Selain itu, kelong tidak hanya terpisahkan oleh kasta. Tapi juga dipisahkan oleh letak geografis etnis Makassar, Tulembang (petani) dan Patorani (nelayan).
Masyarakat yang tinggal di pesisir menggunakan diksi kelong yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah yang bukan pesisir.
Di Jeneponto misalnya. Kehidupan mereka sebagai nelayan dihabiskan di tengah laut berlayar dalam waktu yang lama.
Otomatis kelong mereka terpengaruh oleh kerinduan akan keluarga dan kampung halaman. Mereka kemudian merangkai diksi sesuai yang dirasakannya.
Baca Juga:Pemkot Makassar Siapkan Rp300 Miliar Untuk Bangun Fasilitas Olahraga
Sedang masyarakat Makassar yang berprofesi sebagai petani, lirik-lirik kelong mereka berisi harapan agar sawah yang mereka tanam dapat tumbuh dengan baik. Gunanya untuk mengajarkan nilai budi pekerti sesuai dengan pekerjaan mereka.
Contohnya, bulaeng palek parea.
Intang palek tu mak katuoa.
Jamarrok palek tu lelea ri bokoang.
Artinga, emas pulahlah padi.
Permata pulah orang yang memelihara.
Jamrud pula orang yang membagi di belakang.
"Ini dikarenakan masyarakat menggunakan diksi yang mereka lihat. Masyarakat Jeneponto melihat alam berbeda, di sekitar mereka penuh dengan hal-hal yang berbau bahari. Sedang, masyarakat Malino memandang alam dengan tumbuhan, sawah dan gunung," jelas Sumarlin.
Kelong Makassar diketahui memiliki pola suku kata 8.8.5.8 dalam setiap baris. Maksudnya, pada baris pertama harus berisi delapan suku kata
Baca Juga:Dua Kelompok Warga di Jalan Somba Opu Kota Makassar Saling Serang Menggunakan Senjata Tajam
Kemudian, baris kedua juga delapan suku kata, baris ketiga lima suku kata, dan baris keempat delapan suku kata.
Pola ini menjadi pakem yang tidak bisa diubah dan menjadi ciri khasnya yang membedakannya dengan pantun.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing