik, dan seni rupa. Selain sebagai tempat pelestarian budaya, Buntu Kalando juga berfungsi sebagai pusat pelayanan masyarakat adat Toraja.7
8. Museum Tanadoang Selayar
Museum Tanadoang berlokasi di Bontobangung, Kecamatan Bontoharu, Kepulauan Selayar. Bangunan museum berupa rumah panggung khas Selayar, yang dulunya juga menjadi tempat tinggal para raja.
Tanadoang sendiri dalam bahasa lokal berarti tempat belajar atau berpikir.
Museum ini menyimpan benda-benda peninggalan masa lampau seperti keramik dari Dinasti Ming dan Sung, kepingan uang logam kuno, pakaian adat bangsawan, keris, dan miniatur perahu layar "Lambo" yang dulunya digunakan sebagai alat transportasi lintas pulau.
Koleksi ini menunjukkan bahwa Selayar pernah menjadi titik penting dalam jalur perdagangan maritim Nusantara.
9. Museum Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat Makassar
Monumen dan Museum Mandala didirikan pada tahun 1993 untuk mengenang Operasi Mandala yang dipimpin oleh Mayjen TNI Soeharto dalam upaya pembebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda. Bangunan setinggi 75 meter ini berdiri megah di Jalan Jenderal Sudirman, Makassar.
Bangunan ini memiliki empat lantai. Di lantai pertama terdapat diorama perjuangan rakyat Sulsel pada abad ke-17.
Kemudian, lantai kedua menyajikan diorama operasi Trikora. Lantai ketiga memuat replika ruang kerja Panglima Mandala lengkap dengan peta Irian Barat, foto-foto dokumenter, serta perlengkapan militer.
Lantai keempat adalah ruang pandang yang menawarkan panorama Kota Makassar dari ketinggian.
Monumen ini bukan hanya penghormatan terhadap sejarah militer, tetapi juga penanda peran penting Makassar sebagai pusat strategi pembebasan nasional.
Ya, setiap museum di Sulawesi Selatan adalah jendela masa lalu yang membuka pemahaman kita terhadap jati diri lokal dan nasional.
Melalui benda-benda peninggalan dan bangunan bersejarah, museum-museum ini menghidupkan kembali cerita kejayaan kerajaan, semangat perjuangan, hingga peradaban maritim yang menjadi bagian dari perjalanan Indonesia.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing