“Unhas bisa-bisa berubah jadi labirin. Semua sibuk bikin wilayah sendiri, sibuk menjaga keindahan masing-masing, tapi lupa bahwa yang indah itu justru keterhubungan,” ujar Ashry.
Fakultas Bukan Pulau Terpisah
Yang menarik, keresahan Ashry tidak hanya lahir dari nostalgia, tapi dari pengalaman nyata yang sederhana tapi bermakna. Ketika menjadi mahasiswa Unhas.
“Enak sekali jalan kaki keliling kampus,” katanya.
Baca Juga:Mau Sukses dan Jadi Orang Kaya? Menteri Pertanian: Hindari Kebiasaan Mengeluh
“Kayak tasambung-sambung begitu, Kaka. Saya ingat waktu itu jalan sama teman, lalu ada yang bertanya, ‘Di fakultas mana maki ini?’ Terus ada yang jawab, ‘Masih di Unhas jaki.’”
Jawaban itu, kata Ashry, menunjukkan bahwa yang dirasakan bukan batas-batas fakultas, tapi suasana ke-Unhas-an yang menyatu.
Dan di sinilah letak kekhawatiran besarnya. Pagar-pagar fisik yang dibangun justru bisa mengikis solidaritas.
Membuat interaksi antarmahasiswa dari fakultas berbeda jadi makin jarang.
Akibatnya? Muncul asumsi-asumsi negatif, potensi konflik meningkat, dan semangat kolaboratif bisa redup.
Baca Juga:Insentif Guru Besar Unhas Naik Jadi Rp5 Juta
Indahnya Keterbukaan
Kampus sejatinya bukan tempat untuk menegaskan ego kelembagaan. Ia adalah ruang untuk membuka diri, berbagi ilmu, memperkaya perspektif.
Ketika satu fakultas membangun tembok dengan alasan “menjaga keindahan”, sebenarnya ada pertanyaan penting yang muncul.
Keindahan bagi siapa? Bukankah keindahan justru hadir ketika interaksi tumbuh, saat mahasiswa lintas disiplin bisa bertemu tanpa hambatan?
“Kalau semua sibuk memperindah wilayah sendiri tapi membangun tembok tinggi, itu bukan keindahan. Itu keterasingan,” tutur Ashry.
Dengan wajah gelisah, Ashry bilang dengan nada yang setengah bercanda, setengah serius.