SuaraSulsel.id - Seorang pengantin perempuan berinisial NW menceritakan kisah pilu yang dialaminya di media sosial. Korban warga Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, ditinggal oleh calon suaminya sebelum acara pernikahan.
Kisahnya viral setelah korban NW curhat di twitter. Ia menceritakan awal mula mengenal calon suaminya. Hingga ditinggal saat hari H pernikahan.
NW mengaku mengenal kekasihnya GA pada bulan Februari 2020 lalu. Dia adalah sosok yang baik.
Awalnya semua berjalan biasa saja, seperti pasangan pada umumnya. Bahkan sebelum berpacaran, GA meminta restu orang tua NW terlebih dahulu.
Baca Juga:Ngontrak di Daerah Cikarang, Perempuan Ini Rekam Aksi Pemuda Gedor Pintu Demi 'Uang Keamanan'
"Tapi saya tidak menyangka laki-laki yang sangat saya percaya dan tampaknya seolah-olah tidak mau kehilangan saya malah pergi tanpa alasan yang jelas," ujarnya.
Di tengah perjalanan kisah cinta itu, NW hamil. Mereka lalu merencanakan pernikahan pada bulan Agustus 2021.
Masalah mulai muncul. Mereka kerap berselisih paham. GA bahkan menghilang tanpa kabar selama dua hari.
Tiba-tiba GA menghubungi NW dan menanyakan dokumen apa yang akan dipersiapkan untuk pernikahan mereka. Kata NW, komunikasi mereka mulai membaik saat itu.
"Kami mulai membahas masalah rencana resepsi, undangan dan pakaian pengantin yang akan kami gunakan pada hari bahagia itu. Dia menyetujui semuanya," lanjutnya.
Baca Juga:Duh! Jurnalis Perempuan Jadi Korban Pelecehan Seksual Suporter PSS Sleman
GA bahkan menjanjikan berbulan madu ke Bali. Ia juga mengajak NW untuk tinggal terpisah dari orang tua setelah menikah.
NW lalu mendaftarkan pernikahannya ke KUA di Bulukumba. Undangan juga sudah tersebar. Begitu pun dengan dekorasi pelaminan dan pakaian pengantin sudah disewa.
Tiba-tiba, NW mendapat pesan singkat dalam bentuk rekaman (voice note) dari GA. Isinya, "Uang panainya sudah kamu terima toh yang dari mama saya. Saya tidak mau nikah sama kamu, saya tidak mau datang."
NW berusaha menenangkan diri mendengar isi rekaman itu. Ia lalu menghubungi keluarga GA untuk meminta penjelasan.
Pihak keluarga meyakinkan bahwa GA tetap akan datang. Ia hanya butuh waktu untuk tenang.
"Jadi saya tenang-tenang saja dengar kata hiburan itu dari keluarganya. H-1 mereka berkabar lagi kalo mereka akan berangkat dari Makassar ke Bulukumba jam 03.00 Wita dini hari," ungkap NW.
"Padahal tanpa saya ketahui pada malam paccing (sehari sebelum akad), GA ini belum pulang ke rumah dan dengan yakinnya mereka menjanjikan bahwa mereka akan datang," lanjutnya.
Pada hari H pernikahan, NW bangun untuk salat subuh. Dari luar kamar, ia mendengar secara samar suara orang tuanya sedang menangis.
Mereka menceritakan bahwa GA tidak akan datang. Ia membatalkan pernikahan pada hari H.
NW yang mendengar kabar itu mengaku berusaha tegar. Ia tidak ingin menangis di depan keluarganya.
Seharian itu tamu undangan berdatangan. Keluarga dan teman-temannya bahkan rela datang dari jauh.
"Bayangkan bagaimana hancur dan malunya saya. Tapi saya tidak menangis. Saya berusaha tegar. Undangan sudah tersebar, teman-teman dan keluarga datang dari jauh di hari bahagia, yang ternyata jadi hari kehancuran saya," ujarnya.
Usai kejadian itu, orang tua NW sempat datang menemui keluarga GA ke Makassar. Mereka ingin meminta penjelasan.
Namun keluarga GA menolak ditemui. Alasannya trauma.
Menurut NW, sejak saat itu keluarga GA menutup diri. Mereka menghindar.
Segala macam cara dilakukan NW untuk mendapat informasi soal GA. Ia menghubungi sejumlah kerabat GA yang lain.
Namun yang didapatkan hanya penolakan. NW bahkan ditantang untuk melakukan tes DNA.
Keluarga NW juga mengaku sempat melaporkan kejadian ini ke polisi. Mereka merasa ditipu dan GA lari dari tanggung jawab, tapi laporan itu ditolak.
"Karena kan ada unsur penipuan. Tapi polisi bilang tidak ada pasal hukum yang kena, susah diproses," keluhnya.
NW mengaku hingga kini ia belum pernah mendapat penjelasan, permintaan maaf dan tanggung jawab dari GA. Padahal kasus ini sudah hampir setahun.
Ia masih menuntut keadilan. Pasalnya anaknya susah untuk dibuatkan akta lahir dan asuransi kesehatan. Ia juga khawatir anak itu akan kesulitan untuk mendaftar sekolah kelak.
"Apakah sesusah itu bertanggungjawab? apakah saya dan anak saya tidak pantas menerima pertanggungjawaban itu. Saya harus kemana mendapat bantuan? ini sudah 11 bulan saya bersabar," keluh NW.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing