SuaraSulsel.id - Fachruddin Hari Anggara Putra, seorang dosen di Universitas Tadulako melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah. Ia protes karena digaji tak sesuai dengan aturan.
Fachruddin atau Angga adalah dosen tetap non PNS di Universitas Tadulako. Ia mengabdi sejak tahun 2013 pada Jurusan Perikanan dan Kelautan.
Awalnya, Angga mengaku menerima gaji sebesar Rp3 juta dari Dikti selama enam bulan. Namun pada bulan Juni tahun 2014 lalu, gajinya beralih ditanggung pihak kampus.
"Dari 2014 hingga 2015 itu saya digaji hanya Rp1 juta per bulan," ujarnya.
Baca Juga:Universitas Tadulako Palu Dilaporkan Manipulasi Nilai Puluhan Peserta CPNS
Kenaikan gaji sebesar Rp1,6 juta baru dirasakan Angga pada tahun 2016 hingga 2021. Walau demikian, hal tersebut belum sesuai dengan aturan.
Angga menjelaskan, jika merujuk pada UMP Sulawesi Tengah, maka ia seharusnya menerima Rp2,3 juta per bulan.
Aturan lain soal penggajian tercantum dalam Peraturan Rektor Universitas Tadulako nomor 8 tahun 2016 tentang kepegawaian. Aturan itu menjelaskan soal dasar penggajian para dosen.
Aturan tersebut berbunyi, Dosen Tetap Non PNS yang diangkat dalam suatu pangkat/golongan ruang, diberikan gaji pokok berdasarkan golongan ruang yang ditetapkan untuk golongan ruang itu dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Sehingga jika merujuk pada aturan tersebut, maka gaji minimal seorang dosen tetap non PNS Golongan III/B adalah sebesar Rp2,5 juta per bulan.
Baca Juga:Dosen Cabul di Bandara Ngurah Rai Sudah Punya 3 Anak Namun Diduga Penyuka Sesama Jenis
"Saya inpassing (penyetaraan jabatan fungsional), sudah golongan 3B. Maka seharusnya saya menerima Rp2,5 juta per bulan," bebernya.
Masalah lain soal sertifikasi dosen yang tidak dibayarkan. Padahal Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.05/2010 Tentang Tata Cara Pembayaran Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor sangat jelas.
Bahwa setiap dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik berhak untuk menerima tunjangan sertifikasi tersebut.
Angga pun protes. Sebab, ia dan empat orang dari 200 dosen non PNS di Tadulako sudah mengantongi sertifikasi. Ia juga tercatat punya kualifikasi sebagai dosen yang baik.
Pihak kampus lalu membayarkan sertifikasi dosennya. Walau lagi-lagi tak sesuai aturan.
Karena merasa tak adil, Angga menggugat kasus ini ke pengadilan negeri Palu secara perdata pada tahun 2021 lalu. Namun di pengadilan, ia kalah dan mengajukan banding.
"Saya lalu menang banding. Sekarang kasusnya masih bergulir karena pihak kampus ajukan kasasi ke MA. Saya menggugat selisih gaji dan sertifikasi dosen sejak tahun 2014 sekitar Rp1 miliar lebih," bebernya.
Saat menggugat, pihak kampus tidak memperpanjang SK-nya. Ia diberhentikan karena dianggap membangkang.
"Saya gugat lagi ke pusat soal pemecatan saya, saya di SK-kan kembali. karena dasar mereka memecat saya tidak ada," bebernya.
Angga dan keluarganya bahkan mendapat teror. Ia sampai diancam orang tak dikenal karena gugatannya ke pengadilan. Belum lagi masalah kecurangan PNS yang diungkap ke publik.
Angga hingga kini masih berjuang untuk mendapatkan keadilan. Tak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk dosen non PNS di Universitas Tadulako.
"Saya berani karena saya ingin Tadulako lebih baik ke depan. Sebenarnya ini dialami semua dosen non PNS tapi mereka tidak berani menggugat karena takut dipecat," jelasnya.
Sementara, Rektor Universitas Tadulako Prof Mahfudz yang dikonfirmasi soal kasus ini enggan berkomentar banyak. Ia mengaku sedang rapat.
Namun, kata Mahfudz, kampus sudah melakukan kewajibannya. Sertifikasi dan honor Angga sudah dibayarkan.
"Tunjangan serdosnya dia sudah terima setelah lulus sertifikasi. Honornya juga dia terima," ungkapnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing