SuaraSulsel.id - Manusia di Pulau Sulawesi diyakini punya DNA yang sama. Dengan suku Aborigin di Australia dan sejumlah suku di Papua. Para arkeolog menemukan kesamaannya pada kerangka Besse.
Besse adalah manusia pertama yang diklaim peneliti hidup di budaya kuno misterius atau Taolean.
Kerangka Besse ditemukan di Gua Liang Panninge, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Oleh tim peneliti Univeristas Hasanuddin dan peneliti dari beberapa negara.
Besse adalah sebutan untuk anak perempuan pada suku Bugis. Tim peneliti menjulukinya Besse karena kerangka itu berjenis kelamin perempuan.
Baca Juga:Kabar Gembira, 1000 Warga Sulsel Sembuh Dari Covid-19 Dalam Satu Hari
"Ini rangka, bukan fosil dan menunjukkan ciri-ciri wanita muda. Makanya teman-teman beri nama sebagai Besse. Tahun 2015 itu rangka belum kita angkat. Itu secara prosedural gak boleh karena perlu adaptasi. Kemudian peralatan juga kita tidak siap," ujar peneliti Akin Duli, Selasa, 31 Agustus 2021.
Kerangka Besse diperkirakan hidup 7200 tahun yang lalu. Dari model gerahamnya, tim peneliti menyimpulkan ia berusia kisaran 17-18 tahun pada saat itu.
DNA Besse juga menunjukkan bahwa manusia purba ini adalah orang Toalean. Manusia pemburu dan pengumpul makanan. Seperti babi yang hidup di hutan dan sungai Sulawesi.
Awalnya, tim menemukan gua tempat kerangka Besse ditemukan diapit oleh sungai dan bukit. Konon gua itu dijadikan sebagai pasar dan tempat sabung ayam.
"Situs ini berupa gua yang luar biasa indahnya berupa lorong diapit sungai. Konon dulunya dijadikan pasar, tukar menukar barang dan menyabung ayam," kata Akin Duli saat menceritakan awal mula penemuannya.
Baca Juga:22 Daerah di Sulsel Sudah Bisa Belajar Tatap Muka
Tahun 2015, kata Akin Duli, pihaknya menemukan dua kotak. Satu kotak itulah tempat rangka Besse.
Kotak itu seperti kuburan. Sebagian tertutup oleh batu dan tanah. Rangka saat itu belum diangkat karena keterbatasan alat.
"Kami tutup kembali pada tahun 2015 karena kendala peralatan dan waktu penelitian habis. Nanti pada tahun 2017 kita lakukan penelitian lagi dan kita angkat," tuturnya.
Tim Unhas saat itu juga tidak punya laboratorium untuk menganalisis kerangka itu lebih jauh. Untuk mengetahui umur, jenis kelamin, dan penyebab kematiannya, dari ras mana dan DNA-nya.
"Apalagi terbungkus dengan lapisan tanah, batu dan lain-lain," katanya.
Belum lagi soal masalah biaya yang harus dikeluarkan cukup besar. Tim kemudian membawanya ke Universitas Hasanuddin untuk discan.
- 1
- 2