SuaraSulsel.id - Jam menunjukkan pukul 13.00 wita, di Jalan Bacan, Kota Makassar. Matahari sangat menyengat di kepala ketika Tokkeitai atau Tentara Jepang memaksa Mayor Thoeng Liong Hoei, empat anaknya dan menantunya keluar dari rumah.
Kisah itu terjadi pada 81 tahun yang lalu, tepatnya 19 April tahun 1942. Mayor Thoeng Liong bersama empat anak laki-lakinya dan dua menantunya tewas dipenggal.
Thoeng Liong dan satu per satu anggota keluarganya disuruh gali lubang sendiri. Kepalanya lalu dipenggal di lubang masing-masing.
Mayor Thoeng adalah seorang saudagar keturunan Cina yang tinggal di jalan Bacan, Kecamatan Wajo, Kota Makassar, lahir pada tahun 1872. Ayahnya bernama Thoeng Tjam seorang imigran dari Provinsi Fujian, Tiongkok.
Baca Juga:BREAKING NEWS: Mantan Finalis Indonesian Idol Jadi Korban Konser Fiktif di Makassar
Di usianya yang baru 13 tahun, Thoeng bekerja sebagai loper koran dan bekerja di toko ikan di daerah Pantai Losari. Ia lalu menjual tembakau kepada nelayan dan pedagang ikan, yang membuatnya menjadi jutawan di Makassar.
Thoeng mendirikan berbagai macam usaha. Paling moncer adalah properti yang merambah ke Surabaya dan Singapura.
Karena kekayaannya, Thoeng diberi gelar sebagai Mayor oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu. Tentu saja bukan pangkat militer, tapi dianggap sebagai pemimpin.
Apalagi, Thoeng Liong pernah menyumbangkan seribu gulden hartanya kepada korban banjir bandang di Zuiderse, Belanda yang terjadi tahun 1916.
Pada peringatan 25 tahun Ratu Wilhelmina tahun 1923, Thoeng juga menghadiahinya mebel mewah yang terdiri dari kayu sonokeling coklat tua-berkilau merah-dengan marmer warna biru-hijau bertatahkan mutiara.
Baca Juga:Prediksi PSS Sleman vs PSM Makassar di BRI Liga 1: Preview, Head to Head dan Live Streaming
Sebagai bentuk balas kasih pemerintah kolonial Belanda, Thoeng diangkat jadi Ksatria Orde Singa Belanda dan dipromosikan sebagai Mayor Cina. Gelar ini diperuntukkan bagi para pemimpin kota-kota besar Hindia Belanda seperti Batavia dan Surabaya.
Pada bulan Desember 1941, angkatan udara Jepang mulai menyerang Makassar. Kawasan pecinan, tempat warga Tiongkok dibom.
Nippon berhasil menguasai Kota Makassar sepenuhnya pada bulan Februari 1942. Sasaran utamanya adalah melumpuhkan perdagangan di kawasan pecinan.
Ribuan jiwa penduduk di pecinan melarikan diri, termasuk Mayor Thoeng dan keluarganya. Namun, ia tertangkap dan ditahan bersama empat anak laki-lakinya dan dua orang menantunya.
Sementara, tiga orang istrinya berhasil melarikan diri. Sejumlah sumber mengatakan para istri Thoeng terpisah-pisah dan bersembunyi di daerah Camba, Pangkep dan Malino.
Tentara Jepang sempat membujuk Thoeng agar mau bekerjasama mengkhianati Belanda dan meminta sejumlah uang. Tapi Thoeng menolak karena janji setianya kepada Ratu Wilhelmina.
Akhirnya, atas perintah Wakil Laksana Mori, mereka dibawa ke daerah Sungguminasa, Gowa untuk dieksekusi oleh Tokkeitai. Thoeng dan keluarganya lalu dikuburkan di Bolangi.
Di makam Thoeng terdapat prasasti penghargaan dari pemerintah Tiongkok, pemerintah Belanda dan juga merupakan anggota kehormatan dari Palang Merah. Namun, seiring berjalannya waktu, pihak keluarga memindahkan makam Thoeng ke jalan Irian, kota Makassar.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing