- Sejarah di tanah ini menyimpan banyak nama yang nyaris tenggelam oleh waktu
- Nama lengkapnya Letnan Jenderal Haeruddin Tasning Daeng Toro
- Hertasning menjadi diplomat yang membawa nama Indonesia di kancah dunia
SuaraSulsel.id - Setiap tanggal 10 November, bangsa ini kembali mengenang jasa para pahlawan.
Tahun ini, Presiden Prabowo Subianto kembali mengumumkan sepuluh tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Di antaranya Soeharto, Abdurrahman Wahid, dan Marsinah, aktivis buruh yang gugur karena perjuangannya.
Namun di antara daftar itu, dua nama dari Sulawesi Selatan kembali belum masuk dalam daftar tunda. Ada nama Jenderal M. Yusuf dan Andi Makkasau.
Meski demikian, bagi masyarakat Sulsel, keduanya sudah lama menjadi pahlawan di hati rakyatnya.
Sesungguhnya, tak hanya mereka. Sejarah di tanah ini menyimpan banyak nama yang nyaris tenggelam oleh waktu.
Nama-nama yang hanya tersisa di papan jalan tanpa banyak orang tahu siapa tokoh di baliknya. Salah satunya: Hertasning.
Nama lengkapnya Letnan Jenderal Haeruddin Tasning Daeng Toro, lahir di Makassar, 19 Desember 1922.
Ia adalah putra kedua dari Tasning Daeng Muntu dan Bonto Daeng Kunjung.
Baca Juga: Kenapa Jenderal M Jusuf Belum Diberi Gelar Pahlawan Nasional?
Seperti adat masyarakat Makassar, ia mendapat "paddaengang" atau gelar yang menandai kebangsawanan lokal. Ia diberi nama Daeng Toro.
Masa kecilnya dihabiskan di kampung Parangtambung, kawasan pesisir yang kala itu masih sunyi dan berdebu.
Dari sanalah ia mulai menapaki pendidikan, bersekolah di SD Jongaya (1929), lalu melanjutkan ke Shakel School, dan kemudian ke MULO Makassar, sekolah menengah bergengsi yang didirikan pemerintah kolonial Belanda pada 1927.
Saat bersekolah di MULO, keluarganya pindah ke Taeng, Gowa. Hertasning muda pun menumpang di rumah seorang saudagar kayu bernama Badong di Jalan Latimojong, Makassar.
Cita-cita yang Terhenti Oleh Perang
Tahun 1942, setelah menamatkan pendidikan, Hertasning merantau ke Bogor dan diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Ia bermimpi memajukan pertanian di kampung halamannya, sesuatu yang sangat dibutuhkan rakyat Sulsel kala itu.
Namun, cita-cita itu terhenti di tengah jalan. Situasi tanah air bergolak, Jepang menduduki Hindia Belanda, dan tak lama kemudian perjuangan menuju kemerdekaan pun meletus.
Hertasning muda tak tinggal diam. Ia bergabung dengan para pemuda Sulawesi Selatan seperti Kahar Muzakkar, Andi Ahmad Rivai, dan Andi Mattalatta untuk bergerilya bersama pasukan Jenderal Soedirman di Klaten, Jawa Tengah.
Di medan tempur itulah, antara dentuman senjata dan semangat kemerdekaan, hidupnya berubah.
Ia kemudian berpindah ke Yogjakarta. Ia mendatangi tempat para pejuang dirawat dan bertemu seorang gadis bernama R.A. Madahera, putri pejabat daerah Solo, Raden Sugeng Persiswoyo.
Madahera aktif membantu merawat para pejuang yang terluka.
Dari pertemuan di masa perang itu tumbuh benih cinta yang kemudian bersemi menjadi pernikahan pada 1948.
Mereka dikaruniai empat anak. Bambang Irawan, Diah Herawati, Burhanuddin Trianto, dan Ahmad Rayendra.
Pasca-kemerdekaan, Hertasning melanjutkan perjuangannya di tubuh TNI, yang kala itu tengah bertransformasi menjadi tentara nasional yang profesional.
Di bawah kepemimpinan A.H. Nasution, ia dipercaya mengemban berbagai posisi penting.
Karier militernya mencakup jabatan Komandan Polisi Militer (CPM) Kodam VII Wirabuana di Manado (1951–1953) dan di Makassar (1953–1955).
Ia kemudian menempuh pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) Cimahi (1955–1957), dan sempat belajar di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat (1959–1960), salah satu pusat pelatihan militer tertua di dunia.
Sepulangnya ke tanah air, Hertasning dipercaya sebagai Atase Militer Indonesia di Kairo (1960–1962), kemudian menjabat Dirjen Pengamanan dan Hubungan Luar Negeri di Departemen Luar Negeri (1962–1966).
Namanya juga tercatat sebagai Kepala Komando Intelijen Negara (KIN) pada 1966–1967, serta Kepala Staf Pelaksana Kopkamtib Bidang Luar Negeri (1967–1973). Selepas itu, ia mengabdi sebagai Duta Besar Indonesia untuk Australia (1973–1976) dan Singapura (1976–1978).
Kini, nama Letjen Hertasning diabadikan menjadi salah satu jalan utama di Makassar--Jalan Letjen Hertasning.
Setiap hari ribuan kendaraan melintas di sana, tanpa banyak yang tahu siapa sosok di balik nama itu.
Padahal, di balik nama tersebut ada kisah panjang seorang anak kampung asal Parangtambung yang menanggalkan cita-cita akademiknya demi kemerdekaan, menempuh pendidikan militer hingga ke Amerika, dan akhirnya menjadi diplomat yang membawa nama Indonesia di kancah dunia.
Dalam setiap langkah perjuangannya, Hertasning menunjukkan bahwa pahlawan tak selalu mereka yang gugur di medan perang. Ada juga yang berjuang lewat kecerdasan, disiplin, dan kesetiaan terhadap bangsa bahkan hingga di luar negeri.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Mobil Bekas 50 Jutaan Muat 7-9 Orang, Nyaman Angkut Rombongan
- Daftar Mobil Bekas yang Harganya Paling Stabil di Pasaran
- Pandji Pragiwaksono Dihukum Adat Toraja: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda 2 Miliar
- 7 Parfum Wangi Bayi untuk Orang Dewasa: Segar Tahan Lama, Mulai Rp35 Ribuan Saja
- 3 Pelatih Kelas Dunia yang Tolak Pinangan Timnas Indonesia
Pilihan
-
Purbaya Gregetan Soal Belanja Pemda, Ekonomi 2025 Bisa Rontok
-
Terjerat PKPU dan Terancam Bangkrut, Indofarma PHK Hampir Seluruh Karyawan, Sisa 3 Orang Saja!
-
Penculik Bilqis Sudah Jual 9 Bayi Lewat Media Sosial
-
Bank BJB Batalkan Pengangkatan Mardigu Wowiek dan Helmy Yahya Jadi Komisaris, Ada Apa?
-
Pemain Keturunan Jerman-Surabaya Kasih Isyarat Soal Peluang Bela Timnas Indonesia
Terkini
-
Wagub Sulsel: Semua Fasilitas Publik Harus Dipasangi CCTV
-
Jusuf Kalla: Mafia Tanah Harus Dilawan, Jika Tidak Masyarakat Jadi Korban
-
Terlibat Jual 10 Bayi Lewat Medsos, Ini Sosok 4 Tersangka Penculikan Bilqis
-
Siapakah Hertasning? Sosok Pahlawan Terukir di Jalanan Makassar
-
Polisi: Penculik Incar Anak di Bawah 5 Tahun