Siapa Pemilik Sertifikat di Laut Makassar?

Laut yang punya sertifikat ternyata juga ada di kota Makassar, Sulawesi Selatan. Tak hanya ada di Tangerang dan Surabaya.

Muhammad Yunus
Minggu, 26 Januari 2025 | 12:40 WIB
Siapa Pemilik Sertifikat di Laut Makassar?
Ilustrasi pembangunan Rumah Sakit Vertikal Kementerian Kesehatan di kawasan reklamasi kota Makassar, Selasa 14 Mei 2024 [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara]

SuaraSulsel.id - Laut yang punya sertifikat ternyata juga ada di kota Makassar, Sulawesi Selatan. Tak hanya ada di Tangerang dan Surabaya.

Wilayah tersebut bahkan sudah punya Sertifikat Hak Guna Bangunan atau SHGB sejak tahun 2015. Saat lahan masih berbentuk laut.

Letaknya di pesisir, Kecamatan Mariso, Kota Makassar. SHGB tersebut terbit jauh sebelum Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan terbit pada tahun 2022.

Salah satu SHGB itu diduga dimiliki PT DG. Perusahaan ini bergerak di bidang pertambangan, pelayaran, perhotelan dan sawit.

Baca Juga:Drama Pilkada Makassar: KPU Akui Tanda Tangan Tak Identik, Akankah PSU Terjadi?

Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya, dan Tata Ruang (SDA-CKTR) Sulsel, Andi Yurnita mengatakan, dari hasil penelusuran yang dilakukan pihaknya, lahan tersebut memang masih merupakan kawasan laut saat didaftarkan ke BPN.

Ia mengungkap, sebagian besar lahan di sana telah terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Salah satunya memang ada nama PT DG.

Namun, ia tidak tahu pasti apakah lahan reklamasi tersebut terkapling sebagai SHGB atau SHM.

"Kami pernah tanyakan ke BPN Kota Makassar, apakah boleh kalau di kondisi existing masih air (laut) tapi sudah terbit hak kepemilikan di atasnya?. Tapi sampai sekarang kami belum mendapatkan jawaban dari surat itu," ujar Ayu sapaannya, Minggu, 26 Januari 2025.

Ayu menjelaskan, SHGB tersebut seharusnya tidak bisa terbit. Sebab, hak atas tanah seharusnya diberikan berbentuk tanah, bukan yang masih berupa laut.

Baca Juga:Sadis! Jukir di Makassar Bunuh Ibu Dua Anak, Mayat Diperkosa

"Kalau dilihat kondisi di lapangan itu masih banyak yang masih berupa air. Berarti bahwa ada proses menuju ke arah darat, ini prosesnya harus ada izinnya dan seharusnya, belum bisa didaftarkan di tahun tersebut," jelasnya.

Ayu menjelaskan, dalam RTRW Provinsi Sulsel, diatur terkait garis pantai rencana reklamasi. Seperti reklamasi di kawasan Centre Point of Indonesia atau CPI yang belum seluruhnya selesai.

Garis pantai tersebut sudah existing. Sekarang ini menunggu izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan keluar.

Lokasi yang dikapling juga sudah masuk sebagai garis pantai rencana reklamasi. Namun, ketentuan itu baru berlaku sejak 2022. Sementara, semua sertifikat yang terbit di sana sudah ada sebelum tahun 2022.

"Setelah di 2022 itu sudah ada perencanaan reklamasinya sudah masuk (garis rencana reklamasi). Tapi ini kan (SHGB) terdaftar sebelum 2022," sebutnya.

Sehingga, seluruh penimbunan yang dilakukan di kawasan tersebut pastinya tanpa izin. Sertifikat yang keluar ketika masih berupa laut juga harusnya ilegal.

Sejak tahun 2022 ketika Perda RTRW provinsi terbit, kawasan tersebut sudah masuk wilayah darat. Itu terlihat dari peta Badan Informasi Geospasial (BIG).

Namun yang disayangkan adalah SHGB terbit ketika masih berupa air laut. Artinya, keberadaan hak guna bangunan di atas laut ini mengindikasi sudah ada aroma reklamasi sejak dulu.

Dalam RTRW Provinsi Sulsel, memang ada kawasan wilayah jasa perdagangan dan wilayah tersebut boleh direklamasi.

Di luar dari pada itu adalah wilayah perikanan tangkap dan tidak boleh direklamasi karena merupakan alur pelayaran laut dan alur pelayaran nelayan ikan.

Surat Teguran

Pemprov Sulsel sebelumnya sudah melayangkan surat teguran untuk lima perusahaan yang punya aktivitas pemanfaatan ruang di peisir Makassar. Namun, yang berhak memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sementara, Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Ahmad Yusran mengatakan ada 46 titik koordinat SHGB yang dimiliki oleh PT DG.

Awalnya, izin itu didapatkan secara online (OSS) dengan luas 7,5 hektare. Dahulu, semua lahan di kawasan tersebut masih wilayah laut sebelum reklamasi.

Namun, berdasarkan titik koordinat yang telah dirangkum pada rapat tindak lanjut laporan kegiatan reklamasi tak berizin yang digelar Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, pengembang, dan Pemerintah Kota Makassar, ditemukan titik koordinat ternyata lebih dari 7,5 hektare. Tapi ada sekitar 23 hektare.

"Tiga kali lebih besar dibandingkan perizinan yang diajukan di awal atau lebih dari 23 hektare. Ini patut dipertanyakan," ujarnya saat dikonfirmasi, Sabtu, 25 Januari 2025.

Selain PT DG, ia mengungkap kapling laut juga dilakukan PT BW. Perusahaan ini punya HGB dan hak milik.

Padahal, pada putusan MK 85/PUU-XI/2013 diatur pelarangan pemanfaatan ruang dengan status HGB di atas wilayah perairan. Putusan tersebut menegaskan bahwa laut adalah ruang publik yang tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan privat atau komersial.

Dengan demikian, Yusran meminta pemerintah pusat dan para pihak yang terkait untuk melakukan audit penertiban pemanfaatan ruang sistematis lengkap (PPRSL).

Tujuannya untuk transparansi jumlah indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang dan jumlah kasus yang perlu pengenaan sanksi administrasi.

Sanksi administrasi bidang kelautan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 31 tahun 2021.

Sanksinya berupa teguran, denda administratif senilai Rp18,6 juta per hektare, penghentian sementara kegiatan, penutupan lokasi hingga pencabutan dokumen KKPRL.

"Melalui pengawasan, pengamatan, penelitian dan pemeriksaan (wasmalitrik) perlu pengenaan sanksi pidana," tegasnya.

Dengan adanya temuan ini audit lingkungan dan audit tata ruang sangat perlu untuk mengungkap dalang di balik pembangunan tersebut.

Menurut Yusran, pelanggaran tata ruang hasil reklamasi secara ilegal adalah tindakan yang melanggar ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam penggunaan dan pengelolaan ruang. Termasuk penggunaan lahan, bangunan, dan infrastruktur.

Misalnya, pembangunan di atas lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Penggunaan lahan untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. Pembangunan infrastruktur yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Lalu, penggunaan bangunan untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Pembangunan bangunan yang tidak sesuai dengan standar keselamatan dan kesehatan.

Menurutnya, itu akan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, kehilangan fungsi ruang, konflik sosial dan ekonomi, hingga bahaya keselamatan dan kesehatan.

"Perlu audit agar output-nya jelas, terang-benderang terkait indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang yang melibatkan oknum aktor cerdas di belakang layar. Seperti praktek kotor mulainya terbit sertifikat HGB di Kantah ATR/BPN Makassar," ucapnya.

Sementara, yang tak kalah pentingnya adalah saat ini dan kedepannya adalah pengelolaan pertanahan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan menyelenggarakan penataan ruang yang adil, aman, nyaman, produktif dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

"Peran Direktorat Jenderal Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang itu memastikan bahwa penyediaan informasi geospasial tematik pertanahan dan ruang dapat diberikan secara lengkap dan reliabel sehingga, mewujudkan terjaminnya kepastian hukum hak atas tanah dengan indikator capaian Indeks Ease of Doing Business (EoDB) khusunya pada registrasi property, pengurangan ketimpangan, serta kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah," jelasnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini