SuaraSulsel.id - Empat orang masuk Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Kota Makassar. Menggunakan sepeda motor, melewati dua sekuriti yang berjaga di pintu gerbang Kampus II UIN Alauddin di Samata, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada awal Desember 2021.
Lokasinya kampus UIN Alauddin ini sangat luas. Bangunan perkuliahan juga bertingkat-tingkat. Lebih nyaman jika dibandingkan dengan lokasi kampus pertama di Kota Makassar.
Namun, siapa sangka di dalam kampus megah itu. Banyak laporan kasus kekerasan seksual pernah terjadi. Menimpa sejumlah mahasiswi UIN Alauddin Makassar.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Sulawesi Selatan, Rosmiati Sain mengatakan sebenarnya ada sejumlah kasus kekerasan seksual yang pernah terjadi di UIN Alauddin Makassar. Namun, kasus yang mendapatkan pendampingan dari pihaknya hingga berhasil diselesaikan hanya tiga kasus saja.
Baca Juga:Tak Masuk Paripurna, Ketua Panja RUU TPKS: Kami akan Berjuang Terus
Pertama adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar pada tahun 2018 lalu. Pelaku adalah oknum Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Dosen Farmasi berinisal AAE.
Oknum CPNS dosen yang melakukan kekerasan seksual tersebut, kata dia, informasinya tidak dipecat dari UIN Makassar. Meski dihukum 2 tahun penjara. AAE bahkan masih sempat mengajar di dalam kampus. Setelah menjalani hukuman.
"Kayaknya tidak dipecat itu hari. Karena informasi dari teman UIN itu masih mengajar. Tidak tahu kalau sekarang," kata Rosmiati kepada SuaraSulsel.id, Rabu 15 Desember 2021.
Kemudian, ada juga kasus kekerasan seksual berupa perkosaan yang dialami oleh mahasiswi UIN Alauddin Makassar yang terjadi pada tahun 2019. Parahnya, pelaku yang melakukan perbuatan tidak senonoh itu adalah kekasih korban sendiri. Pelaku juga masih berstatus sebagai mahasiswa UIN Alauddin Makassar.
LBH APIK Sulsel yang menangani kasus itu menyebutkan, buntut dari kasus tersebut, pelaku yang tidak ingin bertanggung jawab dari perbuatannya malah dengan tega menghabisi nyawa korban. Setelah mengetahui korban telah hamil.
Baca Juga:Tersangka Kasus Pencabulan, Praperadilan Putra Kiai di Jombang Ditolak
"Korban ini kan hamil dan pelakunya tidak mau tanggung jawab. Jadi dia bunuh ceweknya. Yang perkosaan itu tahun 2019 kayaknya sebelum Covid. Tempat kejadiannya itu di Antang, pelakunya mahasiswa UIN. Korban mahasiswi UIN juga. Pacarnya sendiri," terang Rosmiati.
Seakan tidak ada habisnya, kasus kekerasan seksual di UIN Alauddin Makassar kembali terjadi pada tahun 2020. Bedanya, kali ini kasusnya berbasis online melalui panggilan video menggunakan aplikasi WhatsApp.
LBH APIK Sulsel yang juga mendampingi kasus itu menyebutkan, total korban yang mendapat teror alat kelamin melalui panggilan video menggunakan aplikasi WhatsApp 12 orang. Semua mahasiswa yang kuliah di UIN Alauddin Makassar.
"Korbannya sebenarnya ada 12 orang. Tapi yang melapor ke APIK itu hanya 5 orang. Yang kasus video itu kan sudah selesai vonis," ujar Rosmiati.
Dalam menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi lingkungan perguruan tinggi untuk dapat diproses di kepolisian, kata Rosmiati, sebenarnya cukup sulit. Apalagi jika bukti kasusnya sangat minim. Sehingga terkadang ada kasus kekerasan seksual yang tidak dilanjutkan proses hukumnya.
Beruntung saja, tiga kasus kekerasan seksual yang terjadi di UIN Alauddin Makassar sepanjang tahun 2018 hingga 2020 itu memiliki cukup bukti. Sehingga, kasusnya dapat diproses lebih lanjut dan para pelaku mendapatkan hukuman penjara akibat perbuatan yang telah dilakukan.
"Kalau buktinya dan saksinya itu jelas, misalnya kasus perkosaan itu kan ada bukti visum. Nah, ini bisa jadi presurnya kencang dan bisa dilanjut proses hukumnya secara maksimal. Kalau yang kasus pembunuhan itu kemarin kan, jelas kasusnya. Alat buktinya cukup dan itu bisa dengan cepat proses penanganannya dan terlapor itu cepat. Jadi tersangka dan sebagainya. Sudah selesai yang tiga kasus yang didampingi LBH APIK, sudah vonis," ucap Rosmiati.
Kekerasan Seksual Terjadi Hampir di Semua Kampus
Advokad Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar, Rezky Pratiwi mengemukakan berdasarkan hasil survei yang dilakukan LBH Makassar bersama seruan perempuan secara daring dengan total 48 orang responden, ditemukan kasus kekerasan seksual masih kerap terjadi di sepuluh perguruan tinggi di Kota Makassar sepanjang tahun 2020.
Beragam bentuk kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi Makassar. Antara lain adalah pemerkosaan dengan jumlah 3 aduan, kontrol seksual dengan jumlah 3 aduan, eksploitasi seksual dengan jumlah 4 aduan.
Kemudian, ada juga kasus kekerasan seksual dengan cara pemaksaan aborsi dengan jumlah 5 aduan. Sedangkan, kasus kekerasan seksual dengan cara intimidasi seksual tercatat ada 5 aduan dan yang paling banyak terjadi adalah kasus pelecehan seksual dengan total 34 aduan.
Para pelaku yang diduga melakukan kekerasan seksual di perguruan tinggi Makassar, terdiri dari mahasiswa dengan jumlah 25 orang, dosen 15 orang, orang asing 3 orang, lainnya 3 orang, dan alumni 2 orang.
Kasus kekerasan seksual ini terjadi di lingkungan kampus seperti ruang dosen, kelas, kantin, sekretariat lembaga, parkiran, perpustakaan, dan lainnya. Sementara, kekerasan seksual yang terjadi di luar kampus berada di rumah dosen, angkutan umum, hotel, kos atau rumah dan lainnya.
Sayangnya, dari sejumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi Makassar tersebut hanya ada 9 orang korban yang melapor ke kepolisian atau otoritas kampus dengan total 18,8 persen. Sedangkan, yang mengakses layanan pemulihan hanya ada 2 orang.
"Beberapa orang korban mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan seksual," kata Pratiwi.
Untuk kasus kekerasan seksual yang terjadi di tahun 2021, kata Pratiwi, selain kasus pemasangan kamera tersembunyi di kamar mandi yang baru-baru ini terjadi juga ada 3 kasus lain lagi.
Yakni, dua kasus perkosaan yang diduga dilakukan oleh mahasiswa senior terhadap junior di lingkungan kemahasiswaan serta 1 kasus pencabulan oleh orang asing terhadap mahasiswa yang terjadi di jalanan kampus yang kurang pencahayaannya.
Pada banyak kasus yang terjadi di perguruan tinggi, sejumlah mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual lebih memilih bercerita pada sesama mahasiswa atau pihak internal kampus. Hanya saja, masih sangat sedikit kampus yang memiliki sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sehingga warga kampus atau saluran pelaporan yang tersedia.
Sebab itu, kata dia, jika masyarakat umum mendapati korban yang ingin bercerita tentang kekerasan seksual yang pernah dia alami. Tindakan yang paling utama harus dilakukan ialah mendengarkan korban dan percaya dengan apa yang dia sampaikan dan validasi perasaannya.
"Karena cerita ke orang lain bukan hal mudah. Selanjutnya baru tawarkan bantuan, kita bisa merujuk korban ke lembaga layanan terdekat yang ia butuhkan," jelas Pratiwi.
Dalam mengadvokasi kasus kekerasan seksual, kata dia, sangat penting melibatkan berbagai pihak. Mengingat proses hukum memakan waktu yang tidak sebentar.
Rujukan pada layanan bantuan hukum juga penting untuk memastikan hak korban selama prosesnya terpenuhi. Serta melindungi korban dari kekerasan selama proses tersebut agar tidak terjadi reviktimisasi.
Oleh karena itu, kata Pratiwi, semakin banyak korban yang berani untuk speak up atau berbicara. Maka perguruan tinggi harus siap dengan penanganannya, yaitu dengan segera mengimplementasikan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi.
"Permendikbud ini akan mampu memberikan keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual di perguruan tinggi, yang selama ini ragu atau takut mendapat intimidasi secara akademis. Pelibatan semua pihak utamanya mahasiswa dalam satuan tugas juga membuat sistem pencegahan dan penanganan di kampus jadi lebih demokratis," katanya.
Perbaiki Regulasi Dalam Kampus
Psikolog Klinis Ahli Pertama Rumah Sakit Provinsi Sulawesi Barat, Andi Budhy Rakhmat mengatakan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus memang banyak yang terjadi. Termasuk kasus di UIN Alauddin Makassar yang sempat menjadi sorotan karena terekspos di berbagai pemberitaan. Namun, hal serupa juga sebenarnya terjadi di lingkungan kampus lain, hanya saja tidak terekspos.
"Sebenarnya yang terekpos itu di UIN, di tempat lain juga ada cuma tidak terdeteksi," ujar Budhy.
Budhy menilai penyebab kasus kekerasan seksual terus terjadi di lingkungan kampus dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi. Seperti regulasi kampus yang belum memadai, aturan dan individu dari orang-orang yang berada di dalam kampus yang tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol diri atau dalam dunia psikolog dikenal dengan sebutan Self Control.
"Banyak faktor yang mempengaruhi. Pertama mungkin masalah regulasi di kampus yang belum memadai. Sehingga kan kemarin itu ada kamera di toilet. Itu masalah regulasi kampus lagi," ungkap Budhy.
Sebenarnya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, kata dia, tidak dapat dikotak-kotakan dengan menyebut bahwa UIN Alauddin Makassar yang dikenal dengan kampus berlabel Islam itu justru banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalamnya.
"Mau sekolah islam, sekolah umum. Sebenarnya yang namanya manusia kan punya potensi untuk melakukan segala macam hal. Mau yang paling buruk sampai yang paling baik juga manusia bisa lakukan. Jadi kalau saya label dia kampus islam, itu tidak bisa menjamin," jelas Budhy.
Tetapi jika dengan adanya sejumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus, orang-orang justru beranggapan bahwa kampusnya yang harus disalahkan. Maka hal itu dinilai keliru.
Penyebabnya karena kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi seperti UIN Alauddin Makassar, hanya dilakukan oleh oknum-oknum tertentu saja yang berada di dalam kampus.
"Kalau kita mau menyalahkan enak sekali, kalau kampusnya itu. Tapi sebenarnya tidak semua begitu, hanya terbatas oknum-oknum tertentu saja. Kalau oknumnya dihilangkan citra kampusnya jadi positif lagi sebenarnya," terang Budhy.
Selain itu, kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi juga dapat disebabkan karena kurangnya pengawasan dari pihak kampus. Setahu Budhy, selama mengajar di UIN Alauddin Makassar, kampus itu memang memiliki area lingkungan yang cukup luas. Tetapi pengawasannya terlihat sangat minim.
Para satpam yang berjaga hanya ditemukan di gerbang pintu masuk dan pintu keluar kampus itu saja. Hal ini juga terlihat saat SuaraSulsel.Id, berkunjung di Kampus II UIN Alauddin Makassar, Jalan Sultan Alauddin, Samata, Kabupaten Gowa, Sulsel pada awal Desember 2021.
Bedanya, satpam yang melakukan penjagaan juga sudah ada yang berjaga di sebuah pos yang terletak di sekitar Kantor Rektorat UIN Alauddin Makassar.
Sehingga, para mahasiswa sangat bebas untuk bereksplorasi di gedung-gedung kampus. Bahkan, para dosen yang mengajar di UIN Alauddin Makassar terlihat hanya lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kantor administrasi, rektorat hingga ruang prodi. Mereka hanya terlihat jika tengah mengajar mahasiswanya.
"Nah, di tempat lain satpam tidak ada. Kemudian, mahasiswa sangat bebas bereksplorasi di gedung-gedung kampus. Jadi memang tidak ada aturan atau hal yang ketat untuk mau mengontrol sifat mahasiswa di situ," ucap Budhy.
Padahal, orang-orang yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi atau menjadi mahasiswa itu sejatinya telah memasuki fase peralihan dari masa remaja menuju dewasa. Umumnya, hal ini akan terjadi pada orang-orang yang telah menginjak usia 18 hingga 25 tahun.
"Di usia itu, ketertarikan pada lawan jenis sangat besar dan sangat tinggi frekuensinya," terangnya.
Kata Budhy, perilaku seksual sebenarnya ada beberapa tingkatan. Mulai dari tingkatan paling rendah seperti bersiul kepada lawan jenis yang menimbulkan rasa risih, dan mencolek dengan melakukan kontak langsung pada korban.
Tetapi, kejadian seperti ini justru banyak dimaklumi dan hanya terkesan dibiarkan oleh korban. Akibatnya, perilaku-perilaku yang sudah menjadi kebiasaan itu akhirnya meningkat ke hal-hal yang lebih sensitif seperti meremas hingga meraba.
"Sistem untuk mengontrolnya kurang, baru yang jadi masalah itu adalah kalau ada, mereka lebih banyak menyimpan masalah dari pada menyampaikan bahwa ini tidak boleh, itu tidak boleh. Jadi sudah, lebih banyak pasrahnya saja," ucapnya.
Dari sejumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Kampus UIN Alauddin Makassar yang terekspos, kata dia, para pelaku yang melakukan justru diketahui merupakan oknum dosen dan mahasiswa sendiri.
Seperti kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Dosen Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar berinisial AAE terhadap mahasiswanya sendiri pada tahun 2018 silam.
Kemudian, kasus pemasangan kamera GoPro yang terjadi di toilet wanita yang terjadi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin pada 2019. Pelaku yang melakukan aksi itu adalah seorang mahasiswa berinisial AA.
Selain itu, juga ada kasus kekerasan seksual dengan aksi teror alat kelamin melalui panggilan video menggunakan aplikasi WhatsApp yang menimpah sejumlah mahasiswi yang tengah menuntut ilmu UIN Alauddin Makassar. Kasus ini dilaporkan terjadi pada Jumat 18 September 2020.
Dengan adanya sejumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di UIN Alauddin Makassar tersebut, kata Budhy, pimpinan kampus harus segera bertindak melakukan evaluasi. Untuk mencegah kasus kekerasan seksual kembali terjadi di UIN Alauddin Makassar.
Pemendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021
Apalagi, saat ini sudah ada Peraturan Mendikbud Ristek atau Pemendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi.
Menurut Budhy, Permendibud Nomor 30 tahun 2021 tentang PPKS yang diteken langsung oleh Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim tersebut tentu dibuat dengan dasar-dasar pertimbangan. Aturan itu, kata dia, tidak mungkin serta merta dikeluarkan jika kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi hanya satu kasus saja.
Dalam aturan itu, lanjut Budhy, sudah ada regulasi yang tertuang di dalamnya. Seperti pada Pasal 1 ayat 14 tentang pembentukan Satuan Tugas (Satgas) yang dapat meminimalkan kejadian pelecehan di kampus.
Terlebih lagi, dalam aturan itu juga sudah ada sanksi-sanksi yang akan diberikan kepada para pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual. Serta ada perlindungan kepada korban.
"Saya kira ketika aturan ini diterapkan, tentu saja orang yang ingin melakukan pelecehan atau kekerasan seksual itu akan berpikir dua kali untuk melakukan. Karena sudah melibatkan institusi hukum di luar dan sebagainya. Jadi bisa dipidanakan, saya kira terlindungilah perempuan-perempuan di sana. Karena yang paling rentan itu perempuan yang jadi korban," terang Budhy.
Bukan cuma itu, kata dia, pada Pasal 3 juga sudah terdapat Prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Mulai dari kepentingan terbaik dari korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten hingga jaminan ketidakberulangan.
"Di Pasal 3 itu ada semacam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual," ujar dia.
Sedangkan pada bagian BAB 3 Pasal 10, perguruan tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif dan pemulihan korban.
Sementara pada Pasal 11 ayat 1, kata Budhy, juga diterangkan pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus sebagai mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan dan warga kampus.
Kemudian pada ayat 2, pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi dan atau bimbingan sosial dan rohani.
"Bab 3 dijelaskan juga ada tata kelolahnya, pembentukan satuan tugas. Yang jadi masalah mahasiswa yang suka bikin acara malam, pasti dilarang sampai menginap. Kemudian ada sosialisasi ke mahasiswa," kata dia.
"Pasal 11, pendampingan konseling dan kesehatan, bantuan hukum dan advokasi, bimbingan sosial atau rohani. Ada perlindungan, konsep administratif, ada terapi fisik, medis, psikologis, dokter. Jadi misalnya ada yang pendarahan setelah diperkosa dan sebagainya sudah ada timnya, atau satgasnya yang bisa menangani itu. Saya kira sudah lengkap ini," sambung Budhy.
Yang jadi persoalan, kata Budhy, adalah ketika pimpinan kampus telah membentuk tim untuk mencegah dan menangani terjadinya kasus kekerasan seksual, namun program kerjanya tidak dijalankan sesuai dengan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi.
Situasi ini memang masih terjadi di UIN Alauddin Makassar, sejumlah mahasiswa yang ditemui di sejumlah fakultas kampus itu masih banyak yang tidak tahu apa yang dimaksud dengan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA).
Padahal, PSGA yang berada pada lantai dua di gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) sebenarnya sudah lama dibentuk pihak kampus. Salah satu tujuannya adalah untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus secara internal.
Karena itu, untuk mengantisipasi masalah tersebut, memang perlu niat baik dari pimpinan UIN Alauddin Makassar. Untuk melaksanakan program kerja agar aturan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang PPKS tersebut tidak hanya sekedar menjadi wacana saja.
Dalam aturan Peremendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi, kata Budhy, juga memuat sanksi yang akan diberikan kepada pelaku. Sebagai tindaklanjut kepada pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual. Sehingga, pimpinan kampus hanya mengikuti aturan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 mengenai PPKS.
"Kalau diikuti itu mereka sudah tidak perlu berpikir lagi untuk membuat instrumen, aturan seperti apa, tata caranya. Tinggal mengikuti saja," kata dia.
Nah, jika telah ada kasus kekerasan seksual dengan modus memasang kamera di kamar mandi di UIN Alauddin Makassar. Seharusnya, pihak kampus dapat bertindak cepat dengan melakukan patroli untuk mengecek apakah semua kamar mandi di kampus itu memang aman untuk digunakan atau tidak.
Para korban yang merasa terganggu dengan aksi kekerasan seksual dapat segera menyampaikan persoalan tersebut. Agar pihak kampus dapat segera melakukan evaluasi.
"Langsung disampaikan supaya pihak kampus punya evaluasi. Kan pelakunya itu-itu juga," katanya.
Kekerasan Seksual Butuh Penanganan Khusus
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang mengungkapkan penyebab kasus kekerasan seksual kerap kali terjadi di lingkungan kampus akibat lemahnya penanganan kasus di kampus.
Hal ini terjadi karena pelakunya adalah orang terdekat di lingkungan kampus seperti dosen, mahasiswa ataupun karyawan kampus sehingga turut menyebabkan keengganan korban untuk melapor.
"Relasi kuasa yang tidak timpang menjadikan korban takut untuk melaporkan," kata Veryanto kepada SuaraSulsel.Id, saat dikonfirmasi awal Desember 2021 lalu.
Sedangkan penyebab lainnya lagi, kata Veryanto, ialah minimnya akses korban terhadap pemulihan. Terutama penanganan psikologis korban. Agar dapat mengikuti kembali proses belajar yang menjadi hak pendidikannya.
Minimnya pengaduan kekerasan seksual di perguruan tinggi, menunjukkan bahwa tidak semua perguruan tinggi mempunyai aturan yang jelas. Implementatif dan efektif terkait dengan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), termasuk pemulihan korban.
Bukan cuma itu, kata dia, penanganan kasus kekerasan seksual juga masih sering disamakan dengan pelanggaran etik lain. Padahal kekerasan seksual memiliki sifat khas dan mengalami kerentanan berlapis.
Menurut Veryanto, dalam konteks kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terjadi karena relasi kuasa yang menimbulkan ketidakberdayaan korban. Umumnya pelaku memanfaatkan kerentanan, ketergantungan dan kepercayaan korban terhadapnya.
"Selain itu belum semua pimpinan punya perspektif korban. Sehingga terjadi pengabaian dan penyangkalan terjadinya kekerasan seksual dan mengkhawatirkan reputasi nama baik kampus," kata dia.
"Budaya misoginis, seksis dan tidak ramah terhadap perempuan juga masih terjadi di lembaga pendidikan yang menyebabkan korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan yang menyebabkan berkurang atau terlanggarnya hak asasinya sebagai perempuan maupun peserta didik," tambah Veryanto.
Sepanjang tahun 2015 hingga 2020, Komnas Perempuan menerima 27 persen aduan terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan penganduan yang terjadi di lembaga pendidikan.
Data ini juga diperkuat dengan temuan survei dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Ristek pada tahun 2019. Dimana kampus menempati urutan ketiga sebagai lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual dengan jumlah 15 persen, transportasi umum 19 persen dan jalanan 33 persen.
Mencermati maraknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, kata dia, pimpinan kampus wajib menindaklanjuti aturan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 mengenai PPKS dengan membentuk unit pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Unit tersebut bertugas untuk memberikan sosialisasi tentang kekerasan seksual sebagai bentuk pencegahan.
Khusus untuk penanganan kasus, perguruan tinggi dapat membuka pengaduan dan melakukan pendampingan terhadap korban. Agar unit yang telah dibentuk tersebut berjalan dengan efektif, sebaiknya pimpinan perguruan tinggi membuat kebijakan sebagai bentuk tindak lanjut Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi.
"Komnas Perempuan mendorong agar perguruan tinggi mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan Permen PPKS dengan mengikuti langkah-langkah yang sudah diatur oleh Permendikbud PPKS," katanya.
Plt Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Selatan Komisaris Besar Polisi Ade Indrawan menuturkan Polri akan menindak tegas setiap tindak pidana kasus kekerasan seksual yang terjadi. Termasuk yang tempat kejadian perkaranya (TKP) berada di lingkungan perguruan tinggi.
Penyidik yang menangani kasus akan bekerja secara maksimal dalam penyelidikan. Untuk mencari alat bukti. Sehingga membuat terang suatu perbuatan pidana.
"Apabila terjadi agar jangan pernah ragu untuk melaporkan ke pihak kepolisian agar polri dapat memproses tuntas kasus tersebut," tutur Ade.
Langkah Tegas UIN Alauddin Makassar
Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Bidang Kemahasiswaan, Darussalam mengungkapkan, kasus kekerasan seksual yang pernah terjadi di lingkungan kampus dan sempat menjadi sorotan publik telah lama diselesaikan pimpinan kampus.
Antara lain adalah kasus kekerasan seksual yang pernah dilakukan oleh oknum Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Dosen Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar terhadap mahasiswanya pada tahun 2018.
Oknum CPNS Dosen yang diketahui berinisial AAE tersebut telah menjalani hukuman penjara selama dua tahun. Selain itu, AAE juga dinyatakan tidak lolos pra jabatan. Tetapi hingga kini, pimpinan kampus masih menunggu Surat Keputusan (SK) dari Menteri Agama yang berhak untuk memutuskan status pelaku, apakah akan dipecat atau tidak.
"Sudah wilayahnya kementerian, karena laporannya kan sudah di Jakarta. Jadi tidak pernah lagi ceklok dan sebagainya. Jadi kita nunggu bagaimana dia punya status," ungkap Darussalam.
Untuk kasus kekerasan seksual berupa pemasangan kamera GoPro yang terjadi di toilet wanita Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar pada tahun 2019 yang sempat heboh diperbincangkan para mahasiswa juga diklaim sudah ditangani oleh pimpinan kampus.
Pelaku adalah seorang mahasiswa berinisial AA. Mhasiswa itu diberi sanksi Drop Out dari dalam kampus dan menjalani hukuman penjara.
"Yang pasang kamera itu sudah selesai. Menghadap orang tuanya karena sudah ditangani kepolisian dan sudah mengaku, sudah lama sekali itu selesai yang di Fakultas Syariah. Yang bersangkutan sudah keluar dari Fakultas Syariah, sudah dua tahun lalu itu selesai ya. Jangan bilang sekarang," tegas Darussalam.
Sedangkan, kasus kekerasan seksual dengan aksi teror alat kelamin melalui panggilan video menggunakan aplikasi WhatsApp yang menimpah sejumlah mahasiswi yang tengah menuntut ilmu UIN Alauddin Makassar juga telah diselesaikan pimpinan kampus. Kasus ini dilaporkan terjadi pada Jumat 18 September 2020.
Belakangan diketahui bahwa pelaku yang melakukan aksi teror alat kelamin melalui panggilan video menggunakan aplikasi WhatsApp tersebut merupakan mahasiswa UIN Alaudddin Makassar yang sudah Drop Out atau DO dari dalam kampus berinisial KMA. Dia ditangkap polisi pada Selasa 6 Oktober 2020.
Darussalam menjelaskan UIN Alauddin Makassar sudah memiliki Surat Keputusan (SK) untuk mengikuti aturan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi.
Sehingga, terbentuklah Unit Layanan Terpadu (ULT) beserta Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
"Kalau soal SK kan sudah ada yang keluar dari rektorat. Untuk pembentukan ULT dan SOP itu. Iya, akan diterapkan tapi kita ada sendiri. Jadi ada dua itu Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 dengan SK Dirjen Dikti, Pendidikan Tinggi Islam. Itu yang dijabarkan maka lahirlah yang disebut SOP dan sudah di ULT itu," jelas Darussalam.
Ketua Unit Layanan Terpadu UIN Alauddin Makassar, Rosmini Amin mengemukakan dalam konteks pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, pimpinan kampus telah menyediakan Unit Layanan Terpadu (ULT). Lembaga ini dibentuk khusus untuk berkonsentrasi pada Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan UIN Alauddin Makassar.
Pada lembaga ini, kata Rosmini, ada tiga devisi. Masing-masing adalah devisi pencegahan yang dikawal oleh delapan Wakil Ddekan 3. Kemudian ada devisi pendampingan hukum yang dikawal oleh sejumlah dosen yang tergabung dalam LKBH Fakultas Syariah dan Hukum.
Ada juga devisi pemulihan korban yang melibatkan personil dua lembaga konseling yang ada di UIN Alauddin Makassar, yaitu Unit Konseling Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Serta Laboratorium Konseling Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
"Akan memproses hal ini jika kasus ini terlaporkan secara resmi, dengan prosedur dan mekanisme yang ada," kata Rosmini.
Rosmini tidak menampik terkait adanya sejumlah kasus kekerasan seksual yang pernah terjadi di UIN Alauddin Makassar. Menurut dia, kejadian itu sangat memprihatinkan dan sangat miris mendengar kejadian serupa berulang kejadiannya. Terlebih lagi, lokasi terjadinya kasus itu berada tidak jauh dari UIN Alauddin Makassar.
"Dan ternyata korbannya adalah mahasiswi UIN. Boleh jadi, kejadian seperti ini korbannya bukan saja mahasiswi UIN, tapi masyarakat di luar warga UIN banyak juga yang menjadi korban perilaku menyimpang ini. Mungkin di wilayah sekitar UIN ataukah di wilayah lain," ucap Rosmini.
Dalam interaksi sosial masyarakat, kata dia, tidak dapat dipungkiri akan adanya orang-orang tertentu yang memiliki perilaku menyimpang. Terutama dalam hal kecenderungan dan dalam perilaku seksual. Karena itu, hal ini tidak dapat menjadi alasan untuk tidak persoalkan.
Penyebabnya, karena perilaku mempertontonkan atau memperlihatkan alat kelamin yang bukan pada tempatnya cukup meresahkan masyarakat. Apalagi, dapat menimbulkan efek traumatis yang berkepanjangan kepada korban.
"Perilaku seksual yang menyimpang seperti ini, termasuk tindak pidana kekerasan seksual dan akan tetap dipersoalkan secara hukum dan etik berdasarkan SOP KPKE, meskipun pelakunya berdalih karena penyakit yang dialaminya," tegas Rosmini.
Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, kata Rosmini, jika dilaporkan di Unit Layanan Terpadu (ULT) dan pelakunya sendiri adalah orang UIN Alauddin Makassar. Baik itu mahasiswa, dosen hingga Tenaga Pendidikan (Tendik), maka akan tetap diproses di ULT tanpa pandang bulu.
Dari situ, terduga pelaku akan diperiksa dan disidang di Komisi Penegakan Kode Etik (KPKE) untuk diberikan sanksi etik, sesuai dengan kadar pelanggarannya. Selain sanksi etik, pelaku juga akan diproses di Kepolisian Kabupaten Gowa, karena telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual.
Tetapi jika pelakunya bukan orang UIN Alauddin Makassar, kata dia, sebaiknya korban melaporkan kejadian itu ke polisi. Agar dapat diproses secara hukum pidana dan ULT UIN Alauddin Makassar akan memfasilitasi pendampingan hukum bila korban membutuhkan.
"Selain menfasilitasi pendampingan hukum, ULT juga akan menfasilitasi terapi psikologis dan terapi konseling jika dibutuhkan oleh korban," terang dia.
Rosmini berharap semoga kedepannya kasus-kasus kekerasan seksual tidak terjadi lagi di UIN Alauddin Makassar. Tetapi jika kemudian masih terjadi, maka korban diminta untuk tidak panik menghadapinya.
"Karena semakin panik korbannya dan histeris, itu semakin memuaskan nafsu seksual pelakunya dan semakin memotivasi pelaku untuk mengulanginya di waktu-waktu setelahnya. Mungkin dengan volume penyimpangan perilaku seksual yang lebih besar dan semakin berpotensi mendatangkan banyak korban," pungkas Rosmini.
Kontributor : Muhammad Aidil