SuaraSulsel.id - Dua organisasi mahasiswa di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat menyatakan kecamannya terhadap kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di Provinsi Sulbar.
Betapa tidak, sebelumnya telah terjadi sejumlah kasus kekerasan seksual di sejumlah daerah di Provinsi Sulbar, kemudian terjadi lagi kasus kekerasan seksual pada Februari 2022 yang tidak lazim. Karena dilakukan pimpinan pondok pesantren (Ponpes) berinisial AR (47) terhadap sejumlah santrinya.
Pelaku AR bukan hanya pimpinan ponpes namun juga masih aktif sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Kementerian agama (Kemenag) Sulbar.
Sebanyak tujuh santri dan dua staf ponpes telah menjadi korban, dan mengadukan kejahatan pelaku AR ke Polres Mamuju, atas kekerasan seksual yang dialami dan AR kini menjalani proses hukum.
Baca Juga:Supres dan DIM Sudah Masuk, Nasdem Minta DPR Jangan Tunda Pembahasan RUU TPKS
Kasat Reskrim Polresta Mamuju, AKP Pandu Arief Setiawan, mengatakan, pelaku ditangkap berdasarkan laporan dari orang tua santriwati terkait tindakan pelecehan seksual yang dilakukan pelaku.
Ketua Organisasi Korps HMI Wati (Kohati) cabang Kabupaten Mamuju mengecam tindakan kekerasan seksual yang dilakukan pimpinan ponpes di Mamuju tersebut.
Ketua Kohati Cabang Mamuju, Karmilah, mengatakan, perbuatan tersebut sangat keji dan memalukan dan menunjukkan terjadinya pendangkalan aqidah.
"Kami mengecam keras, dan berharap kepada pihak kepolisian serius untuk mengusut dan memberikan sanksi terhadap pelaku sesuai aturan yang berlaku," katanya.
Ia mengatakan, pihaknya akan terus mendampingi langkah yang dilakukan oleh pihak keluarga atas kasus kekerasan seksual tersebut dan berharap kasus tersebut tidak lagi terulang.
Baca Juga:Harga TBS Sawit di Sulbar Ditetapkan Sebesar Rp 3.041 Per Kilogram
Zona Merah Kekerasan Seksual
Ketua Kopri PMII Cabang Mamuju, Wilmar mengatakan, Sulbar ini zona merah kekerasan seksual, mulai dari kasus aborsi, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah rangga (KDRT) dan terakhir kekerasan seksual atau pencabulan yang dilakukan pimpinan Ponpes.
"Tindakan itu kami kecam keras," katanya.
Ia mengatakan, kekerasan seksual harus diakhiri salah satu caranya, Rancangan Undang-undang (RUU) tindak pidana kekerasan seskual (TPKS) harus segera disahkan.
"Pengesahan RUU TPKS harus segera disahkan, itu cara melawan kekerasan seksual, karena sudah banyak terjadi kasus kekerasan seksual, dan korban sudah banyak dialami kaum perempuan," katanya.
Ia menyampaikan, sejumlah kasus kekerasan seksual terjadi di Sulbar seperti di Kabupaten Mamasa, yakni kasus pemerkosaan bapak terhadap anak kandungnya sendiri, kemudian, kekerasan seksual yang dilakukan seorang pelaku terhadap saudaranya.
Begitu juga, di Kabupaten Majene, ayah kandung menghamili anak sendiri dan terdapat kasus pria yang memperkosa adik ipar berulang kali.
"Kasus penganiayaan terhadap perempuan yang dilakukan mantan kekasihnya, sudah sering kali terjadi serta," katanya.
Sementara di Kabupaten Mamuju juga terjadi kasus pemerkosaan terhadap anak kandung dan serta terjadi kasus pemerkosaan dilakukan tujuh pemuda di Mamuju terhadap seorang gadis karena pengaruh minuman keras.
"Kemudian juga di Kabupaten Pasangkayu terjadi kasus pemerkosaan dilakukan 10 pemuda memperkosa anak di bawah umur dan pemerkosaan paman terhadap keponakannya berulang kali," katanya.
Kalau RUU TPKS disahkan maka pelaku akan mendapatkan efek jera dan juga akan membuat aktivis perempuan lebih memiliki ruang yang lebih besar dalam membela kaum perempuan,
Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) menjadi inisiator deklarasi menolak kekerasan seksual dan masuknya paham radikal di ponpes yang diikuti 50 orang pimpinan Ponpes di Sulbar.
"Setelah terjadinya kasus kekerasan seksual yang dilakukan pimpinan Ponpes kepada tujuh santri dan dua stafnya ponpes di Mamuju, Kemenag Sulbar telah bersikap dan merespon kejadian tersebut dan akan melawan kekerasan seksual dan segala bentuk paham radikalisme," kata Kepala Kemenag Sulbar Muflih B Fattah.
Ia mengatakan, jajaran Kemenag Sulbar yang mengurusi bidang pesantren tidak mau kecolongan lagi, agar ponpes tidak lagi disusupi radikalisme dan mencegah terjadinya kekerasan seksual.
"Kemenag Sulbar juga akan lebih jeli dalam mengeluarkan izin operasional ponpes dengan memperhitungkan data dan kondisi ponpes, termasuk psikologi karakter pimpinan ponpes, sehingga ke depannya tidak kecolongan lagi, dengan kejadian kekerasan seksual yang dilakukan pimpinan ponpes di Mamuju tersebut," katanya.
Pembinaan Khusus
Menurut dia, Kemenag Sulbar juga akan melakukan pembinaan khusus untuk para pimpinan ponpes di sejumlah daerah di Sulbar agar tidak terpengaruh radikalisme, dan agar tidak melakukan tindakan yang mengarah pelecehan dan kekerasan seksual.
Kanwil Kemenag Sulbar juga telah melakukan kerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulbar serta pihak terkait, untuk melakukan pendampingan trauma healing terhadap santri yang menjadi korban kekerasan seksual pimpinan ponpes di Mamuju.
Sehingga lanjutnya, korban kembali pulih kondisi psikologisnya dan agar kembali dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Muflih juga mengatakan, izin pendirian Ponpes harus diperketat dan jajaran Kemenag jangan lalai dalam mengeluarkan izin operasional ponpes.
"Izin operasional pesantren harus diperketat yakni memiliki kyai atau sesepuh, memiliki jumlah santri di atas 15 orang, memiliki rumah ibadah, memiliki kurikulum, dan pondok bagi santri, karena pondok pesantren ibarat kain putih, sedikit saja kena percikan jadi sorotan, ini yang kita harus jaga," katanya.
Yang tidak kalah penting adalah peran masyarakat untuk ikut mengawasi keberadaan pondok pesantren di lingkungan sekitar dan peran keluarga santri untuk memantau perubahan perilaku anak-anak yang dititipkan di pesantren.
Santri dan masyarakat harus berani mengadukan berbagai perilaku pelecehan seksual dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren. (Antara)