SuaraSulsel.id - Niat untuk puasa adalah niat atau niat dalam hati untuk menunaikan ibadah puasa yang dilakukan oleh umat Muslim. Niat puasa adalah syarat penting untuk sahnya pelaksanaan puasa.
Niat untuk puasa dapat dilakukan dengan ucapan lisan maupun dalam hati. Berikut ini adalah contoh niat untuk puasa:
"Saya niat berpuasa pada hari ini (atau nama bulan Ramadan) untuk menjalankan ibadah puasa yang diwajibkan oleh Allah SWT."
Ucapan tersebut dapat diucapkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Arab dengan menyebutkan nama bulan puasa atau hari yang dimaksud.
Baca Juga:Ramadhan Datang, Harga Telur Ayam Bikin Tak Senang
atau bisa juga dengan membaca:
Nawaitu shauma ghadin 'an adâ'i fardhi syahri Ramadhâni hâdzihis sanati lillâhi ta'âla.
Artinya: "Aku berniat puasa esok hari untuk menunaikan fardhu di bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah ta'ala."
Ingatlah bahwa niat puasa harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, tulus, dan ikhlas semata-mata karena Allah SWT. Selain itu, niat juga harus diikuti dengan amalan yang baik dan menjauhi segala hal yang dapat membatalkan puasa.
Mengutip Wahdah.or.id, niat dalam sebuah amalan ibadah merupakan perkara yang wajib. Suatu amalan ibadah hanya akan sia-sia belaka tanpa adanya niat.
Baca Juga:Niat Mandi Wajib Jelang Puasa Ramadhan
Sebagaimana dalam hadis Muttafaq’alaihi yang artinya “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya”.( Diriwayatkan Al-Bukhari ; 1, dan Muslim ; 1907)
Jenis-Jenis niat terbagi dua. Pertama, niat ikhlas, yaitu tanpa adanya sifat riya’ atau merasa terpaksa dalam mengamalkan suatu ibadah.
Keikhlasan niat ini sangat penting. Karena ia adalah tolak ukur diterima atau ditolaknya suatu amalan.
Bahkan walaupun telah ikhlas tetap saja besar kecilnya pahala dari suatu amalan tergantung dari besar kecilnya keikhlasan niat.
Abdullan Ibn Al- Mubarak-rahimahullah- berkata :
,,
Artinya: ”Bisa jadi amalan kecil menjadi besar dengan sebab niat, dan sebaliknya bisa jadi amalan yang besar menjadi kecil dengan sebab niat”
Sebab itu wajib bagi seseorang yang beribadah. Termasuk puasa. Untuk selalu memelihara keikhlasan niat. Serta mempertahankannya dan menjauhi segala perbuatan yang dapat menghilangkan rasa ikhlas dan menimbulkan riya’ dan sum’ah.
Kedua, niat menyengaja untuk beribadah, yaitu berniat dalam hati untuk melakukan suatu ibadah tertentu. Niat ini memiliki beberapa fungsi diantaranya:
1. Membedakan antara amalan yang berupa ibadah dan adat kebiasaan. Misalnya membedakan antara mandi janabah dengan mandi biasa atau antara menahan makan minum karena puasa dan menahan makan minum dengan tujuan diet.
2. Membedakan antara amal ibadah yang satu dengan lainnya. Misalnya membedakan antara shalat dzuhur dan shalat ashar, atau membedakan antara puasa wajib dan puasa sunat, atau antara puasa ‘aasyuraa dan puasa ‘arafah.
Sebab itu dalam ibadah puasa diwajibkan seseorang untuk berniat puasa sebagaimana wajib pada amalan ibadah lainnya. Namun ada sedikit perbedaan antara niat puasa wajib (puasa ramadhan, nadzar, kaffarah, qadha) dengan puasa-puasa sunat.
Hukum Melafalkan Niat Jenis Kedua Ini Dengan Lafal Tertentu
Apakah niat dalam ibadah ini perlu dilafalkan dilisan ataukah hanya dalam hati ?
Agar lebih dipahami, maka inilah jawaban ringkasnya :
Amalan terbagi dua yaitu amalan hati dan amalan anggota badan ( yang berupa amal dan ucapan lisan ).
Setiap amalan harus dilakukan dengan anggota yang telah ditetapkan atasnya. Sebab itu niat yang merupakan amalan hati tidak boleh dipindahkan menjadi amalan lisan dengan cara melafadzkannya.
Jamaluddin Abu Ar-Robi’ Sulaiman bin ‘Umar As-Syafi’i -rahimahullah- berkata : “Melafadzkan niat dan mengeraskan bacaan di belakang imam bukanlah termasuk sunnah bahkan makruh dan jika hal itu mengganggu orang-orang yang sedang shalat maka haram. Dan barangsaipa yang mengatakan bahwa melafadzkan niat merupakan sunnah maka ia salah, dan tidak halal baginya dan orang selainnya ( yang sependapat dengannya ) untuk berkomentar tentang agama Allah tanpa ilmu."
Niat Puasa Wajib
Dalam puasa wajib seorang muslim diwajibkan untuk meniatkan puasa sejak malam sebelum terbitnya fajar kedua yang merupakan tanda masuknya waktu azan atau shalat subuh.
Ini sesuai hadis mawquf dari Ibnu Umar, dan Hafshah radhiyallahu’anhum:
( )
Artinya : “Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum waktu fajar, maka tidak ada puasa baginya” (HR Ahmad ; 2/286, dan Empat Ahli Sunan)
Walaupun hadis ini mawquf pada Ibnu Umar dan Hafshah namun dari kalangan sahabat tidak ada yang menyelisihinya, dan sebagian ulama menganggapnya memiliki hukum marfu’, sebab itu jumhur ulama termasuk imam madzhab yang empat berpendapat bahwa puasa wajib tidah sah kecuali harus dengan meniatkannya sebelum waktu fajar.
Dikecualikan dalam beberapa keadaan yaitu :
1. Seandainya seseorang tidak mengetahui masuknya bulan ramadhan hari itu kecuali pada pagi harinya, maka ia hendaknya berniat puasa ramadhan saat itu juga walaupun ia telah makan, minum atau jimak sebelumnya dan ia tidak wajib mengqadhanya.
2. Juga sama halnya dengan seorang anak yang dewasa (baru mimpi basah) tepat pada siang hari puasa ramadhan, atau seorang kafir yang masuk Islam pada siang hari puasa ramadhan maka mereka disuruh untuk berniat puasa saat itu juga dan tidak wajib mengqadhanya.
Ini sesuai hadis Salamah bin Akwa’ radhiyallahu’anhu dalam Shahihain ketika puasa asyuraa masih diwajibkan :
Artinya : “Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan seseorang dari Bani Aslam untuk mengumumkan kepada orang-orang (pada hari asyuraa) bahwasanya siapa yang telah makan maka hendaknya berpuasa pada yang tersisa pada hari itu, dan barangsiapa yang belum makan maka hendaknya berpuasa ,karena hari ini adalah hari ‘aasyuraa”. (HR Bukhari ; 2007 dan Muslim ; 2725, dan dalam Sunan Abu Daud ; 2447,
ada tambahan lafadz : “dan hendaknya kalian mengqadhanya pada hari lain”, namun tambahan perintah qadha ini tidak shahih (syaadz/dhoif) dan yang benar dan shahih adalah riwayat Shahihain diatas yaitu perintah menyempurnakan puasa pada hari itu tanpa harus mengqadhanya.