"Kami sisa menunggu aja karena bukan tanah ini bukan lagi milik yayasan, tapi milik pemerintah provinsi. Jadi kami sisa menunggu dari pemerintah provinsi saja untuk bisa mulai melakukan upaya-upaya," katanya.
![Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal Muhammad Yusuf Makassar [SuaraSulsel.id / Muhammad Aidil]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/10/16/49466-masjid-al-markaz.jpg)
Lawan Mafia Tanah
Ustad Das'ad Latif mengemukakan bahwa apa yang terjadi ini agar dapat diambil sebagai pembelajaran kedepannya. Penyebabnya, Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf yang begitu megah saja masih ada yang berani gugat. Karena itu, Das'ad meminta agar kejadian ini tidak terulang lagi.
"Sertifikat ini penting, apalagi kalau itu wakaf. Bapaknya punya wakaf anaknya kemasukan setan. Dia gugat, tidak ada bukti. Ini negara hukum. Bayangkan masjid harga diri umat Islam di Sulawesi Selatan. Al Markas Al Islami, nyata-nyata ini masjid milik umat kepentingan umum ada yang berani," tegas Das'ad.
Baca Juga:Makna Logo Hari Ulang Tahun Sulsel ke 352 Tahun
Das'ad menduga bahwa kejadian terkait gugatan lahan di Masjid Al Markas Al Islami Jenderal M Jusuf tersebut pasti dilakukan oleh mafia tanah yang melibatkan institusi dan pejabat. Karena itu, kejadian ini seharusnya menjadi momentum bagi berharga bagi Dewan Masjid Indonesia (DMI) bekerjasama dengan pihak pertanahan untuk dapat segera membuat sertifikat gratis.
Semua ini harus dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Sebab lahan di sekitar pekarangan Masjid Al Markaz Al Islami Jenderal M Jusuf saja masih ada yang berani gugat. Padahal, sudah jelas lahan tersebut adalah milik pemerintah.
"Tidak mungkin berani kalau dia bukan mafia, pasti ini mafia yang melibatkan institusi, pejabat. Mereka berani karena pasti ada pejabat yang di dalamnya, bisa jadi. Pokoknya ini mafia bukan bekerja sendiri, jadi pelajaran berharga untuk kita umat islam, masjid-masjid yang berupa yayasan apalagi berupa wakaf itu segera bikin legalitas, sertifikatnya. Sangat penting. Saya kira ini menjadi momentum paling berharga untuk Dewan Masjid Indonesia bekerjasama dengan pertanahan untuk membuat sertifikat gratis. Walaupun berbayar, saya kira masjid semua punya dana. Cuma kalau kita hadapi mafia agak berat juga," pungkas Das'ad.
Diketahui, awalnya sebagian wilayah Kecamatan Bontoala dikuasai oleh Intje Koemala istri dari Major Thong Liong Hoei yang diketahui merupakan seorang duta besar dari negara China yang diutus ke Indonesia pada masa perang untuk menyelamatkan penduduk setempat atas kekejaman Westerling hingga mengakibatkan korban 40.000 jiwa.
Singkatnya, Universitas Hasanuddin Makassar diberikan hak pakai oleh pemerintah untuk menggunakan sejumlah lahan di kawasan Kecamatan Bontoala agar dapat digunakan sebagai tempat lembaga pendidikan.
Baca Juga:Polda Sulsel Sebut Penyidik Polres Luwu Timur Sudah Sesuai Prosedur
Penguasa lahan di wilayah itu bernama Intje Koemala istri dari Major Thong Liong Hoei kemudian melahirkan anak yang diberi nama Chandra Taniwijaya dan beberapa anak lainya sebagai ahli waris yang sah.
Sedangkan, nama Ince Kumala lain yang muncul diketahui merupakan anak dari Ince Saleh yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan ekspedisi rempah milik Intje Koemala bernama PT Firman dan Co.
Ince Saleh yang kagum dengan kehidupan Intje Kumala, kemudian menikahi Halijah dan memberikan nama anak pertamanya Ince Kumala. Selain itu, tujuh orang anak lainnya lagi diberi nama depan Ince. Sesuai struktur kewarisan dibuat penasehat hukum keluarganya, Andi Sofyan yang juga merupakan dosen Universitas Hasanuddin kala itu.
Dari situ, Ince Kumala kemudian menikah dengan Abdul Rajab dan melahirkan anak pertama bernama Baharuddin alias penggugat. Sedangkan anak kedua, Rahmawati alias penggugat dan anak ketiga Ratna Farida. Tetapi, belakangan memunculkan nama depan Ince. Padahal data kewarisan yang ada tidak ada nama Ince di depan.
Tak hanya itu, hak kewarisan tidak ada hubungannya dengan Itje Koemala karena berdasarkan garis keturunan kakek mereka adalah Ince Saleh yang hanya bekerja sebagai karyawan di perusahaan Intje selaku penguasa dan pemilik lahan dimasa itu.
Bukan cuma itu, lahan kosong seluas 224.250 meter persegi juga diklaim dan digugat ahli waris Thoeng Boeng Siang. Dengan dasar memiliki hak atas kepemilikan berupa dokumen Eigendom Verponding atau produk hukum pertahankan pada masa Belanda dengan letak titik lokasi 1182, masuk dalam lokasi sengketa yang dimaksud.