SuaraSulsel.id - Festival Pasola kembali digelar. Ratusan ksatria Sumba datang menunggang kuda perang dengan lembing kayu di tangan. Festival Pasola tahun ini kembali dihelat setelah sempat terhenti karena COVID-19.
Tahun ini pesta yang bukan sekadar meriah tapi juga membawa semangat perjuangan itu, dibuka oleh Kepala Staf Kepresidenan Dr. Moeldoko. “Budaya jangan diusik atas nama apapun,” pesan Moeldoko saat membakar semangat para ksatria Sumba yang disambut dengan pekik perang, Jumat 25 Februari 2022.
Di hadapan para tokoh adat dan ratusan ksatria berkuda, Panglima TNI 2013-2015 itu juga menyampaikan salam dan apresiasi Presiden Joko Widodo untuk masyarakat adat Sumba Barat Daya.
“Bapak Presiden Joko Widodo menitipkan salam untuk semua masyarakat adat di sini (Sumba Barat Daya). Beliau berpesan tradisi budaya seperti Pasola harus dijaga dan dipertahankan," tegasnya.
Baca Juga:Ajak Masyarakat Sumba Timur Turunkan Stunting, Moeldoko: Presiden Concern dengan Stunting
Dalam kesempatan itu, Kepala Staf Kepresidenan RI Dr. Moeldoko memberikan hadiah patung kuda dari ukiran kayu kepada Rato Adat (sebutan untuk pemimpin tokoh Adat di Sumba). "Patung kuda ini menjadi simbol kegagahan ksatria pulau Sumba," tegasnya.
Festival Pasola di kabupaten Sumba Barat Daya, dipusatkan di Rara Winyo Desa Ate Ndalo kecamatan Kodi. Sebelum masa pandemi, atraksi budaya tradisional ini, selalu menjadi agenda para wisatawan dunia.
Festival Pasola adalah tradisi perang masyarakat adat dengan menunggang kuda sambil menyerang lawan dengan lembing kayu yang tumpul. Pasola merupakan puncak dari rangkaian tradisi Nate atau Nyale, yakni perwujudan pemujaan dan persembahan masyarakat tradisional aliran kepercayaan Marapu (agama asli masyarakat Sumba).
Pasola juga wujud syukur atas hasil panen. Karena itu, setiap tradisi ini digelar masyarakat berbondong-bondong mudik ke kampung adatnya, dengan membawa beragam hasil panen terbaik dan terbaru, untuk dijadikan sarana doa.
Pemerintah Sangat Komitmen Soal Pelestarian Desa Adat
Baca Juga:Bunuh Lansia dan Lukai Ibu Hamil, Diduga ODGJ Tewas Dimassa
Desa adat di Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur masih terjaga dengan baik. Di kabupaten yang berpenduduk 400 ribu jiwa lebih ini, terdapat lima kampung adat yang masih mempertahankan tradisi dan budayanya.
Yakni, desa adat Ratenggaro, Wainyapu, Manola, Mbuku Bani, dan Tossi. Namun, saat ini masyarakat adat mulai mengkhawatirkan keberadaan desa mereka. Sebab, pertambahan jumlah penduduk sudah tak lagi seimbang dengan penambahan rumah adat baru.
Kepala Staf Kepresidenan RI Dr. Moeldoko memastikan akan mendorong kementerian teknis untuk segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat, terkait pembangunan rumah-rumah adat baru.
“Pelestarian desa adat harus terus dijaga. Dan Pemerintah komitmen soal itu. KSP akan dorong kementerian teknis terkait untuk segara melakukan pembangunan rumah adat baru di sini (Sumba Barat Daya),” tegas Moeldoko saat berkunjung ke desa adat Ratenggoro kecamatan Kodi Bangedo Sumba Barat Daya, Sabtu (26/2).
Sebelumnya, tokoh muda desa adat Ratenggoro Adi Mada menceritakan berbagai kendala yang dihadapi masyarakat terkait pembangunan rumah adat baru. Ia menyinggung soal langkanya material, yakni kayu gelondongan Merbau.
“Sekarang yang banyak kayu-kayu balok pendek. Yang gelondongan sudah sulit kami temukan,” katanya.
Adi Mada juga menyebut pembangunan rumah adat baru membutuhkan biaya sangat besar, terutama untuk prosesi ritual. Ia mencontohkan, keperluan untuk membeli makanan dan hewan sebagai media pemujaan.
“Kalau dihitung bisa sampai 500 juta,” ungkap Adi Mada.
Dalam kesempatan itu, Adi Mada juga meminta agar pemerintah juga memikirkan potensi ancaman abrasi terhadap desa adat Ratenggaro. Mengingat, lokasi desa berada persis di bibir pantai. “Jika tidak dibangun penahan, abrasi bisa mengancam kampung kami bapak,” sambung Adi Tama.
Selain melihat kondisi desa adat, Kepala Staf Kepresidenan bersama tim KSP juga berkesempatan berkunjung dan melihat langsung proses penenunan kain khas Sumba, di Desa Maliti kecamatan Kodi Bangedo.