SuaraSulsel.id - Dahulu, orang Bugis-Makassar berkomunikasi dengan menggunakan aksara atau huruf Lontara. Tata aturan pemerintah dan kemasyarakatan juga menggunakan sistem bahasa ini.
Sesuai namanya, aksara ini ditulis menggunakan daun lontar sebagai pengganti kertas. Daun lontar dinilai tahan lama dan mudah disimpan.
Menurut sejarah, huruf Lontara pertama kali dibuat pada abad ke- 14 oleh Daeng Pamatte. Daeng Pamatte adalah orang Gowa yang hidup pada masa pemerintahan Karaeng Tumapa’risi Kallona. Ia terkenal sangat pandai.
Karena kepandaiannya, Karaeng Tumapa’risi Kallona kemudian mengamanahkannya sebagai Syahbandar dan Tumailalang, atau semacam menteri urusan istana dalam dan luar negeri kerajaan.
Baca Juga:Viral Mirip Jokowi, Perempuan Makassar Ini Ingin Bertemu Jokowi
Karaeng Tumapakrisi meminta Daeng Pamatte untuk menciptakan aksara bagi Kerajaan Gowa dan berkembang hingga ke luar wilayah kerajaan. Aksara ini digunakan untuk menuliskan pesan atau dokumen penting lainnya di atas daun lontar, jauh sebelum kertas ditemukan.
Awalnya, Pamatte menulis Lontara Toa atau Jangang-jangang. Penamaannya disesuaikan dengan hurufnya yang menyerupai burung (Jangang).
Namun, seiring berjalannya waktu, huruf tersebut mengalami perbaikan dan penyempurnaan menjadi Lontara Bilang-bilang. Perubahannya terpengaruh oleh budaya Islam yang mulai dianut oleh kerajaan sejak abad ke 19.
Konon katanya huruf lontara dilatarbelakangi oleh kepercayaan "Appa' Sulappa". Falsafah ini mewakili empat persegi alam semesta yakni je’ne (air), angin (angin), butta (tanah) dan pepe’ (api).
Naskah terpanjang yang ditulis dengan aksara ini adalah teks I La Galigo, yaitu epos mitologi Bugis.
Umumnya, naskah-naskah ini disimpan oleh masyarakat sebagai pusaka sehingga keberadaan naskahnya tercecer ditengah masyarakat. Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan, UNESCO telah memasukkan I La Galigo sebagai Memory of The World pada 2012.
Baca Juga:Perempuan Mirip Jokowi Viral, Ingin Bertemu Jokowi
Pada I La Galigo, naskah ditulis dengan aksara Lontara pada wadah berbentuk unik. Yaitu selembar daun lontar yang panjang dan tipis dan digulungkan pada dua buah poros kayu. Bentuknya mirip pita rekaman pada kaset.
Teks kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan. Wadah dari naskah ini tersimpan rapi sebagai koleksi Tropenmuseum, sebuah museum antropologi yang terletak di Amsterdam, Belanda.
Setelah dikumpulkan, I La Galigo mencapai 12 jilid dengan 300.000 bait. Hal ini menjadikan karya sastra asal Bugis ini terpanjang di dunia mengalahkan epos Mahabharata yang totalnya hanya sekitar 150.000 bait.
Hal tersebut jadi bukti betapa mendunianya aksara ini pada zamannya. Namun, seiring berjalannya waktu, Lontara adalah salah satu aksara yang mulai terpinggirkan.
Menurut Guru Besar Ilmu Bahasa Universitas Hasanuddin Makassar Prof Nurhayati Rahman, salah satu penyebabnya karena penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Belum lagi bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa kelas atas.
Zaman terkini, piawai berbahasa inggris sudah dianggap cerdas. Contohnya jika melamar pekerjaan, maka yang diujikan adalah seberapa mampu pelamar bisa fasih berbahasa Inggris.
Begitupun di sekolah, bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris adalah mata pelajaran wajib. Sementara, bahasa daerah hanya dijadikan pilihan.
"Bahasa daerah dianggap tidak penting. Orang lebih bangga dengan bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia," ujarnya, Jumat, 27 Agustus 2021.
Padahal menurutnya, bahasa Indonesia hanya bahasa pengantar, bukan bahasa utama. Dalam tata aturannya, penggunaan bahasa daerah diwajibkan pada setiap penutur jika masih satu etnis. Kecuali jika berbeda, baru menggunakan bahasa Indonesia.
"Faktor lain karena berkurangnya tenaga pengajar bahasa daerah. Minat masyarakat untuk menjadi pengajar bahasa daerah sudah berkurang," tuturnya.
Hal itu terjadi akibat minimnya pembukaan formasi guru Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) bidang bahasa daerah. Untuk menutupi kebutuhan guru ahli di bidang bahasa daerah, sekolah pada umumnya terpaksa menunjuk langsung guru-guru yang sudah ada.
Nurhayati berharap, aksara asli Bugis ini ke depannya bisa terus lestari. Salah satunya adalah dengan melakukan digitalisasi di perangkat elektronik dengan tampilan huruf sesuai aslinya.
Di Makassar, aksara Lontara sudah dijadikan mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Meski dalam praktiknya masih sedikit yang menerapkannya.
Beberapa nama jalan di Makassar juga diterjemahkan ke dalam aksara Lontara. Di kawasan Ujung Pandang, dan Hertasning misalnya. Kemudian, salah satu tembok bangunan Pusat Studi Asia Tenggara dan Karibia di Leiden, Belanda, tertulis sebait puisi beraksara Lontara berukuran besar.
Takim, salah satu pengusaha di Makassar juga berupaya melestarikan Lontara lewat fesyen. Takim mengangkat aksara lontara sebagai inspirasi untuk koleksi batiknya yang diberi nama A'Bate' artinya batik.
Dibuatkan Perda
Banyak upaya dilakukan untuk melestarikan Lontara' saat ini. Salah satunya dilakukan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan.
Pemprov Sulsel sudah dua tahun menggelar festival Lontara. Upaya ini dilakukan untuk melestarikan aksara Lontara bagi para pelajar.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel Hasan Sijaya mengatakan Sulsel butuh Peraturan Daerah untuk melestarikan aksara Lontara.
Nantinya, para siswa wajib untuk belajar aksara Lontara di sekolah. Para ASN pun diwajibkan menggunakan batik lontara.
"Ada hari tertentu mereka wajib berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Begitupun dengan pakaian khusus bernuansa lontara. Jika tidak, ada punishment. Itu yang diatur dalam Perda nanti," ujar Hasan.
Perda akan diusul menjadi rancangan Perda tahun ini. Sehingga implementasinya sudah bisa dilakukan tahun depan.
Hasan berharap aksara Lontara harus menjadi ciri khas Sulawesi Selatan. Mengenalkannya sudah menjadi kewajiban supaya generasi muda tidak lupa terhadap budayanya sendiri.
"Akademisi dan budayawan akan mengawal ini rencana aturan Perda. Kita sudah bicara dengan Ketua DPRD dan dia semua mendukung. Insyaallah tahun 2022 sudah bisa diimplementasikan," tandasnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing