SuaraSulsel.id - Hutan mangrove di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, tiba-tiba berstatus milik pribadi.
Ambo Masse, seorang warga, mengklaim lahan seluas 6,4 hektare itu dengan sertifikat hak milik (SHM) yang sudah terbit sejak 2009.
Padahal, aturan jelas melarang pengalihan fungsi lahan mangrove. UU Nomor 27 Tahun 2007 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan sanksi bagi siapa saja yang merusak ekosistem ini.
Mangrove bukan sekadar pohon di pesisir. Ia benteng alami yang melindungi wilayah pantai dari abrasi dan menjadi rumah bagi beragam spesies seperti ikan, kepiting, dan kerang.
Baca Juga:Lukisan Berusia 51.200 Tahun di Leang-leang Bikin Fadli Zon Takjub
Dari Hutan Lindung Jadi Empang
Di Sulawesi Selatan, luas hutan mangrove mencapai 12.278 hektare, tersebar di 18 kabupaten/kota, termasuk Maros sebagai salah satu yang terbesar. Lahan ini terbagi dalam beberapa status.
Hutan negara (hutan lindung) sebanyak 1.600 hektare. Hutan produksi 126 hektare, kawasan lindung non-hutan negara 10.557 hektare.
Namun, banyak lahan mangrove berubah fungsi karena klaim kepemilikan pribadi. Seperti di Maros, 6 hektare hutan mangrove dibabat dan diubah jadi empang oleh Ambo Masse.
"Kami sudah bersurat ke ATR/BPN Maros untuk membatalkan SHM di kawasan mangrove ini," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, M. Ilyas, Sabtu, 1 Februari 2025.
Baca Juga:Drama Penemuan Bayi di Maros Terkuak, Ternyata Anak...
Menurutnya, sertifikat yang dipegang Ambo Masse terbit sebelum wilayah tersebut resmi ditetapkan sebagai hutan mangrove. Oleh karena itu, pihaknya meminta verifikasi ulang. Polisi juga sudah turun tangan menyelidiki.
- 1
- 2