SuaraSulsel.id - Bagi mahasiswa Unhas era tahun 1980 sampai 2000-an. Saat jalan santai di kampus Unhas. Mereka bisa berpindah dari satu fakultas ke fakultas lain.
Tanpa sadar sudah berpindah zona keilmuan. Nggak ada portal, nggak ada pagar. Rasanya begitu indah berada dalam satu ruang belajar besar bernama “Unhas”.
Nah, suasana seperti itu bukan sekadar kebetulan arsitektur. Itu warisan cara berpikir. Filosofi dari pendiri Unhas.
Dulu, Prof. Amiruddin – tokoh penting dalam sejarah pembangunan Unhas – pernah berkata, “Kalau kita jalan, kita tidak sadar kita sudah ada di fakultas lain.”
Baca Juga:Mau Sukses dan Jadi Orang Kaya? Menteri Pertanian: Hindari Kebiasaan Mengeluh
Artinya? Kampus Unhas memang sejak awal dirancang tanpa sekat-sekat yang tinggi. Baik secara fisik, maupun secara cara berpikir.
Tapi kini, ada satu pemandangan yang bikin hati gelisah. Sebuah fakultas di Unhas membangun pagar tembok yang cukup mencolok.
Kesan eksklusif dan "fakultatif" langsung terasa. Seolah-olah mengatakan "ini wilayah kami, jangan sembarang lewat."
Ketika Filosofi Dipagari
Muhammad Ashry Sallatu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas, termasuk yang cukup gelisah soal keberadaan pagar ini.
Baca Juga:Insentif Guru Besar Unhas Naik Jadi Rp5 Juta
Ia mengaku heran dan risau. Dalam pandangannya, pagar itu mencederai semangat awal Unhas. Unhas dibangun tidak ada batas tegas antar fakultas.
Apalagi sekarang, saat seluruh dunia akademik justru sedang giat-giatnya mendorong pendekatan lintas disiplin (interdisciplinary approach).
Alih-alih membangun sekat, kampus-kampus maju malah sibuk menyambung jembatan antar keilmuan.
“Pagar itu menegaskan cara berpikir fakultatif,” kata Ashry kepada Suara.com, Senin 14 April 2025.
"Dan itu bukan semangat universitas yang ideal."
Ashry pun mengajak kita membayangkan. Bagaimana jadinya kalau semua fakultas ikut-ikutan bikin temboknya masing-masing?
“Unhas bisa-bisa berubah jadi labirin. Semua sibuk bikin wilayah sendiri, sibuk menjaga keindahan masing-masing, tapi lupa bahwa yang indah itu justru keterhubungan,” ujar Ashry.
Fakultas Bukan Pulau Terpisah
Yang menarik, keresahan Ashry tidak hanya lahir dari nostalgia, tapi dari pengalaman nyata yang sederhana tapi bermakna. Ketika menjadi mahasiswa Unhas.
“Enak sekali jalan kaki keliling kampus,” katanya.
“Kayak tasambung-sambung begitu, Kaka. Saya ingat waktu itu jalan sama teman, lalu ada yang bertanya, ‘Di fakultas mana maki ini?’ Terus ada yang jawab, ‘Masih di Unhas jaki.’”
Jawaban itu, kata Ashry, menunjukkan bahwa yang dirasakan bukan batas-batas fakultas, tapi suasana ke-Unhas-an yang menyatu.
Dan di sinilah letak kekhawatiran besarnya. Pagar-pagar fisik yang dibangun justru bisa mengikis solidaritas.
Membuat interaksi antarmahasiswa dari fakultas berbeda jadi makin jarang.
Akibatnya? Muncul asumsi-asumsi negatif, potensi konflik meningkat, dan semangat kolaboratif bisa redup.
Indahnya Keterbukaan
Kampus sejatinya bukan tempat untuk menegaskan ego kelembagaan. Ia adalah ruang untuk membuka diri, berbagi ilmu, memperkaya perspektif.
Ketika satu fakultas membangun tembok dengan alasan “menjaga keindahan”, sebenarnya ada pertanyaan penting yang muncul.
Keindahan bagi siapa? Bukankah keindahan justru hadir ketika interaksi tumbuh, saat mahasiswa lintas disiplin bisa bertemu tanpa hambatan?
“Kalau semua sibuk memperindah wilayah sendiri tapi membangun tembok tinggi, itu bukan keindahan. Itu keterasingan,” tutur Ashry.
Dengan wajah gelisah, Ashry bilang dengan nada yang setengah bercanda, setengah serius.
“Saya yakin, Prof. Amiruddin menangis lihat ini.”
Filosofi Tanpa Sekat
Pada 10 September 1956, Universitas Hasanuddin resmi berdiri sebagai universitas mandiri, lewat SK Menteri Pendidikan.
Tanggal ini pun kemudian jadi Hari Jadi Unhas setiap tahunnya.
Nama "Hasanuddin" diambil dari Sultan Hasanuddin, Pahlawan Nasional asal Gowa, yang dikenal gagah berani melawan penjajahan Belanda.
Filosofinya keberanian, kemandirian, dan keteguhan.
Awalnya, kampus Unhas berada di tengah kota Makassar, di daerah Baraya. Tapi karena jumlah mahasiswa makin banyak, dan ruang makin sempit, maka pada 1981, Unhas pindah ke kampus baru di Tamalanrea.
Kampus Tamalanrea ini luas banget, sekitar 220 hektar, dan jadi salah satu kampus terluas di Indonesia.
Nah, kampus inilah yang dibangun dengan filosofi tanpa sekat antar fakultas. Seperti yang sering dikenang oleh para dosen dan alumni.