SuaraSulsel.id - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa penyikapan awal pada kasus dugaan kekerasan seksual pada 3 anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan menunjukkan kebutuhan mendesak perbaikan sistem pembuktian kasus kekerasan seksual.
Sebagai langkah koreksi, penanganan kasus ini juga perlu dilakukan secara komprehensif, mengedepankan pemenuhan hak-hak korban atas keadilan dan pemulihan, berperspektif anak, perempuan dan penyandang disabilitas.
Termasuk di dalamnya, adalah menghentikan kriminalisasi pada pelapor maupun terhadap media yang memberitakan upaya warga memperjuangkan keadilan.
Hal ini disampaikan oleh Komnas Perempuan menyikapi perkembangan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap 3 anak di Luwu Timur, 2 di antaranya adalah anak perempuan.
Atas desakan masyarakat, Pihak kepolisian telah menerbitkan laporan Model A untuk mendalami kasus pada rentang waktu 25-31 Oktober 2019.
Baca Juga:Ibu Korban Dugaan Kekerasan Seksual di Luwu Timur Dilaporkan Balik Oleh Mantan Suaminya
Desakan publik muncul setelah pada awal Oktober 2021, ProjectMultatuli.org melansir tulisan bertajuk “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan” tentang kekerasan seksual terhadap tiga orang anak di Luwu Timur.
Penting mencatat bahwa setelah tulisan itu viral di media sosial dan kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak tersebut menjadi sorotan publik, situs web Projectmultatuli.org diretas dengan serangan Ddos disertai "klarifikasi" yang menyebutkan secara gamblang nama ibu para korban, direct message terhadap pembaca yang turut membagikan berita dengan informasi bahwa pemberitaan tersebut adalah hoaks.
Mengutip dari situs resmi Komnas Perempuan, Komnas Perempuan memberikan perhatian serius terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan (KTAP) yang dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan selalu berada dalam tiga teratas untuk kekerasan di ranah rumah tangga.
Pada 2020 tercatat KTAP dengan 954 kasus, diantaranya inses dan kekerasan seksual terhadap anak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak berada dalam situasi tidak aman dalam kehidupannya, bahkan oleh orang terdekat.
Kekerasan seksual dalam lingkup keluarga memiliki dampak khas dan berat terkait adanya relasi emosi antara korban dan pelaku sehingga dibutuhkan kecermatan dan kehati-hatian dalam penanganannya.
Baca Juga:Dalami Kasus Pencabulan Anak di Luwu Timur, Polri Buat Laporan Model A, Apa Itu?
Sebelum kasus ini mencuat ke publik, pada 13 Juli 2020, Komnas Perempuan telah menerima pengaduan dari Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak, selaku kuasa hukum ibu dari para korban, yaitu Anak Korban I (perempuan, 7 tahun), Anak Korban II (laki-laki, 5 tahun), dan Anak Korban III (perempuan, 3 tahun).
Dalam pengaduan ini disampaikan bahwa Kepolisian Resort Luwu Timur dalam proses penyelidikan terhadap laporan 3 anak tersebut menyimpulkan “tidak ditemukan 2 (dua) alat bukti yang cukup” terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap anak sesuai Pasal 76E subpasal 82 UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Berdasarkan analisa terhadap dokumen-dokumen yang disampaikan pengadu, Komnas Perempuan menerbitkan Surat Rekomendasi No: 060/KNAKTP/Pemantauan/Surat Rekomendasi/IX/2020 tertanggal 22 September 2020 yang intinya merekomendasikan agar melanjutkan kembali penyelidikan peristiwa pidana.
Atas surat rekomendasi tersebut, Polres Luwu memberikan jawaban melalui Surat Nomor: B/500/X/Res 1.24/2020 Perihal Penjelasan atas Penanganan Laporan Pengaduan Sdri. XXX tentang Dugaan Tindak Pidana Cabul terhadap Anak tertanggal 05 Oktober 2020.
Juga, Polda Sulawesi Selatan melalui surat Nomor: B/780/X/RES.7.5/2020/Ditreskrimun Perihal Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pengawasan Penyidikan (SP2HP2) tertanggal 27 Oktober 2020.
Kedua surat tersebut menyampaikan bahwa “…Proses penyelidikannya karena belum ditemukan bukti permulaan yang cukup atau belum ditemukan 2 (dua) alat bukti yang cukup, dan apabila di kemudian hari ditemukan bukti baru, maka kasus tersebut dapat dibuka kembali…” disertai hasil assessment P2TP2A Kabupaten Luwu Timur, Pemeriksaan psikologis ke tiga anak, Visum et Repertum (VER), pemeriksaan psikiater terhadap Ibu Korban, terlapor dan hasil penyelidikan.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa pemeriksaan kasus ini haruslah mengacu pada UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Termasuk di dalamnya, perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan seksual; di antaranya Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.
Dalam kasus ini, diinformasikan bahwa anak-anak tidak didampingi oleh Ibu Korban atau setidak-tidaknya oleh orang yang dipercaya oleh Anak Korban.
Sementara itu, permintaan Ibu Korban dan kuasa hukum untuk rekam medik dari dokter anak yang merawat dan telah mengeluarkan diagnosa bahwa terjadi kerusakan pada jaringan anus dan vagina akibat kekerasan terhadap anak tidak dikabulkan.
Komnas Perempuan juga mencermati adanya bukti-bukti yang tidak dipertimbangkan. Dalam proses penyelidikan awal, dokter yang memeriksa dan merawat ketiga anak dengan dugaan luka fisik terkait tindak kekerasan seksual tidak dimintai keterangan sebagai Ahli.
Demikian halnya assessment yang dilakukan P2TP2A Sulawesi Selatan di Makassar yang dalam laporan psikologisnya menyebutkan ketiga anak “tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas” ketiganya secara konsisten menceritakan dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka dan dua orang lainnya.
Tidak optimalnya pengumpulan barang-barang bukti dan alat bukti menyebabkan keputusan penghentian penyelidikan tersebut dipertanyakan oleh Ibu Korban dan Tim Kuasa Hukum.
Pada konteks ini sistem pembuktian yang diatur dalam hukum acara pidana (KUHAP) seperti halnya kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, menjadi hambatan utama korban untuk mendapatkan keadilan.
Pasal 184 KUHAP, menyatakan alat bukti yang sah ialah (i) keterangan saksi; (ii) keterangan ahli, (iii) surat, (iv) petunjuk dan (v) keterangan terdakwa. Selanjutnya Pasal 185 Ayat 7 dinyatakan bahwa: Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai antara satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan dari saksi yang tidak disumpah yaitu: (a) anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; (b) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 171 KUHAP).
Dalam kasus ini keterangan anak korban I, II dan III karena usianya di bawah 15 tahun tidaklah disumpah. Sedangkan keterangan saksi dewasa yaitu Ibu Korban yang berdasarkan pemeriksaan psikiater saat diperiksa ditemukan gejala berupa waham yang merupakan bagian dari disabilitas mental, yang dengan sendirinya juga tidak dapat disumpah.
Di sisi lain, hasil Visum et Repertum (VeR) menjadi pertimbangan utama pembuktian tindak pidana, diikuti dengan Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP). Padahal, hasil dari VeR dan VeRP dapat tergantung pada waktu dan metode yang dilakukan.
Karenanya, VeR dan VeRP seharusnya dilakukan dalam tempo secepatnya. Bila terlambat beberapa hari, atau dimintakan pemeriksaan ulang, hasil VeR dan VeRP bisa berbeda atau tidak relevan karena sesuai dengan kondisi saat VeR dan VeRP dilakukan.
Pada VeR yang terlambat pelaksanaannya, luka fisik yang sebelumnya ada bisa jadi setelah beberapa hari sudah sembuh secara fisiologis atau karena sudah mendapatkan terapi. Jadi, hasil VeR bisa tidak sama bila dilakukan segera setelah kejadian.
Demikian juga halnya dengan VeRP yang terlalu lama dari saat kejadian. Hasilnya akan dipengaruhi oleh status kejiwaan seseorang yang awalnya sehat, kemudian menjadi terganggu atau sakit secara psikologis karena stresor dari keterlambatan penanganan kasusnya. Pada kasus Luwu Timur ini, penelusuran dokumen menunjukkan bahwa pelaksanaan VeR maupun VeRP tidak segera setelah peristiwa dilaporkan.
Dalam perkembangan kasus Luwu Timur, terutama pasca pemberitaan yang menjadi viral, ada kesan bahwa hasil VeRP terhadap Ibu korban justru digunakan untuk melemahkan kesaksian pada kasus tersebut.
Padahal, kondisi ini mungkin terjadi sebagai dampak psikologi sehingga perlu didukung pemulihannya. Kondisi mental seseorang juga tidak boleh menjadi dasar penghentian penyelidikan atau penghakiman terhadap kondisi kesehatan mental.
Merujuk pada UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, secara tegas dinyatakan bahwa penyandang disabilitas berhak atas Hak keadilan dan perlindungan hukum di antaranya perlakuan yang sama di hadapan hukum dan sebagai subyek hukum (Pasal 9).
Penegak hukum sebelum memeriksa Penyandang Disabilitas wajib meminta pertimbangan atau saran dari (a) dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai kondisi kesehatan;(b) psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan; dan/atau; (c) pekerja sosial mengenai kondisi psikososial (Pasal 30 Ayat (1).
Pertimbangan atau saran digunakan untuk memastikan pada saat pemeriksaan, saksi tidak dalam masa kekambuhan sehingga keterangannya setara kekuatannya dengan non-penyandang disabilitas. Dengan demikian, proses pemeriksaan keterangan penyandang disabilitas dapat dilakukan namun harus dengan perlakuan khusus.
Hambatan yang dialami dalam kasus ini menjadi gambaran pentingnya pembaruan hukum acara pidana, khususnya pembuktian kasus kekerasan seksual.
Pembaruan ini dapat diatur dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang menjamin keterangan korban atau saksi orang dengan disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan korban atau saksi non-disabilitas, dan ketentuan saksi yang tidak disumpah dalam KUHAP dikecualikan terhadap keterangan korban atau saksi anak dan/atau orang dengan disabilitas.
Demikian halnya "klarifikasi" yang menyebutkan nama ibu para korban menunjukkan pentingnya jaminan hak saksi dan korban kekerasan seksual atas perlindungan identitas pribadi dan sanksi kepada pihak-pihak yang menginformasikan dan menyebarluaskan identitas saksi dan korban.
Penting juga diingat bahwa penyebutan nama orang tua pada kasus anak korban kekerasan seksual merupakan pelanggaran terhadap UU Sistem Peradilan Pidana Anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
Sedangkan peretasan dalam bentuk serangan Ddos ke web Projectmultatuli.org, dan tudingan pemberitaan sebagai hoaks, Direct Message (DM) terhadap pembaca yang turut membagikan berita, Komnas Perempuan menilai hal ini sebagai pelanggaran hak atas kebebasan pers dan hak atas informasi yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi.
UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik telah memberikan panduan tentang hak jawab dan hak koreksi untuk setiap keberatan terhadap produk jurnalistik. Demikian halnya setiap warganegara berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28F UUD 1945), termasuk pemberitaan tentang kekerasan seksual.
Pengiriman DM secara tidak langsung akan menyebabkan upaya-upaya mendukung korban dan pendidikan publik untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan terbatasi dan terhambat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Komnas Perempuan:
1. Mendukung Kepolisian untuk membuka kembali penyelidikan kasus ini dengan berpedoman pada kepentingan terbaik bagi anak, memberikan perlakuan khusus dalam pengumpulan alat bukti sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Penyandang Disabilitas. Proses ini dapat dilakukan dengan menghadirkan Ahli-Ahli yang dapat membantu pembuktian;
2. Merekomendasikan Kepolisian untuk:
2.1 Mengumpulkan dan menggunakan berbagai bukti-bukti lain, mengingat adanya bukti yang belum diperiksa dan melengkapinya dengan ahli-ahli yang kompeten di isu kekerasan terhadap anak,
2.2 Memberikan penjelasan yang mendidik masyarakat terkait keterbatasan hukum pembuktian terkait keterangan saksi yang tidak disumpah daripada memberikan penilaian pemberitaan kasus ini sebagai hoaks,
2.3 Mengutamakan pemeriksaan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak dari laporan sangkaan pencemaran nama baik melalui ITE terhadap Ibu Korban,
2.4 Menggunakan hak jawab dan hak koreksi atas setiap pemberitaan atau produk jurnalistik yang terkait dengan pelayanan Polri,
2.5 Memeriksa serangan siber berupa Dsos dan penyebaran data pribadi saksi;
3. Meminta Menkoinfo untuk menghapus konten dan pemberitaan yang memuat data pribadi saksi kasus ini, sebagai bagian dari pemulihan korban dan pemenuhan hak anak yang tidak dapat dilepaskan dari ibunya;
4. Mendukung Kementerian PPA untuk memfasilitasi pendampingan dan pemulihan saksi dan korban kasus ini;
5. Merekomendasikan Kompolnas dan KPAI untuk mengawasi proses pemeriksaan kembali kasus ini dengan memastikan perlakuan khusus untuk anak dan penyandang disabilitas diterapkan secara ketat;
6. Mengapresiasi dan mendukung langkah jurnalis dan media yang turut mengupayakan akses keadilan dan pemulihan bagi korban;
7. Mengimbau jurnalis dan media untuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik serta pedoman liputan ramah anak dalam memberitakan kasus ini dengan tidak menuliskan identitas/nama hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya sebagai pelapor;
8. Mengimbau masyarakat agar mendukung korban dan Ibu korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan dengan tidak memberikan stigma, menyebarluaskan data saksi dan korban dan tidak mengkriminalkan upaya korban dalam mendapatkan keadilan;
9. Mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan memastikan adanya terobosan hukum dalam hal pembuktian, termasuk dengan menggunakan pembelajaran dari kasus Luwu Timur ini.