SuaraSulsel.id - Salah satu destinasi wisata sejarah yang dapat anda kunjungi di Sulawesi Selatan adalah istana raja. Selain bisa berlibur, juga menambah wawasan.
Mengingat dulunya Indonesia terdiri atas berbagai kerajaan. Sebelum tergabung sebagai negara kesatuan, tentunya bukan tanpa alasan kalau Indonesia punya banyak sisa peninggalan kerajaan. Begitu juga di Sulawesi Selatan.
Selain bentuk arsitekturnya yang unik, istana sering dikunjungi wisatawan untuk wisata edukasi karena memiliki nilai sejarah. Setiap istana juga punya sejarah yang berbeda-beda.
Mengutip dari berbagai sumber, ini dia daftar istana raja di Sulawesi Selatan yang menarik untuk dikunjungi.
Baca Juga:Viral Cowok Nangis Gegara Listrik Padam di Pangkep Sulsel: Belasan Ikan Koi Jumbo Mati
1. Istana Balla Lompoa
Balla Lompoa terletak di jalan Sultan Hasanuddin, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bangunan ini didirikan pada tahun 1934 setelah pengangkatan Raja Gowa ke-XXXV I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo yang bergelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin.
Balla Lompoa dulunya merupakan kediaman para raja sekaligus pusat pemerintahan. Bangunan ini sebagai penolakan terhadap salah satu ayat Perjanjian Bongaya antara pemerintah Belanda dan kerajaan Gowa.
Pihak kerajaan Gowa keberatan atas pernyataan Belanda yang menyatakan bahwa gerbang-gerbang dan tembok pertahanan raja Gowa harus dimusnahkan. Raja Gowa tidak boleh lagi mendirikan bangunan tanpa izin kompeni.
Raja Gowa bahkan dilarang mendirikan perkampungan dan rumah sampai jauhnya satu hari perjalanan dari pinggir laut. Selain itu tidak boleh mendirikan benteng atau kubu pertahanan, kecuali Fort Rotterdam.
Baca Juga:Kisah Mantan Penjual Racun Tikus Jadi Gubernur Sulawesi Selatan
Pusat kerajaan Gowa kemudian dipindahkan dari Jongaya ke Sungguminasa. Selama berdiri, hanya ada dua raja yang menempati istana tersebut. Yakni Raja Gowa ke 35, lalu pemegang tahta jatuh kepada Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Kadir Aidir, sekaligus Bupati Gowa pertama.
Kini, Balla Lompoa dijadikan Museum. Di sana, wisatawan dapat melihat berbagai koleksi peninggalan Raja Gowa pertama, Karaeng Tomanurung Bainea. Seperti Salekoa berupa mahkota emas seberat 1768 gram, kalung emas, dan gelang tangan berbentuk naga dua pasang, serta benda-benda lainnya yang didominasi emas.
Selain itu ada juga peralatan perang, tujuh buah naskah aksara lontara, silsilah kerajaan Gowa, sampai Alquran yang konon ditulis oleh ulama besar Syekh Yusuf.
2. Istana Petta Ponggawae atau Bola Soba
Istana ini terletak di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan dan didirikan oleh Manurungnge Ri Matajang pada tahun 1330 dengan gelar Mata Silompoe. Petta Ponggawae atau Bola Soba jadi saksi sejarah bahwa Bone pernah jadi salah satu kerajaan besar di nusantara pada masa lampau.
Awalnya, Bola Soba merupakan kediaman raja, sehingga disebut Saoraja atau rumah besar. Istana ini ditempati oleh Abdul Hamid yang diangkat menjadi Petta Ponggawae atau Panglima Perang kerajaan Bone dengan persetujuan Ade’ Pitue.
Seiring dengan ekspansi Belanda yang bermaksud menguasai Nusantara, termasuk Bone, maka istana Petta Ponggawae jatuh ke tangan Belanda dan dijadikan sebagai markas tentara. Selain itu, difungsikan sebagai penginapan untuk tamu Belanda.
Dari situlah kemudian istana ini dikenal dengan nama Bola Soba’, yang berarti rumah persahabatan. Tempat ini juga pernah difungsikan sebagai istana sementara Raja Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31, La Mappanyukki dan menjadi markas Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), menjadi asrama TNI pada tahun 1957, hingga kemudian dijadikan sebagai bangunan peninggalan purbakala.
3. Istana Kerajaan Datu Luwu
Istana kerajaan Datu Luwu terletak di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Istana ini dibangun oleh raja Andi Djemma Datu pada tahun 1920-an.
Awalnya, istana Datu Luwu merupakan Saoraja atau rumah kayu dengan jumlah tiang 88 buah. Namun bangunan itu dibakar dan diratakan oleh pemerintah Belanda, lalu dibangun kembali dengan arsitektur khas eropa.
Bangunan permanen dibangun dengan arsitektur Eropa oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengambil hati penguasa kerajaan. Namun, oleh bangsawan Luwu malah dianggap sebagai cara untuk menghilangkan jejak sejarah.
Dulu, kerajaan Luwu sangat dihormati dan disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di Indonesia. Sebab kerajaan ini menjadi pusat pengendalian wilayah kesultanan di Sulawesi.
4. Istana Langkanaya Marusu
Istana "Langkanaya" Marusu terletak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Istana ini didirikan oleh Raja Maros ke-IV, I Mappasomba Daeng Nguraga.
Sama seperti istana pada umumnya di Sulawesi Selatan, istana ini juga berbentuk rumah panggung dengan panjang 12 Paddaserang atau rangkaian rumah.
Dalam hitungan normal, rumah biasa 1 paddaserang panjangnya hanya 3-4 meter, tetapi untuk Langkanaya punya panjang 12x9 meter, lebih panjang dari sebuah lapangan sepakbola.
Istana Langkanaya terbentang dari Selatan ke Utara membentang di atas Sungai Maros. Tiang tengahnya dikenal dengan sebutan Langotinga (Pocci Balla atau Posibola). Sebagai tandanya ada tumbuh sebuah pohon Bidara yang masih ada hingga sekarang ini.
Istana inilah yang diwariskan turun temurun sejak I Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Patanna Langkana ke anak cucunya yang ditempati terakhir oleh Karaengta Barasa atau Raja Maros VII.
Konon, sejarah berdirinya istana ini saat istri I Mappasomba menginginkan sebuah rumah yang besar. Berangkatlah ia ke kaki gunung Bawakaraeng untuk berdoa dan bermunajat.
Raja lalu menancapkan tongkatnya ke tanah hingga keluar semburan air. Ia menarik lagi tongkatnya sambil berjalan melalui hutan belantara dan melintasi kolong rumahnya sampai ke lepas pantai.
Dari jejak tarikan tongkatnya itulah konon mengalir air menyerupai selokan kecil yang didalamnya banyak ikan-ikan. Betapa bahagianya sang permaisuri karena keinginannya dapat terwujud.
Sejak saat itulah di bawah kolong istana Langkanaya Marusu mengalir sungai kecil yang makin lama mengalami abrasi hingga melebar. Sungai kecil itulah yang konon sekarang menjadi Sungai Maros.
5. Istana La Pinceng
Istana Kerajaan di Sulawesi Selatan berikutnya ada Saoraja La Pinceng. Letaknya di Kabupaten Barru.
La Pinceng merupakan salah satu rumah atau istana peninggalan kerajaan di Balusu. Istana ini menjadi salah satu saksi perjuangan kerajaan Balusu melawan penjajahan Belanda.
Awal mula kerajaan Balusu diperintah keturunan raja-raja Gowa. Namun rakyat Balusu sudah tidak sudi lagi diperintah keturunan raja-raja Gowa. Maka ketua adat kerajaan Balusu memohon kepada kerajaan Soppeng (Datu Soppeng).
Permohonan ini untuk memberikan atau memperkenankan keturunan Datu Soppeng untuk menjadi raja Balusu. Namun semua anak laki-laki Datu Soppeng sudah memangku jabatan, maka diutuslah anak perempuannya, Tenri Kaware.
Setelah Tenri Kaware memerintah kerajaan Balusu beberapa tahun, kemudian digantikan oleh putranya, Andi Muhammad Saleh. Sejak saat itu, kerajaan Balusu dalam keadaan aman dan sentosa.
Kehidupan rakyatnya juga sejahtera dengan hasil pertanian yang melimpah. Karena kebijakan dan keberaniannya, raja Muhammad Saleh kemudian diberi gelar dengan nama Andi Muhammad Saleh Daeng Parani Arung Balusu.
Gelar ini juga memberikan kesempatan kepada Andi Muhammad Saleh untuk menggantikan Datu Soppeng. Di masa pemerintahannya, Andi Muhammad Saleh memindahkan pusat kerajaan dari Balusu ke Lapasu dan markas pertahanannya di Bulu Dua.
Di Bulu Dua inilah didirikan istana La Pinceng yang terkenal penuh dengan ukiran dan dibangun pada tahun 1895.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing