SuaraSulsel.id - Nama I Fatimah Daeng Takontu tidak populer jika dibandingkan pejuang kemerdekaan lainnya. Namun perempuan kelahiran Sanrobengi, Kabupaten Gowa 1659 ini ditakuti VOC Belanda.
I Fatimah Daeng Takontu adalah putri Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke XVI. Kendati putri bangsawan, Fatimah turut serta berperang membantu ayahnya melawan Belanda.
Catatan soal I Fatimah ditulis apik dalam buku berjudul "Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa." Buku tersebut ditulis budayawan Gowa Djufri Tenribali dan Syahrul Yasin Limpo yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertanian RI.
Baca Juga:Berlaku Mulai Hari Ini, Harga Tes PCR di Makassar Rp 500 Ribu Hasil Keluar 16 Jam
Tokoh Adat Sanrobengi Amin Yakob mengatakan I Fatimah dideskripsikan sebagai Garuda Betina dari Timur oleh VOC. Aksi heroiknya sebagai perempuan sangat berjasa mendongkel pengaruh VOC di kesultanan Indonesia kala itu.
I Fatimah disebut sangat dekat dengan ayahnya, Sultan Hasanuddin. Sejak kecil, sang ayah sudah mengajarinya ilmu bela diri.
Menginjak remaja, Fatimah sempat mempelajari ilmu bertempur di laut. Ia sempat diamanahkan untuk memimpin armada Gowa.
Ia juga pawai mempelajari ilmu iklim. Tak heran, ia lebih banyak menghabiskan waktu di lautan. I Fatimah disebut berlayar dari Sulawesi, Jawa, hingga laut Banda.
"Pengetahuannya mengenai ilmu kelautan dan iklim membuatnya lebih banyak berada di laut," kata Amin Yakob.
Baca Juga:Lebih 70 Ribu Keluarga Penerima Manfaat Kota Makassar Akan Terima Bansos PPKM
Ia berlayar untuk menjaga batas wilayah kesultanannya. Sekaligus berdiplomasi dengan kesultanan Islam lainnya di Indonesia.
Kesultanan Banten misalnya. Di Pulau inilah awal mula bagi I Fatimah ikut berperang.
Kala itu ayahnya, Sultan Hasanuddin menyepakati perjanjian Bungaya (Bongaaisch Contract). Perjanjian damai antara Kesultanan dan Belanda itu ternyata menguntungkan bagi Belanda.
Karaeng Galesong, Karaeng Karunrung, dan Karaeng Bontomarannu. Kerabat Sultan Hasanuddin kemudian menolak keras perjanjian tersebut. Mereka lalu melakukan ekspedisi ke Pulau Jawa untuk mengatur strategi perang.
Mendengar hal tersebut, I Fatimah meminta izin agar bisa menyusul kakaknya, Karaeng Galesong ke Pulau Jawa. Oleh Sultan Hasanuddin, permintaan I Fatimah ditolak.
Fatimah hanya menyaksikan ada sekitar 800 prajurit asal Gowa di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu berangkat ke Banten. Lalu disusul oleh Karaeng Galesong dengan 20.000 prajurit.
Namun, Sultan Hasanuddin wafat pada 12 Juni 1670. Ketika itu Banten bertempur melawan VOC.
I Fatimah bersama pasukan perempuan asal Gowa yang disebut Bainea kemudian menyusul ke Pulau Jawa. Bainea adalah para janda yang ditinggal mati suaminya karena ikut berperang.
"Saat itu usia Fatimah disebutkan baru 12 tahun," tuturnya.
Kehadiran pasukan I Fatima disambut baik oleh Kesultanan Banten di bawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa. Mereka kemudian menyatukan kekuatan bersama pasukan putra Gowa lainnya, Syekh Yusuf.
Dijelaskan dalam pertempuran tersebut, pasukan Bainea di bawah pimpinan I Fatimah mampu memukul mundur VOC hingga ke perbatasan. Sementara pasukan Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu memutuskan ke Jawa Timur, membantu perjuangan Trunojoyo.
Belanda bahkan menyusun strategi menangkap I Fatimah dan Syekh Yusuf. Namun, gagal berulang kali.
Pada tahun 1693, Belanda berhasil menangkap Syekh Yusuf. Ia diasingkan ke Srilanka dan Cape Town, Afrika.
Melihat kondisi tersebut, I Fatimah kemudian memutuskan kembali berlayar pulang bersama pasukannya yang tersisa. Ia semakin membenci Belanda tatkala mendengar kabar Karaeng Galesong gugur di tangan Belanda.
I Fatimah kemudian menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Mempawah di Kalimantan Barat menyerang Belanda. Bersama pasukan Bainea yang tersisa, I Fatimah menyerang lewat laut.
Kapal-kapal dagang VOC dihancurkannya. Hal tersebut membuat Belanda marah. Sayembara bahkan dilakukan untuk menangkap I Fatimah.
Menurut sejarah, I Fatimah bertugas menjaga wilayah laut kerajaan Mempawah hingga akhir hayatnya. Pertempuran demi pertempuran melawan VOC masih berlangsung selepas itu hingga sang Garuda Betina tutup usia di Mempawah.
Sejarahwan Universitas Negeri Makassar, Bahri mengatakan I Fatimah dimakamkan di Mempawah. Bukan di Sulawesi Selatan.
I Fatimah dimakamkan di Tanjung Matoa, Temajo, Kabupaten Mempawah. Sejak saat itu, Gowa dan Mempawah punya ikatan emosional.
Hingga kini belum ada simbol atau penghargaan ke I Fatimah sebagai pejuang kemerdekaan. Namun makamnya masuk dalam kawasan perlindungan benda cagar budaya di Mempawah, Kalimantan.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing