"Setelah ada tambang, nelayan hanya kembali modal. Mereka merugi Rp 200 ribu hingga Rp 2 juta per hari," jelasnya Al Amin.
Walhi Sulsel mencatat kerugian yang dialami nelayan selama 9 bulan itu mencapai Rp 80 miliar. Baik itu untuk nelayan pancing, nelayan panah, nelayan bagang dan nelayan jaring.
Puncak kekecewaan nelayan memuncak ketika mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sulsel. Tapi Nurdin Abdullah tidak pernah menemui mereka.
Mereka, kata Al Amin, bahkan tidur di trotoar demi bertemu Nurdin Abdullah. Satu harapan mereka, Pemprov Sulsel bisa menghentikan penambangan tersebut.
Baca Juga:KPK Cecar Nurdin Abdullah Dengan Pertanyaan Ini Dalam Pemeriksaan Perdana
"Namun, tidak ada. Pak Nurdin tidak menemui mereka," jelasnya.
Walhi Sulsel pun mengaku mendukung KPK untuk mengusut kasus yang menjerat Nurdin Abdullah. Bahkan kalau perlu menyasar soal penambangan pasir ini.
Diketahui, Pulau Kodingareng dikeruk oleh perusahaan milik mantan Tim Sukses Nurdin Abdullah yang juga jadi staf khususnya sekarang.
Dari hasil penelusuran, tahun lalu ada enam perusahaan yang melakukan pengajuan penambangan. Yakni, PT Cipta Konsolindo dengan luas permohonan belum diketahui, PT Danadipa Agra Balawan dengan luas permohonan 999,29 Ha, lalu PT Waragonda Indogernet Pratama yang rencananya akan menggarap 980,33 Ha.
Adapula PT Alefu Makmur yang mengusulkan permohonan seluas 658,54 Ha, lalu PT Banteng Laut Indonesia dengan luas garapan 619,58 Ha. Terakhir PT Berkah Bumi Utama dengan luas permohonan 760,86 Ha.
Baca Juga:Kepala Daerah Nurdin Abdullah Korupsi, Pukat UGM Soroti Biaya Politik Mahal
Dari enam perusahaan yang mengajukan izin tersebut, dua perusahaan disebut resmi mendapat izin dari Pemprov Sulsel yakni PT Banteng Laut Indonesia dan PT Alefu Makmur. Namun, izin terbitnya lebih cepat.