SuaraSulsel.id - Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Pemprov Sulsel, Meysie Papayungan, mengungkap fakta baru. Terkait laporan dugaan pencabulan anak di Luwu Timur.
Meysie mengaku RA, ibu dari terduga korban pemerkosaan ini sudah pernah melaporkan kasus ini ke Pemprov Sulsel. Sebelumnya juga sudah ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Luwu Timur.
"Setahun setelah kasus itu muncul baru dirujuk ke kami. Sebelumnya ibu itu datang ke (DPPPA) kota Makassar," ujar Meysie saat dikonfirmasi SuaraSulsel.id
Meysie menjelaskan, RA pernah diperiksa kejiwaannya di Rumah Sakit Bhayangkara. Ia terindikasi mengidap waham atau gangguan sistemik.
Baca Juga:Kasus Pencabulan Anak di Lawu Timur, Penanganan Polisi Disebut Lambat dan Tak Transparan
Kenapa diperiksa kejiwaannya? Meysie mengaku RA saat itu didampingi pihak kepolisian. Mengantar anaknya untuk divisum di Rumah Sakit Bhayangkara. Psikolog yang ada di rumah sakit melihat gelagat dari RA yang tidak bisa diam.
RA terus menerus berbicara dan suka keluar masuk ruangan. RA juga kukuh menjelaskan ke dokter bahwa anaknya diperkosa dengan segala macam cara.
"Akhirnya dia diperiksakan jiwa di situ. Jadi dua hasil pemeriksaan keluar, visum sama hasil pemeriksaan jiwa. Nah, saat hasilnya keluar, disampaikan ke ibunya dia mengidap waham. Tapi dia kukuh bilang tidak sakit jiwa. Nah, itu kita skip," jelas Meysie.
Kata Meysie, pihaknya kemudian mengesampingkan hasil kejiwaan itu. Namun mereka berpegang pada hasil visum di tiga tempat.
Ia mengaku ketiga anak ini berinisial AL, MR dan AL sudah divisum tiga kali. Pertama di Puskesmas di Luwu Timur, kedua di Rumah Sakit Daerah di Luwu Timur, dan ketiga di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar.
Baca Juga:Viral Penghentian Kasus Rudapaksa 3 Anak di Bawah Umur, Ini Kata Mabes Polri
Dari hasil visum di ketiga tempat tersebut, tidak satu pun ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan seksual di alat vital anak tersebut. Pihaknya juga menerima salinan hasil visum itu.
"Bahkan saya sempat marah ke orang (DPPPA) di sana. Masa kasus ini tidak bisa selesai. Barulah saat lihat hasil visum rumah sakit saya tahu ini tidak bisa dilimpahkan," ucap Meysie.
Pada beberapa kasus pemerkosaan yang dikawal pihaknya, kata Meysie, setidaknya harus ada dua bukti agar bisa diproses hukum. Yakni dari hasil visum et repertum dan keterangan saksi.
Namun dari hasil visum et repertum itu, tidak ada yang menunjukkan adanya kekerasan seksual sama sekali. Satu-satunya bukti yang dipunya RA saat itu adalah foto alat vital anaknya yang diambil sendiri.
"Orang bertanya kenapa ini di SP-3, karena tidak cukup bukti. Bukti itu darimana, pertama visum et repertum, bahwa ada kerusakan pada alat vital. Nah, ini tidak ada sama sekali. Tiga tempat periksa, ketiganya tidak menemukan adanya tanda kekerasan seksual. Kemudian keterangan saksi," beber Meysie.
Beberapa keterangan RA juga kerap berubah-ubah. Termasuk soal umur anaknya.
Pertama kali, RA mengaku ke DPPPA bahwa anaknya sudah diperkosa sejak tahun 2012. Keterangan berikutnya diperkosa tahun 2017.
Meysie bahkan pernah ke Luwu Timur bersama psikolog dari Pemprov Sulsel untuk kasus lain. Saat itu, RA datang menemuinya dan membawa anak pertamanya.
Meysie kemudian bertanya ke RA, bagaimana awalnya ia tahu anaknya diperkosa ayahnya. RA menjelaskan ia curiga sebab anaknya jadi pendiam dan kurus.
"Namun setiap ditanya, anaknya bungkam. Enggan bercerita."
RA mengaku sampai mencari cara di internet bagaimana agar anak tersebut bisa terbuka ke orang tua. "Ibu ini bilang dia cari di internet bagaimana caranya agar anak bisa terbuka. Bagaimana bujuk agar mau cerita," ungkap Meysie.
Salah satu cara membujuk anak pertamanya adalah dengan iming-iming. Kata Meysie, RA mengimingi anaknya akan pindah ke Amerika jika ia mau cerita.
"Ibunya bilang saya kasih janji. Saya bilang kita pindah ke Amerika kalau kau jujur. Karena itu hal yang paling anak ini sukai, mau pindah ke Amerika," ungkap Meysie menirukan kata-kata RA saat bertemu.
Sebelum kasus ayahnya mencuat, RA mengaku anaknya pernah dilecehkan sama kakak kelasnya di sekolah. Itu atas dasar pengakuan si anak.
RA kemudian membawa anaknya ke sekolah dan meminta menunjuk siapa orangnya yang dimaksud di sekolah tersebut. RA menyebut nama anak-anak di sekolah itu satu per satu.
"Anak yang ditunjuk saat itu sempat dilapor ke polisi. Cuma karena masih anak kecil, jadi restorative justice. Akhirnya ini anak dikasih pindah sekolah," ungkap Meysie.
Tak berselang lama, muncullah kasus ZA ini. Mantan suami RA.
RA melapor bahwa mantan suaminya itu memperkosa ketiga anaknya. Bahkan anak keduanya yang laki-laki juga jadi korban.
"Jadi saya tanya lagi bagaimana ceritanya? Dia bilang, setiap pekan ayahnya menjemput anak tersebut secara bergantian dan dibawa ke rumahnya. Setiap pulang, anak ini selalu murung dan lemas. Anaknya langsung cepat tidur," ungkap Meysie.
RA lalu bertanya ke anaknya, kenapa?, ada apa? Apakah dilecehkan sama ayahnya?. "Katanya anaknya mengiyakan saat itu setelah didesak terus sama ibunya," tutur Meysie.
Karena RA merasa laporannya tidak digubris oleh polisi dan DPPPA kabupaten saat itu, ia kemudian mengadu ke DPPPA Kota Makassar.
Di DPPPA Kota Makassar, mereka diarahkan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Alasannya, lokasi kejadian bukan wilayah Makassar.
Saat itu Pemprov Sulsel juga mengusulkan agar anak kembali divisum di Rumah Sakit Bhayangkara, karena RA meminta ada "second opinion" atas hasil visum putrinya, walau sudah tiga kali dilakukan. Namun RA menolak.
Pemprov Sulsel kemudian mengusulkan Rumah Sakit Pelamonia. RA juga menolak. Akhirnya ditawarkan ke RSUD Daya.
Sampai di Rumah Sakit Daya, RA bertanya lagi siapa dokter penanggungjawabnya. Dokternya ternyata sama dengan dokter forensik di Rumah Sakit Bhayangkara.
"Ternyata dokter forensik ini tim walau beda rumah sakit. Jadi walaupun bukan dia yang periksa, harus ditandatangani oleh dokter penanggungjawab yang sama," ungkapnya.
Akhirnya, pemeriksaan visum itu tidak jadi lagi sampai RA balik ke Luwu Timur.
Tak sampai disitu. RA juga menuding dua teman kantor mantan suaminya, ZA memperkosa anaknya. Meysie kemudian menanyakan soal kronologi itu lagi ke RA.
"Kok sampai hati, bagaimana ceritanya dia kasih begitu anak-anak? padahal ini kasus sudah viral," tanya Meysie ke RA.
RA kemudian menjawab ada "om gendut" teman kantor ZA. Meysie makin penasaran. Dia bertanya lagi, dimana dia lakukan perbuatannya?
"Dia jawab di kantornya bapaknya. Karena itu anak-anak biasa saya antar ke kantornya bapaknya, atau bapaknya yang jemput," ujar Meysie.
Meysie lalu memerintahkan pihak DPPPA di Luwu Timur untuk menelusuri hal tersebut saat itu. Dari hasil penelusuran, teman ZA ini mengaku memang pernah sekali ke rumah RA.
Namun saat itu, ia hanya membawa susu yang dititip ZA. Alasannya, ZA enggan menemui RA karena mereka selalu bertengkar ketika bertemu.
Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak juga terus menggali keterangan RA. Mereka mencari tahu, setelah kasus ini viral tahun lalu, RA masih mengantar anaknya bertemu dengan ZA. Padahal RA sudah tahu bahwa anak-anak ini diduga diperkosa.
"Jadi kita hati-hati betul gali ini kasus. Kasihan psikologi anaknya," tutur Meysie.
Meysie mengaku tak bermaksud untuk mengesampingkan kasus ini. Mereka juga tak punya motif kepentingan apa-apa.
Apalagi jika dituding polisi dan DPPPA melindungi ZA karena ada yang melindungi. Setahunya, ZA hanya pegawai auditor biasa di Inspektorat. Tidak punya jabatan struktural.
"Banyak kasus cabul, banyak kekerasan seksual yang malah melibatkan orang yang lebih berkuasa kita angkat. Ada yang kepala sekolah, ada keluarga kepala daerah kita tidak takut. Saya tidak mengerti kalau ini kasus dibilang mau dimain-maini apalagi libatkan ayah dan anak," tegas Meysie.
Meysie menambahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga sudah turun langsung. Hasilnya sama. Tidak bisa ditindaklanjuti karena berpatokan ke hasil visum itu.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing