- Makassar darurat mafia tanah
- Sengketa rumah warga, showroom mobil mewah, hingga kompleks pusat perbelanjaan dan proyek besar milik korporasi
- Fakta di lapangan ditemukan tumpang tindih sertifikat, lemahnya administrasi, dan praktik percaloan masih terus membayangi
SuaraSulsel.id - Konflik kepemilikan lahan di Kota Makassar tampaknya tak pernah benar-benar reda.
Dari rumah warga, showroom mobil mewah, hingga kompleks pusat perbelanjaan dan proyek besar milik korporasi, sengketa tanah seolah menjadi potret buram tata kelola pertanahan di ibu kota Sulawesi Selatan ini.
Sepanjang 2025 saja, sedikitnya enam kasus agraria mencuat dan menyita perhatian publik.
Ada eksekusi rumah berstatus sertifikat hak milik (SHM) yang berujung ricuh, ada pula blokade jalan akibat perebutan lahan showroom mobil di jantung kota.
Baca Juga:Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
Belum lagi gugatan bernilai ratusan miliar rupiah atas tanah yang kini berdiri pusat perbelanjaan megah, serta pertikaian antara dua raksasa bisnis di kawasan Tanjung Bunga.
Perseteruan serupa juga melibatkan lembaga pemerintah.
Sengketa lahan antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan warga di kawasan Manggala menjadi bukti bahwa bahkan aset negara pun tak lepas dari potensi klaim dan manipulasi dokumen kepemilikan.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berulang kali menegaskan komitmennya memberantas praktik mafia tanah.
Namun faktanya di lapangan, tumpang tindih sertifikat, lemahnya administrasi, dan praktik percaloan masih terus membayangi.
Baca Juga:Perang Lawan Mafia Tanah Dimulai! Makassar Bentuk Tim Khusus Selamatkan Aset Daerah
Alhasil, masyarakat kerap menjadi korban dari ketidakpastian hukum atas tanah yang telah mereka tempati puluhan tahun.
Berikut enam kasus sengketa tanah yang paling banyak menyedot perhatian publik di Makassar sepanjang tahun ini.
1. Rumah Ber-SHM di Jalan AP Pettarani
Kericuhan pecah pada 13 Februari 2025 ketika eksekusi lahan di Jalan A.P. Pettarani berlangsung di bawah pengawalan ribuan aparat kepolisian dan TNI.
Warga menolak digusur karena mengaku memiliki SHM atas lahan seluas 12.932 meter persegi itu, yang di atasnya berdiri bekas gedung Yayasan Hamrawati dan sembilan ruko.
Eksekusi dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Makassar nomor 49/Pdt.G/2018/PN.Mks.