SuaraSulsel.id - Di balik keindahan puncak gunung yang memukau, tersimpan sebuah bahaya yang sering dijuluki sebagai 'pembunuh senyap'.
Namanya hipotermia, sebuah kondisi medis darurat yang kerap mengintai para pendaki, bahkan yang paling berpengalaman sekalipun.
Bagi generasi milenial dan anak muda yang kini gemar menjelajahi alam, memahami ancaman ini adalah kunci untuk pendakian yang aman dan menyenangkan.
Apa Sebenarnya Hipotermia Itu?
Baca Juga:Surga Pendaki! Jelajahi 6 Gunung Ikonik di Sulawesi Selatan Plus Kisah Horor
Hipotermia adalah kondisi serius yang terjadi ketika tubuh kehilangan panas lebih cepat daripada kemampuannya untuk memproduksi panas.
Menyebabkan suhu inti tubuh turun drastis di bawah 35°C. Suhu normal tubuh manusia sendiri berkisar antara 36,5–37,3°C.
Saat suhu tubuh anjlok, fungsi organ vital seperti jantung, sistem saraf, dan organ lainnya tidak dapat bekerja secara normal.
Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, kondisi ini dapat berujung pada kegagalan fungsi jantung, gangguan sistem pernapasan, hingga kematian.
Gejala awal hipotermia seringkali disepelekan. Tubuh akan mulai menggigil sebagai respons alami untuk menghangatkan diri.
Baca Juga:7 Dosa Besar Pendaki Gunung Rinjani yang Sering Berakhir Tragedi
Namun, seiring menurunnya suhu tubuh, gejala lain akan muncul, mulai dari kulit pucat dan terasa dingin, mati rasa, napas menjadi cepat, hingga rasa kantuk dan kebingungan.
Pada tahap yang lebih parah atau hipotermia sedang (suhu tubuh 28–32°C), korban justru akan berhenti menggigil, bicaranya menjadi tidak jelas, dan kesadarannya menurun.
Jika suhu terus turun di bawah 28°C, risiko henti jantung dan koma menjadi sangat tinggi.
Mengapa Pendaki Gunung Sangat Rentan?
Mendaki gunung menempatkan tubuh pada situasi yang ekstrem, menjadikannya 'sasaran empuk' bagi hipotermia.
Ada beberapa faktor kunci yang menjadi penyebabnya: