Unsur lain dari pangadereng adalah bicara, yaitu konsep yang bersangkut paut dengan peradilan, semacam hukum acara, yang menentukan prosedur serta hak dan kewajiban seorang yang sedang mengajukan kasusnya di muka pengadilan. Istilah yurisprudensi dalam tata hukum modern sudah termaktub dalam pangadereng Bugis-Makassar ratusan tahun silam dengan istilah rapang, yang merupakan semacam contoh, perumpamaan, kias atau analogi.
Dengan itu rapang menjaga kepastian dan kontinyuitas keputusan hukum tak tertulis dalam lintasan masa. Rapang memuat perumpamaan ideal dan etika dalam lapangan hidup tertentu seperti kekerabatan, perpolitikan, dan kepemerintahan; rapang juga memuat pandangan filosofis yang keramat untuk mencegah tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik atau keamanan individu warga masyarakat.
Unsur lain dalam pangadereng adalah wari'. Wari' mengatur klasifikasi dari segala benda, peristiwa dan aktivitas dalam kehidupan masyarakat. Ia mengatur tata susunan pengetahuan dan benda-benda serta jalur dan garis keturunan yang kemudian mewujud dalam pelapisan sosial; ia juga mengatur hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja dari negara lain, sehingga dapat ditentukan posisi mereka dalam tata upacara kebesaran.
Kearifan lokal Bugis-Makassar juga dapat disingkap melalui berbagai pesan-pesan kebajikan (pappasang) dalam lontaraq. Saya ingin mengutip satu pesan kebajikan yang menurut saya sangat relevan dengan ketatanegaraan dan kepemerintahan.
Baca Juga:Banyak Dapat Ilmu di Warung Kopi, Syahrul Yasin Limpo: Saya Profesor Lapangan
Siri'na tau mabbutayya niakki ri pammarentaya, Pa'rupanna gauka niakki ri tau jaiya, parentaia taua ri ero'na.
Artinya, harkat, martabat dan gengsinya rakyat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah. Perwujudan dari segala upaya ada kalau rakyat terlibat dan melibatkan diri di dalamnya, Maka perintahkan rakyat seperti yang mereka harapkan dan butuhkan.
Pranata Bugis yang menegaskan pentingnya pemimpin dan pemerintah termaktup dalam petikan lontaraq berikut ini;
Narekko makkompe'i beccie'e masolanni lipu'e. Leggai'i welong panasa'e masoobbuni lempu'e. Ri tongengengi salae, ripassalai tongengng'e. Si anre bale tau'e. Si balu-balu si abbelli-belliang. Natuoini serri' dapurengnge, Ri-paoppang palungenge, ri sappeang pattapie. Ri sellorang alue...
Artinya, bilamana norma tidak dipatuhi maka rusaklah negeri ini. Tidak memutik pucuk nangka (kejujuran), bersembunyi kebenaran. Dibenarkan yang salah, dan disalahkan yang benar. Saling makan-memakanlah orang bagaikan ikan, saling jual-menjual, saling beli-membeli. Dapur ditumbuhi rerumputan, lesung ditelungkupkan penampi beras digantung. Penumbuk padi disandarkan... (Mattulada, 1985:343).
Baca Juga:Ketua Dewan Profesor Unhas: Syahrul Yasin Limpo Tidak Dapat Gelar Profesor Kehormatan
Saya sengaja menceritakan kearifan lokal Bugis Makassar terkait hukum tata negara dan kepemerintahan yang dipraktekkan pada masa lampau, untuk mengingatkan sistem hukum Indonesia agar mempertimbangkan basis budaya dan aspek sosiologis dalam teorisasi hukum. Saya menyadari, upaya untuk menampilkan secara holistik pemikiran hukum sebagai basis teorisasi hukum di Indonesia adalah pekerjaan besar yang membutuhkan ketelatenan, terutama oleh komunitas akademia.
Oleh karena, teorisasi hukum yang demikian mengandung kompleksitas yang tinggi, bukan hanya mengacu pada konsep hukum normatif semata-mata, akan tetapi juga mempertimbangkan setting sosial, budaya dan politik kita sendiri. Langkah yang perlu digagas dan komitmen yang harus ditegaskan adalah, bangsa Indonesia harus berani menentukan apa yang paling baik bagi bangsanya, termasuk dalam membangun teori hukum yang memiliki karakteristik ke Indonesiaan.
Bila perlu, kita membutuhkan cara pandang yang terhadap hukum tata negara, seperti yang dikembangkan oleh aliran critical legal studies. Mereka menganalisis secara tajam hukum tata negara yang direlasikan dengan ekonomi, politik, kebudayaan, idiologi, bahasa dan nilai. Pendekatan kritis pada ilmu hukum tata negara akan mengisi dan mewarnai "kekosongan besar" karena redupnya diskursus hukum tata negara selama rezim Orde Baru.
Ini penting, karena kita semua sedang hidup dalam satu alam besar yang bernama globalisasi. Aras global adalah hasil pertautan tak terhingga dari aras-aras lokal, pertautan ini saya sebut sebagai proses glokalisasi menyatunya yang lokal menjadi global ataupun bertautnya yang global kepada yang lokal. Situasi ini semestinya menyadarkan kita semua, untuk bersiaga memasuki pemikiran dan teorisasi hukum yang mungkin saja merespons pemikiran postmodernisme."
Hadirin yang saya hormati,
Pada bagian berikut ini saya akan menguraikan bagaimana saya berselancar di tengah kompleksitas kepemerintahan melalui hibiridisasi ilmu hukum positivistik dengan kearifan lokal. Kepemerintahan (governance) merujuk pada cara sebuah rezim melaksanakan amanat dengan semestinya demi kemaslahatan masyarakat melalui pengelolaan berbagai sumberdaya.