Kisah Pegawai Dinas Kesehatan Kota Makassar Pulang Kampung Bangun Desa Adat

Ndikosapu, sebuah desa adat di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur

Muhammad Yunus
Minggu, 04 Mei 2025 | 16:31 WIB
Kisah Pegawai Dinas Kesehatan Kota Makassar Pulang Kampung Bangun Desa Adat
Antonius Bewa, Musolaki atau ketua adat di Desa Ndikosapu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur yang berkomitmen untuk menjadikan desanya sebagai desa mandiri dan layak anak [SuaraSulsel.id/ANTARA]

SuaraSulsel.id - Ndikosapu, sebuah desa adat di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, mungkin bukan nama yang kerap muncul dalam peta besar pembangunan nasional.

Namun dari tempat yang lebih akrab dengan dingin dan sunyi perbukitan ketimbang sinyal dan jalan aspal, warganya kini tengah menulis babak baru tentang keberanian, konsistensi, dan harapan bagi generasi mereka.

Mayoritas penduduknya hidup dari pertanian sederhana, mengandalkan curah hujan, serta mewarisi sistem tanam turun-temurun dari leluhur.

Kini, desa ini mulai bergerak maju. Bukan lewat gebrakan besar, tetapi melalui langkah-langkah kecil yang konsisten dan berakar pada semangat gotong royong.

Baca Juga:Rahasia Desa Wunut Klaten Berdaya dengan BRI dan Sejahterakan Warganya

Titik balik perubahan mulai terasa tiga tahun terakhir, melalui kolaborasi erat antara warga, pemerintah desa, tokoh agama, dan kepala adat yang dalam bahasa setempat disebut Mosalaki.

Sosok Mosalaki di Ndikosapu adalah Antonius Bewa (56), pemimpin yang mengarahkan pembangunan berbasis adat dan budaya di wilayah Suku Ndiko dan Sapu ini.

Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia akan mewarisi tongkat kepemimpinan adat.

Awal 1990-an, ia merantau dan membangun karier sebagai pegawai negeri di Dinas Kesehatan Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Namun belum genap lima tahun berkarir di perantauan kabar duka datang dari kampung halaman, dan mengubah arah hidupnya.

Baca Juga:Dua Hari Satu Malam! Perjalanan Ekstrem Antar Logistik Pilkada ke Desa Terpencil di Sulsel

Ayahnya yang merupakan Mosalaki saat itu, meninggal dunia.

Keluarga besar memintanya segera pulang. Kehadirannya sangat dinantikan, bukan hanya untuk memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang sang ayah, tapi juga untuk melanjutkan kepemimpinan adat di Ndikosapu.

Warga melintasi jalan yang tertimbun longsor di Desa Ndikosapu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur [SuaraSulsel.id/ANTARA]
Warga melintasi jalan yang tertimbun longsor di Desa Ndikosapu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur [SuaraSulsel.id/ANTARA]

“Saya pikir saya ini lahir di bulan gelap. Mau bagaimana lagi? Memang begitu aturannya. Saya anak tengah dan belum menikah saat itu, jadi saya harus terima,” kata Antonius dengan suara seraknya, saat ditemui di Balai Desa Ndikosapu belum lama ini.

Pulang ke kampung bukanlah langkah mundur. Berbekal pengalaman di dunia birokrasi dan layanan kesehatan, ia mulai menanamkan perubahan yang dimulai dari cara berpikir atau mindset masyarakat.

Ruang diskusi mulai terbuka lebar. Topiknya meluas, dari pendidikan, pengasuhan anak, hingga hak-hak sosial-ekonomi masyarakat hukum adat yang selama ini terabaikan.
Gerakan ini mendapat dukungan dari tiga pilar utama kepala desa, tokoh agama, dan Mosalaki.

Gerakan perubahan makin terarah sejak pemerintah desa bermitra dengan Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI). Mereka yang membersamai warga untuk membentuk Gugus Tugas Layak Anak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini