SuaraSulsel.id - Cukup mudah untuk mengenali jemaah haji asal Sulawesi Selatan. Mereka diketahui punya identitas tersendiri. Salah satunya dari cara berpakaian.
Saat tiba di tanah air, mereka akan mengenakan pakaian yang glamor atau gemerlapan. Hal tersebut dapat dilihat di Bandara Hasanuddin atau Asrama Haji Sudiang Makassar.
Seperti suasana yang terlihat sejak Kamis, 28 Juli 2022. Ratusan jemaah haji Debarkasi Makassar tiba di Asrama Haji Sudiang Makassar.
Tidak sedikit jemaah perempuan yang menarik perhatian petugas. Mereka menggunakan pakaian yang berwarna terang berkilau keemasan.
Baca Juga:Ratusan Jemaah Haji Asal Mataram Tiba di Bandara Internasional Lombok Mulai Hari Ini
Wajah penuh dengan riasan. Tangan memakai gelang dan cincin emas.
"(Emasnya) beli di Mekkah. Kan itu sudah jadi tradisi orang Bugis kalau pulang berhaji," ujar Mutmainnah Mansyur, jemaah asal Kabupaten Maros.
Mutmainnah adalah salah satu jemaah yang menggunakan pakaian yang mempesona saat tiba. Pakaiannya dipesan khusus. Sebelum berangkat ke tanah suci. Bukan beli di Arab Saudi.
Pakaian itu diganti di dalam pesawat, sebelum mendarat di Makassar. Ia mengaku mengikuti kebiasaan kerabatnya yang melakukan hal tersebut saat berhaji.
"Lihat keluarga sebelumnya yang sudah haji pakai baju ramai-ramai begini jadi ikutan," ungkapnya.
Baca Juga:Sopir Bus Shalawat di Mekkah Dipecat Gara-gara Minta Tip Jemaah Haji
Jemaah lain asal Kabupaten Soppeng, Rubiaty, juga mengungkapkan hal yang sama. Ia merasa ada yang kurang, jika tidak menggunakan pakaian mencolok seperti itu.
"Kayak ada yang kurang. Seperti belum berhaji," ujarnya.
Tak ada yang tahu pasti sejak kapan jemaah haji asal Sulawesi Selatan mengenakan pakaian yang selalu menarik perhatian. Namun, menurut budayawan dan dosen Universitas Hasanuddin, Ilham Daeng Makkelo, tradisi tersebut kemungkinan berawal di abad 20-an.
Kata Ilham, sebagian besar material pakaian yang digunakan orang berhaji meniru model baju bodo. Tipis, berbayang, dan terlapis. Namun yang identik yakni misbah berenda.
"Kalau dilihat dari sejarah pakaiannya, baju bodo baru ada di abad ke-20. Saat itu mulai ramai dan disandingkan dengan pakaian saat pulang dari berhaji. Kalau dilihat dari periode waktunya, mungkin di sekitar tahun itu kemudian mulai berkembang," ujar Ilham saat dikonfirmasi SuaraSulsel.id
Menurut Ilham, pergi haji bagi orang Sulawesi Selatan adalah suatu kehormatan. Mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan panggilan "Haji" di tengah masyarakat.
Walau pun harus menunggu lama, mereka tidak masalah. Untuk Sulawesi Selatan misalnya, masa tunggu haji cukup lama. Bahkan bisa mencapai 97 tahun. Jika mengacu kepada kuota tahun 2022 yang dikurangi.
"Bagaimana pun kondisi ekonominya, mereka akan berusaha untuk berhaji seperti menjual warisan. Itu banyak dilakukan sekarang," ungkapnya.
Kata Ilham, bagi orang Sulawesi Selatan, masalah haji bukan hanya soal ibadah. Ada yang lebih dari itu, yakni soal strata sosial di masyarakat.
Dulu, strata sosial masyarakat yang paling tinggi hanya disandang oleh keturunan bangsawan. Namun, dengan gelar haji, status dengan masyarakat biasa bisa disamakan.
"Karena berhaji bagi orang Sulsel, bukan hanya soal ibadah, tapi lebih memperlihatkan status sosial yang berbeda," ucap Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Unhas itu.
Kata Ilham, status haji bisa mengangkat derajat di masyarakat. Nah, salah satu yang dianggap mudah untuk mengenali seseorang haji atau bukan adalah dari cara berpakaiannya.
"Ketika mereka pulang, kenapa mereka berdandan, itu ingin memperlihatkan kepada keluarga dan orang-orang di kampungnya bahwa dia sudah beralih status ke haji. Ada identitas baru," kata Ilham.
Hal lain yang bisa diperhatikan adalah gelang emas bersusun di tangan dan baju berwarna cerah yang digunakan. Menurutnya, orang-orang seperti itu ingin menunjukan eksistensinya.
Namun, menurut Ilham tidak semua daerah di Sulawesi Selatan mengenakan pakaian seperti itu. Hanya di bagian utara Sulsel saja, seperti Pinrang dan Sidrap.
"Bagian Selatan tidak terlalu. Yang paling terasa dilihat di Sulsel bagian utara seperti Parepare, Sidrap, Pinrang," ujarnya.
Bukan Riya
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel Muammar Bakri menanggapi santai soal pakaian yang dikenakan sejumlah jemaah haji perempuan asal Sulawesi Selatan. Menurutnya itu bukan riya atau ingin menyombongkan diri.
Kata Muammar, cara berpakaian seperti itu sudah jadi budaya masyarakat Bugis. Dalam Islam juga diajarkan yang terpenting adalah busana tertutup.
"Tidak ada salahnya. Selama pakaian itu menutup aurat dan tidak memperlihatkan lekukan tubuh, silahkan saja," kata Muammar.
Muammar mengatakan, salah satu cara untuk mengekspresikan kebahagiaan orang yang sudah berhaji bisa lewat pakaian. Makanya dengan model seperti itu berarti memuliakan diri.
Menurutnya, mengenakan busana seperti itu sudah dilakukan orang Bugis sejak dulu. Tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki.
"Laki-laki mengenakan pakaian ala raja Arab. Itu simbol sebagai pemuliaan mereka sudah berhaji," ungkapnya.
Kata Muammar, dalam Islam hal tersebut tidak dilarang. Jika dianggap riya oleh sebagian orang, maka itu urusan Tuhan.
"Dia mau pake sarung, surban, baju bodo syar'i silahkan saja. Kalau dianggap riya, itu urusan Tuhan," tegasnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing