Hutan Mangrove di Maros Diklaim Milik Pribadi, Ditebang Jadi Empang

Hutan mangrove di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, tiba-tiba berstatus milik pribadi

Muhammad Yunus
Minggu, 02 Februari 2025 | 12:21 WIB
Hutan Mangrove di Maros Diklaim Milik Pribadi, Ditebang Jadi Empang
Forum Komunitas Hijau meninjau kondisi hutan mangrove yang dibabat di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id/Istimewa]

SuaraSulsel.id - Hutan mangrove di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, tiba-tiba berstatus milik pribadi.

Ambo Masse, seorang warga, mengklaim lahan seluas 6,4 hektare itu dengan sertifikat hak milik (SHM) yang sudah terbit sejak 2009.

Padahal, aturan jelas melarang pengalihan fungsi lahan mangrove. UU Nomor 27 Tahun 2007 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan sanksi bagi siapa saja yang merusak ekosistem ini.

Mangrove bukan sekadar pohon di pesisir. Ia benteng alami yang melindungi wilayah pantai dari abrasi dan menjadi rumah bagi beragam spesies seperti ikan, kepiting, dan kerang.

Baca Juga:Lukisan Berusia 51.200 Tahun di Leang-leang Bikin Fadli Zon Takjub

Dari Hutan Lindung Jadi Empang

Di Sulawesi Selatan, luas hutan mangrove mencapai 12.278 hektare, tersebar di 18 kabupaten/kota, termasuk Maros sebagai salah satu yang terbesar. Lahan ini terbagi dalam beberapa status.

Hutan negara (hutan lindung) sebanyak 1.600 hektare. Hutan produksi 126 hektare, kawasan lindung non-hutan negara 10.557 hektare.

Namun, banyak lahan mangrove berubah fungsi karena klaim kepemilikan pribadi. Seperti di Maros, 6 hektare hutan mangrove dibabat dan diubah jadi empang oleh Ambo Masse.

"Kami sudah bersurat ke ATR/BPN Maros untuk membatalkan SHM di kawasan mangrove ini," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, M. Ilyas, Sabtu, 1 Februari 2025.

Baca Juga:Drama Penemuan Bayi di Maros Terkuak, Ternyata Anak...

Menurutnya, sertifikat yang dipegang Ambo Masse terbit sebelum wilayah tersebut resmi ditetapkan sebagai hutan mangrove. Oleh karena itu, pihaknya meminta verifikasi ulang. Polisi juga sudah turun tangan menyelidiki.

Ancaman Banjir Rob dan Abrasi

Jika dibiarkan, dampaknya bisa fatal. Abrasi dan banjir rob mengancam pesisir Maros hingga Pangkep. Sawah, ladang, dan tambak warga berisiko tenggelam.

Kepala Kantor BPN Maros, Murad Abdullah, mengakui lembaganya pernah menerbitkan SHM untuk lahan tersebut pada 2009. Saat itu, kawasan itu belum ditetapkan sebagai hutan mangrove.

Namun, pada 2012, Perda Nomor 4 mengubah sebagian pesisir menjadi kawasan mangrove. Tahun 2024, Ambo Masse mengajukan perubahan status lahan dari hak milik menjadi hak pakai, lalu mencoba mengubahnya kembali ke hak milik.

"Tapi permohonan itu kami tangguhkan karena sudah dalam penyelidikan aparat penegak hukum. Diduga ada perusakan mangrove," ujar Murad.

Aktivis Lingkungan Siap Tempuh Jalur Hukum

Juru Bicara Forum Komunitas Hijau, Ahmad Yusran, menegaskan pihaknya tak akan tinggal diam. Mereka siap membawa kasus ini ke jalur hukum.

"Ini bukan sekadar masalah administrasi tanah. Ada kerusakan lingkungan yang berdampak besar bagi ekosistem pesisir dan masyarakat sekitar," tegasnya.

Kini, semua mata tertuju pada aparat penegak hukum. Apakah kasus ini akan berujung pada pembatalan sertifikat, atau justru membuka celah baru bagi perusakan lingkungan?

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini