SuaraSulsel.id - Trotoar jalan di sejumlah lokasi di Kota Makassar masih ramai dengan penjual bendera merah putih. Satu hari jelang perayaan 17 Agustus, pedagang masih berharap dagangan bendera merah putih mereka habis terjual.
Bagi Anda yang pernah singgah beli bendera merah putih, pernahkah Anda menanyakan asal usul pedagangnya? Ternyata mereka banyak yang berasal dari luar pulau.
Yono, salah satu pedagang yang ditemui SuaraSulsel.id, lagi asyik berbaring di atas tikar. Menunggu pengguna jalan membeli bendera merah putih.
"Saya dari Solo, mbak. Ikut jualan sama keluarga di sini," ungkap Yono di depan Kampus Universitas Muslim Indoneisa (UMI) Jalan Urip Sumoharjo Makassar, Senin, 16 Agustus 2021.
Baca Juga:Berlaku Mulai Hari Ini, Harga Tes PCR di Makassar Rp 500 Ribu Hasil Keluar 16 Jam
Pria berusia 43 tahun itu mengaku tiap tahun berangkat dari Solo ke Kota Makassar. Untuk menjual bendera merah putih. Masyono mengaku untung yang diperoleh lumayan banyak.
Tahun ini, sudah dua pekan ia jualan bendera. Yono mengaku senang lantaran bendera paling mahalnya sudah laku. Harganya Rp 500 ribu sepanjang 10 meter.
"Benderanya kita datangkan dari Bandung. Jual lagi di sini," tuturnya.
Yono menawarkan bendera dari harga Rp 10 ribu hingga Rp 500 ribu. Meski pandemi, menurutnya penjualan benderanya masih cukup laris.
"Tapi memang tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Dulu bisa dapat sampai Rp 4 juta per hari, sekarang hanya Rp 2 juta saja," bebernya.
Baca Juga:Lebih 70 Ribu Keluarga Penerima Manfaat Kota Makassar Akan Terima Bansos PPKM
Dari Jawa, mereka memang ramai-ramai ke Kota Makassar untuk jualan bendera. Lokasi lapaknya berbeda-beda. Dari Kota Makassar hingga sampai ke Kabupaten Pangkep.
"Tiga di UMI, dua di Perintis, satu di Maros dan satu di Pangkep," tuturnya.
Sama halnya dengan Budiman, pedagang bendera asal Garut. Ia menyewa rumah di Jalan Angkasa I, Panaikang, Kota Makassar. Demi berjualan bendera.
Budiman bukan pedagang baru di Makassar. Sudah 15 tahun, ia bolak-balik ke Makassar jualan bendera merah putih.
"Sejak 2006 saya di sini. Waktu itu masih ikut-ikut sama abang," katanya.
Dulunya cuma bawa stok dua karung bendera. Budiman pun masih membeli di pemasok. Kini sudah mengatur produksi secara mandiri.
"Saya yang bikin pola. Lalu bawa ke beberapa konveksi karena tidak cukup kalau cuma satu," ujar Budiman.
Jika Budiman awalnya pakai modal sendiri, kini lelaki berusia 42 tahun itu sudah mendapat kepercayaan dari bank. Pengembaliannya pun selalu tepat waktu, tak lebih dari tiga bulan.
"Tiap tahun saya ke sini (Makassar), 20 Agustus (utang) sudah tuntas. Tetap ada jaminan, sertifikat rumah salah satunya," tutur Budiman.
Modal yang dikeluarkan Budiman tak main-main. Produksi ribuan benderanya menelan biaya Rp 300 juta.
"Kembalinya Rp 350 juta sudah alhamdulillah. Kalau sisa, disimpan untuk tahun depan," ujarnya, lalu tertawa kecil.
Tiap tahun, dia menargetkan 16 Agustus sudah beres-beres untuk kembali ke Garut. "Paling lama satu bulan di Makassar," ujarnya.
Baginya, berdagang bendera merah putih gampang-gampang susah. Jika tak jeli, barang berharga dari mobil hingga rumah yang dijadikan jaminan bisa ludes.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing